Segala yang Hanyut ke Laut

oleh -176 kali dilihat
Apakah Kau Kekasih?
Ilustrsi laut/Foto-galery-lukisan
Nona Reni

Sebelum Burung Peliharaan Terbang

 

Bibit pohon kersen setinggi lutut  kemarin telah kutanam tepat di depan rumah, berdampingan dengan bibit pohon mangga pemberian tetangga awal kita pindah.

Memang tidak ada kesepakatan sebelumnya, tentang bagaimana kita akan merawat dan membesarkannya.

Perlahan, tinggi pohon kersen telah melampaui tinggi badan kita. Kau berulang kali berkata, pohon lebih cepat tumbuh untuk menyerap penderitaan. Ada nada sinis dalam ucapanmu. Barangkali memang demikian, tapi aku selalu gagal menafsirkan setiap omonganmu.

Dalam hitungan bulan, isi dapur dan catatan belanja lebih menjadi prioritas utama untuk dibicarakan. Jauh lebih penting dari drama Korea maupun drama Turki yang menjadi puncak perbedaan terbesar dalam selera perfilman kita. Batangnya mulai melebar dan membesar lantas berbuah, hingga tempat untuk manggamu tumbuh menjadi semakin sempit.

KLIK INI:  Seekor Camar di Bahu Mercusuar

Hari di mana kita kedatangan tamu lepas lebaran, daun-daun kersen semakin meranggas. Kau berkali-kali mengeluh tentangnya. Setiap pagi dan sore katamu, kau harus mengulangi ritus yang sama sehingga membuatmu merasa bosan…

Kau berulang kali meminta izin untuk menebangnya, kutahu kau hanya tidak ingin pohon manggamu kalah dan merunduk pada pohon kersen kan?

Esok hari ketika aku terbangun mendapati pintu depan rumah terbuka, aku tidak lagi mendengar suara sapumu yang terlalu pagi.

Tidak pula mendengar suara bising atau piring beradu di tengah aroma pesing dari dapur.

Dari arah jendela kutatap pohon kersen yang masih tinggi menjulang. Kuingat kembali percakapan terakhir sebelum kau melarikan diri dari rumah yang senantiasa membekap kepedihanmu,  “tebanglah, sebelum burung dilindungi yang kau pelihara memilih terbang atau akan kau terciduk polisi!”

KLIK INI:  9 Puisi Sapardi Djoko Damono dengan Metafora Alam yang Menyentuh

Segala yang Hanyut ke Laut

 

Apa yang dihanyutkan manusia, akan berubah menjadi sandal jepit.

Begitu kalimat pembuka ketika kau mengabariku Minggu lalu. Kabar yang menjadikan kita kembali akrab ketika perselisihan tentang keputusanmu menjadi petani membuatku kecut nyali.

Begitu banyak pekerjaan di dunia ini, tapi kenapa harus jadi petani?

Ibu bapak kau menjual beberapa lahannya untuk menguliahkanmu di universitas bergengsi di kota M. Tak mampu jadi dokter, jadi perawat pun tak apa. Kenapa kau harus menyerah dan pulang sebelum ijazah kau kantongi?

Kau memilih tak menjawab dan aku memilih mengakhiri percakapan…

Tengah malam, ketika aku terlelap tidur.

Dering dari ponselku menyalak. Tertera nomormu yang memang sengaja tak lagi kusimpan sebagai kontak. Tak biasanya kau menelpon di jam-jam genting seperti itu. Genting bagi seorang penulis lepas sepertiku yang matanya baru saja diistirahatkan dari keyboard laptop.

Suara hujan telah dulu sampai tenimbang salammu. Kau berkata terjebak hujan di pinggir pantai dengan ayah dan pamanmu. Terjebak hujan saat memancing itu lebih menakutkan dari cuaca dingin yang menusuk pori-pori.

Ayah hampir mati kedinginan, lanjutmu.

Aku harus bagaimana? Tanyaku. Tak mungkin bagiku mengirim mantel hanget atau selimut di saat kita terpisah sekian pulau.

Apa saja! Lakukan sesuatu.  Katamu mulai memelas. Tak terbayang, laut telah mengambil seseorang yang kau cintai beberapa tahun silam. Kepergiannya bahkan saat anak dalam kandungan istrinya belum sempat terlahir ke dunia. Mau tak mau kau harus menjadi ayah sambungnya, mengganti posisinya hingga ibunya memutuskan untuk menikah lagi.

Bakarlah sesuatu, kataku.

Kau bercanda? Tanyamu tak percaya.

Saat hujan, tak ada apapun yang mampu dilahap api. Kau jangan membuatku lebih gila.

Percaya padaku sekali ini, carilah sandal jepit yang hanyut di sekitar pantai itu.

Bakarlah! Satu-satunya yang bisa kau bakar hanyalah sandal jepit itu… Kau boleh memakiku nanti, tapi kau harus menghangatkan badan ayahmu terlebih dahulu. Memakiku tak cukup mampu menghangatkan seluruh badan. Hanya sebatas telinga! Nada bicaraku mulai mengeras. Mencoba mengalahkan langitmu yang tangisannya kian deras.

Panggilan telepon terputus seiring suara gemuruh yang memekakkan telinga sampai di telingaku. Kau mengirim beberapa pesan entah berapa jam setelahnya. Alhamdulillah, terima kasih telah memberikanku pengetahuan berharga. Aku berharap, sampah apa pun yang manusia buang ke sungai, akan berenang menuju laut lalu malih rupa menjadi sandal jepit. Hanya sandal jepit lah yang mampu terbakar saat basah. Dan hanyalah kaulah yang tak terbakar oleh amarah.

Tak perlu khawatir tak menemukan sandal jepit, laut kini telah berubah tempat sampah, gumamku. Terima kasih bagi yang telah membuang sandal jepit kelaut, yang akan menyelamatkanmu dari gigil, lanjutku sebelum lelap kembali memeluki mataku.

KLIK INI:  Menilik Pengelolaan Laut Berbasis Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia

Sepasang Tamu yang Asing

 

Aku baru saja menyiapkan gawai untuk menuliskan satu cerita

Sebelum suara motor matic memecah kesunyian malam dan memarkirnya tepat di halaman rumahku

Malam Minggu tentu saja bagi kawula muda mempunyai janji kencan tak jadi soal

Masalahnya, aku sama sekali tak menunggu tamu dan memiliki janji temu.

Mereka membunyikan klakson, seakan memastikan aku ada di rumah.

Kujawab dengan melongok melalui jendela; siapa?

Kami, jawabnya!

Naiklah. Jawabku dengan ragu-ragu. Meskipun mereka sepasang asing

Mereka memasuki pintu tanpa salam

Aku menyuruh mereka duduk melantai. Di atas dipan telanjang dari kayu jati. Aku tak punya kursi apalagi permadani.

Mereka memasang wajah cemberut, seseorang yang menyandang gelar Andi tak bisa disuruh duduk begitu saja. Itu sama saja mencemooh leluhur mereka

Yang jadi sengketa adalah 7 pohon kelapa, tadi sore dipanjat oleh kakak atas permintaan ibu mereka.

Lebih dari 100 butir, harganya 2 ribu perbutir, kakak membelinya karena kasihan.

Meskipun harga kelapa lagi terpuruk.

Mereka meminta kakak untuk tidak lagi memanjat dan membeli biji kelapanya.

Bahkan mereka menuduh kakak memanjat kelapa tanpa izin, membawa nama-nama petinggi polisi untuk menakut-nakuti.

Tak ada cara lain membungkam mereka. Kusebut nama presiden sekedar untuk menginformasikan bahwa minyak goreng dibuat dari sawit. Bukan biji kelapa.

Entah kapan aku akan kaya, tapi bersabarlah. Aku sedang berdialog dengan pohon kelapa untuk sekadar bertukar isi kepala, mereka telah meneduhkan dari terik matahari yang memanggang karena krisis iklim.

KLIK INI:  Tanaman Rahasia Depan Rumah