Sebatang Pohon Janji

oleh -511 kali dilihat
Sebatang Pohon Janji
Sebatang Pohon Janji-foto/Fixabay
Irhyl R Makkatutu

Sudah lama dia susah tidur. Itu terlihat dari kantong matanya yang tebal. Ada lingkaran hitam di kelopaknya. Matanya terlihat lelah.  Sejak kepergian suaminya,  dia lupa cara tidur lelap bagaimana. Pagi itu  ia membuka jendela kamarnya dengan ketergesaan yang sangat. Tubuhnya kikuk, langkahnya gontai.

Setelah jendela terbuka, dia saksikan cahaya pagi mengelus daun cengkeh di depan jendela. Dia pejamkan mata, merasai udara pagi yang sejuk kemudian membuka matanya perlahan. Dia mencari titik embun di daun cengkeh.  Cahaya pagi berusaha sampai ke matanya, tapi tidak benar-benar sampai. Hanya berkilau saja menerpa apa yang dilaluinya.

Orang-orang mulai sibuk menuju kebunnya. Di kampungnya, Mattirodeceng, telah jadi ritual pagi  bagi warga meminum kopi tanpa gula. Setelah itu, warga akan ke kebun. Dia bisa menebak, jika hari ini dia kembali telat membuka jendela kamarnya. Ritual minum kopi telah usai. Sejak setahun lalu, tak ada lagi ritual minum kopi baginya. Kehidupannya telah berhenti.

“Bangunlah, Nia!” teriak ibunya mengagetkannya dari lamunan. Tanpa menyahut dia keluar kamar dengan wajah kusut. Baju tidur bermotif bunga  yang telah tiga  malam belum diganti juga kusut.

“Cobalah mandi pagi!” saran ibunya.

Lagi, dia tak menyahut. Dia menuju kamar mandi untuk cuci muka, kemudian kembali ke kamarnya. Menatapi pohon cengkeh yang baru berumur dua tahun dari jendela dan telah berbuah lebih cepat dari seharusnya.  Pohon cengkeh itu dia tanam bersama Suardi di hari pernikahannya sebagai bukti cinta dan kenangan.

“Ini akan jadi bukti cinta kita yang kuat.” Kata-kata Suardi itu selalu saja terngiang. Itu gombalan paling romantis yang pernah didengar dari lelaki yang dicintainya tersebut. Dia kembali membaringkan tubuhnya, menerawang ke masa ketika jatuh cinta kepada Suardi. Usianya  baru beranjak 19 tahun saat itu dibuat kocar kacir oleh ketampanan Suardi. Selain tampan, Suardi juga cerdas, itu terbukti dengan menjadi calon termuda pada pemilihan kepala desa beberapa tahun lalu. Suardi menempati urutan kedua suara terbanyak dari lima calon. Dia hanya kalah lima suara dari Puang Hamasing, pamannya sendiri

Hania menyekah air matanya. Bayangan suaminya  terbayang tunai. Dia ingat ketika pacaran dulu, mereka ke Apparalang berboncengan motor. Dia merasakan ketulusan Suardi mencintai dan melindunginya.

“Aku akan melamarmu, Nia,” ujar Suardi ketika mereka sedang menikmati tarian gelombang Apparalang.

“Serius?” Hania menatap Suardi dengan pandangan tak percaya.

Suardi  hanya tersenyum.

“Serius?” tanya Hania lagi

Lagi, suardi hanya tersenyum.

“Ayo kita pulang, sebentar lagi malam!”

Seminggu kemudian, Suardi membuktikan ucapannya. Lamarannnya benar-benar datang. Hania tak percaya, dia serupa sedang terbang. Dia memenangkan persaingan dengan beberapa perempuan yang menaruh hati kepada Suardi.

Lalu setengah bulan kemudian, pesta pernikahan dihelat dengan meriah. Meski tak ada electone. Di hari pernikahannya, Suardi melakukan hal tak terduga dan baru dalam masyarakatnya. Suardi membawa bibit cengkeh lengkap dengan cangkul. Setelah ijab kabul usai, dengan pakaian pengantin mereka tak langsung bersanding. Suardi mengajak Hania menuju samping rumahnya, lalu menanam pohon cengkeh tersebut.

Apa yang dilakukan Suardi sontak jadi perbincangan warga. Apapun itu, jika hal tak lumrah maka akan mengagetkan, meskipun mengandung kebaikan. Ritual foto bersama tak dilakukan di pelaminan, tapi di dekat pohon cengkeh yang baru ditanam.

“Mungkin pesan yang ingin disampaikan Suardi agar kita menjaga lingkungan dan bersyukur sebagai petani,” ujar Puang Hamasing di sela foto bersama.

“Anak muda sekarang  appaumba masagala ‘menciptakan sesuatu yang langka” ujar Puang Ranang sinis, diamini beberapa warga.

***

Dia masih berdiri di depan jendela kamarnya. Menatapi pohon cengkeh kenangan itu. Dia merasa sendiri setelah Suardi setahun lalu memilih ke kota dan lupa pulang. Tak ada kabar. Dia jadi perempuan dengan rindu yang menggila. Bayangan rumah tangga yang utuh dan bahagia berantakan. Pohon cengkeh yang ditanam di hari pernikahannya itu kini mulai berbuah. Dan jadi kenangan yang buat matanya selalu gerimis.

“Rawatlah pohon cengkeh ini, seperti kau merawat cintamu kepadaku,” bisikan Suardi kembali terngiang pagi ini. Dia tersenyum masam. Kehidupan seperti hilang dalam senyumnya. “Dasar pengkhianat,” umpatnya sambil mengelus perutnya. Janin yang ada di dalam sana telah hilang. Dia keguguran sebulan setelah Suardi pergi.

“Aku ingin mencari pekerjaan di kota untuk membeli bibit cengkeh sebagai bekal hidup anak kita kelak,” kata-kata itu selalu saja basah dalam ingatannya. Suardi mengatakannya sambil mengelus perutnya. Dan esoknya, Suardi benar-benar ke kota. Karena guncangan rindu yang gelitar dan susah tidur. Janin dalam kandungannya mengalah dan keluar lebih cepat. Pendarahan hebat nyaris merengkuh nyawanya.

Daeng pasti kecewa jika mendengar aku keguguran,” bisiknya risau sambil terus memandangi pohon cengkeh yang dia tanam bersama Suardi di hari pernikahannya.

Sejak setahun terakhir  berita selingkuh suaminya dengan perempuan kota hampir tiap hari didengarnya. Sejak itulah dia memilih tidak keluar rumah. Dia tak ingin mendengar berita tersebut. Tapi, gosip serupa angin pagi. Bisa menembusi celah sempit sekalipun.  Berita itu  sampai juga di telinganya. Hal itulah yang buatnya susah tidur ditambah dengan tikaman rindu yang memalut. Lelap semakin enggan sampir kepadanya.

Jelang siang Hania belum juga keluar kamar. Dia masih menatapi pohon cengkeh itu. Merasai segala sepi yang amis. Merasai rindu yang manja, merasai sentuhan romantis Suardi. Dia pejamkan mata, membayangkan suaminya pulang dengan berkarung-karung bibit cengkeh.  .

Hania kembali mengelus perutnya yang datar. Kenangan malam pertamanya  dengan Suardi melibas. Rindunya kian menggilas. Dia merasa rindu  telah mencukupkan sepinya. Melengkapinya dengan luka. Tapi dia tak menangis.

“Pulanglah, kekasihku!” bisiknya.

Reranting pohon cengkeh itu merambat ke kamarnya. Hania terkejut. Reranting tersebut mengelus wajahnya. Dia nyaris pingsan mendapati keanehan itu. Rasanya tak mungkin reranting pohon cengkeh bisa menjalar hingga ke kamarnya, dan berubah seribu sembilan puluh sembilan wajah Suardi. Dia ingin lari–menjerit ketakutan. Tapi, dedaunan cengkeh tersebut menutup mulutnya dan rerantingnya merangkulnya hangat. Serupa pelukan Suardi di tengah gerimis. Dan Hania sungguh tak mengerti. ###

Catatan:

Tersiar di buku Tetirah