Sampah Plastik, Si Bandel yang Bikin Lihai Dilema dan Masalah

oleh -282 kali dilihat
Menjejaki Budaya Masyarakat Buang sampah di Halaman Belakang
Sampah plastik/foto-ist
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Berjalanlah sejauh yang kau bisa. Dan buktikan sendiri, sejauh mana pun langkahmu, kau akan tetap menemukan sampah plastik

Tak peduli kau berjalan ke pantai atau gunung atau ke tempat parkiran sebuah mall. Di negara ini, Indonesia,  sampah plastik masih menjadi masalah lingkungan yang belum terpecahkan.

Sampah plastik bahkan masih cukup mendominasi jenis sampah di Indonesia, “Sampah plastik menjadi sebuah dilema dan masalah karena kita masih membutuhkan plastik. Namun, kita belum mampu mengelolanya,” ungkap Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Apa yang diungkakan oleh Fauzan pada Webinar Nasional  Mikroplastik di Ekosistem Perairan Darat: Teknik Identifikasi dan Tantangan Pengelolaan, Rabu, 23 September 2020 memang benar.

KLIK INI:  Para Ilmuwan Ubah Botol Plastik Bekas Jadi Perasa Vanila

Sampah plastik memang jadi masalah serius. Pada hari Sabtu, 19 September 2020 lalu, saat saya mengikuti  World Cleanup Day (WCD) di Jalan Batua Raya 3 Lorong 4 Kota Makassar. Saya melihat sendiri bagaimana bandel dan merepotkannya sampah itu.

Di sana (Batua Raya 3 Lorong 4) terdapat lahan kosong yang tak terlalu luas, kurang lebih seluas ukuran lapangan sepak takraw.

Di tanah kosong itu, telah berpuluh tahun dijadikan tempat sampah oleh warga setempat. Dan ketika WCD digelar, dua mobil truk sampah penuh oleh sampah yang didominasi plastik.

Itu pun belum semua sampah terangkut—hanya yang tampak saja. Sebab semakin digali akan semakin muncul tumpukan sampah.

“Ini telah jadi tempat sampah kurang lebih 25 tahun lamanya,” kata Gasali, salah seorang pemuda Batua Raya 3 lorong 4 saat WCD.

KLIK INI:  Polusi Laut Mengancam Ekosistem dan Kesehatan, Ayo Fokus pada Solusinya!
Sumber mikroplastik

Sifat plastik yang sulit terurai secara alami, ditambah dengan bahan kimia yang terkandung di dalamnya, membuat pengelolaan sampah menjadi tantangan. Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik juga dapat mencemari ekosistem perairan darat seperti sungai, wara, hingga air tanah.

Apa yang saya temukan saat WCD, juga membuktikan penuturan Fauzan, bahwa butuh puluhan, bahkan ratusan tahun agar sampah plastik dapat terdegradrasi.

Bila plastik dibakar akan mengeluarkan racun, bila dibiarkan di alam akan menjadi pecahan-pecahan plastik yang disebut mikroplastik. Hal ini akan merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan hewan, tumbuhan, maupun manusia.

“Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengurangi penggunaan plastik belum cukup. Upaya tersebut perlu diimbangi dengan dorongan untuk mengubah kebiasaan konsumen dalam mengelola sampah plastik sehingga dapat terbentuk model sirkular di mana sampah plastik dapat kembali menjadi plastik siap guna,”  kata Fauzan.

Sampah plastik yang terbuang ke lingkungan, baik darat maupun laut akan menjelma menjadi mikroplastik—yang ukurannya sangat mini.

Dede Falahudin, Peneliti Puslit Oseanografi LIPI, menjelaskan terdapat dua sumber mikroplastik, yaitu primary microplastic dan secondary microplastic.

Primary microplastic adalah plastik yang dibuat dalam ukuran mikron untuk tujuan komersil, seperti kosmetik dan serat baju.

“Sumber mikroplastik sudah banyak ditemukan di benda sehari-hari seperti lulur mandi, pasta gigi, dan sabun cuci muka. Mikroplastik juga terdapat pada serat-serat kain yang kita pakai sehari-hari, kecuali jika seratus persen katun,” rincinya.

Sedangkan secondary microplastic merupakan hasil degradasi dari plastik-plastik yang berukuran lebih besar, seperti botol air mineral atau kantung belanja.

“Contohnya jika kita belanja ke supermarket menggunakan plastik yang biodegradable, proses degradasi plastik ini akan menyisakan hal yang lebih berbahaya karena akan tergradasi menjadi partikel-partikel kecil yang dinamakan mikroplastik yang dapat mencemari lingkungan,” papar Dede.

Perlu standar metodologi

Untuk mrngurangi dan mengetahui mikroplastik dalam sebuah produk. Menurut  Haerul Hidayaturrahman, Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), perlu ada standar metodologi pengambilan sampel hingga analisa mikroplastik untuk mengidentifikasi mikroplastik dalam sebuah produk. Analisa ini nantinya dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan.

“Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan tidak menggunakan mikroplastik dalam produk tertentu dan dapat menerapkan baku mutu plastik yang keluar dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL),” harapnya.

Sedangkan Riskfardini Annissa Ermawar, Peneliti Pusat Penelitian Biomaterial LIPI coba memberikan solusi tentang identifikasi sampah plastik.

Ia mengungkapkan  bahwa iLaB (Integrated Laboratory of Bioproducts) LIPI yang berada di Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, Cibinong memiliki beberapa peralatan yang dapat mengidentifikasi keberadaan mikroplastik.

“iLab memiliki teknologi Field Emission Scanning Electron Microscopy (FESEM) dan 3D Raman Spectroscopy, serta beberapa jenis mikroskop lainnya yang dapat digunakan untuk semua stakeholder,” tutup Dini seperti dikutip dari laman LIPI.

Berjalanlah sejauh bisamu, kau akan temukan satu fakta—sampah plastik telah jadi pemandangan miris di negara +62 ini.

KLIK INI:  Mencemaskan, Kini Laut Terdalam di Dunia pun Mulai Dihuni Plastik