Pulau Lanjukang, Sepetak Harapan yang Mengapung

oleh -1,288 kali dilihat
Pulau Lanjukang, Sepetak Harapan yang Mengapung
Perbincangan Asrul (Penulis) dengan seorang Pemuda di Pulau Lanjukang - Foto/Ist

Klikhijau.com – Pulau Lanjukang, pulau yang masih asing saat pertama kali berkunjung ke sana, Rabu 8 Juli 2020. Melalui informasi di internet, saya menemukan kabar tentang Lanjukang yang kerap dikunjungi turis karena eksotika alamnya yang memukau.

Dari Dermaga Kayu Bangkoa Makassar, perjalan dimulai. Menurut pengemudi Kapal Motor Tempel yang mengantar saya, perjalan dengan speed boat memakan waktu 1,5 jam, namun dengan Kapal Nelayan bisa sampai 3 jam. Di antara hamparan air laut, sesekali saya temui plastik yang mengapung terombang-ambing.

Gemericik air membawa pikiran saya lebih cepat sampai di tujuan. Sebuah pulau yang mungkin akan menyiapkan angan sekaligus kenangan.

Ini tentu saja  tak lebih sendu dari seorang nelayan yang meninggalkan rumah dengan menenteng bekal, yang dalamnya tak hanya serantang nasi. Namun juga ikut terbungkus angan dan ingin. Harapan untuk segera kembali ke rumah dengan hasil tangkapan yang dapat membuat ceria istri yang ditingggalkan.

Pulau Lanjukang termasuk dalam wilayah administrasi Kota  Makassar. Lokasinya sebagai Pulau terluar tak sepopuler nama Pulau Lainnya seperti Samalona dan Lae-Lae yang menjadi destinasi wisata serta brand Restoran ternama di Kota Makassar.

KLIK INI:  Begini Peran Destinasi Wisata Hutan Mangrove Bontang, Kaltim

Dari percakapan saya dengan seseorang di penyebarangan Kayu Bangkoa, Pulau Lanjukang dahulunya tergabung dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Pangkep, namun entah karena apa kemudian berganti stempel administrasi pemerintahan.

***

Tepat matahari di atas ubun, perahu tempel yang saya tumpangi tiba di bibir Pantai Pulau Lanjukang. Hamparan Pasir putih, beberapa sampan kecil dan sebuah rumah panggung berukuran cukup besar namun tampak tak berpenghuni berdiri di kejauhan. Rasanya seperti flash back pada film thriller yang gemar saya nonton.

Baru saja turun dari kapal, dua orang lelaki menghampiri, memberi beberapa isyarat pada rombongan, lalu kami mengikut ke sebuah rumah panggung. Belum lagi sempat meletakkan tas, tetiba rombongan warga berdatangan menghampiri.

Saya menyapa mereka dan segera saja duduk bersama mereka yang sudah duduk terlebih dahulu. Beberapa diantaranya mengamati dengan seksama, lainnya berbincang penuh tawa, dan ada pula yang bergeser mendekati.

Salah seorang diantaranya yang kemudian sangat akrab dengan saya adalah Daeng Rijal (36). Hingga kerumunan warga bubar, Daeng Rijal masih tetap tinggal menemani berbincang tentang banyak hal, dari kehidupan di Pulau Lanjukang dan aktivitas orang-orang di Kota Makassar.

KLIK INI:  Aksi Unik Selamatkan Bumi dengan Cabut Paku di Pohon

Boleh dikata Daeng Rijal dijadikan tokoh oleh warga Pulau Lanjukang, Bapaknya yang seorang imam di pulau dan Pamannya yang seorang RT, seturut memantapkan ketokohannya, juga. Ia banyak menjadi jembatan informasi antara dunia luar Pulau Lanjukang.

Di Pulau Lanjukan, Cemara dan Kelapa menjadi vegetasi yang dominan. Sisanya pisang, sukun, dan semak di antara kebun-kebun kecil warga. Pohon cemaralah yang menjadi peneduh selama perbincangan saya bersama Daeng Rijal.

Perbincangan berlangsung hingga sore di serambi, yang di sekelilingnya berserakan sampah gelas dan botol plastik minuman, juga pembungkus rokok dan snack.

Tentang sampah yang bersebaran, Daeng Rijal kadang ingin menegur kepada pengunjung yang datang, namun rasa tidak enak hati yang sering mengurunkan niatnya.

anak pulau
Komunitas Relawan Pejuang Pelosok mengajak anak-anak Pulau Lanjukang pungut sampah plastik yang telantar di pinggiran pantai – Foto/Ist
KLIK INI:  Asyik, Agus dan yang Lahir 17 Agustus Gratis Masuk TN Bantimurung
Lanjukang dan cerita Daeng Rijal

Pulau Lanjukang menurut Daeng Rijal dahulu berukuran sekitar 4 Hektar. Namun kini, Pulau Lanjukang terasa semakin mengecil. Dari waktu-waktu, air laut semakin mengambil alih bibir pantai.

Daeng Rijal tentu saja tak berbicara tentang pemanasan global, mencairnya es di kutub utara, atau abrasi pantai. Ia hanya bersandar pada perasaanya, bahwa ada yang sedang tidak baik pada bumi tempat ia berpijak.

Niak kapang peccecena linoa..” begitu  ia bilang. Daeng Rijal mengambil patokan pada mercusuar yang kini berdiri hanya hitungan langkah dari bibir pantai. Sementara menurutnya, mercusuar itu dahulu berdiri di tengah-tengah Pulau.

Daeng Rijal sendiri dilahirkan di Pulau Lanjukang hingga kini ia telah memiliki lima orang anak. Tiga orang anaknya, si sulung dan dua adik setelahnya ia bawa ke Pulau Lu’muk-Lu’muk untuk bersekolah.

Sedangkan dua anak lainnya tetap tinggal di pulau Lanjukang. Si Bungsu sendiri berumur 2 tahun dan sangat fasih Bahasa Makassar dan sama sekali tak tahu berbahasa Indonesia.

KLIK INI:  5 Hal Istimewa di Rumah Hijau Denassa yang Membuat Anak Ceria

Dalam hal Pendidikan, Daeng Rijal tak pernah duduk di bangku sekolah, hal yang tak disesali namun Ia tak ingin lagi itu terulang pada anak-anaknya. Sebab itulah Ia memutuskan untuk memboyong ketiga anaknya untuk bersekolah dan dititip pada sanak keluarga di Pulau seberang.

Meskipun, pekerjaan tidak selesai sampai di situ. Kebutuhan hidup anak di rantau dan rasa kerinduan, kerap menjebak Daeng Rijal antara menjaga asa sekolah dan memeluk anak-anaknya dalam atap yang sama.

Daeng Rijal dan juga warga Pulau Lanjukang lainnya tak ingin lagi anak-anaknya yang kelak jadi penerus hidup sebagai nelayan yang dirasa hanya kubangan kemiskinan dan hidup terbelakang. Menjadi Nelayan berarti bersiap hidup akrab dengan kemiskinan. Ia ingin anak-anaknya pandai (berbahasa; dalam kata-kata Daeng), sekecil-kecilnya pintar baca tulis dan berdagang, menjadi tentara sesungguhnya, bukan lagi Tentara Angkatan laut sebagai nada yang satir.

Daeng Rijal berseloroh kalau anak-anak Pulau Lanjukang hanya memiliki dua pekerjaan; Tentara Angkatan Laut dan Pelayaran. Tentu saja yang dimaksud adalah warga laki-laki yang hanya memiliki satu pekerjaan, menjadi  nelayan.

KLIK INI:  Nasib Pilu Nelayan di Kalukubodoa, WALHI Sulsel: Harus Ada Pemulihan Lingkungan

Sementara kaum perempuan menjadi ibu rumah tangga sekaligus terserap pada kehidupan nelayan sebagai roda produksi. Seperti Istri Daeng Rijal yang saya temui di samping rumahnya. Ia sedang sibuk membersihkan beberapa ekor ikan hasil pancingan untuk dikeringkan, setelah sebelumnya ditaburi garam.

Sambil memperhatikan istrinya yang sedang mebersihkan ikan, Ia berkata penuh semangat “sebenarnya anak-anak di sini cepat pintar karena rajin makan ikan.”

Kegetiran Seorang Pemuda Bernama Anas

Ketika bulan bertengger di kaki langit Timur, Anas (20), seorang Pemuda yang lahir dan merasa betah mendiami pulau kelahirannya memulai kisah.

Perjumpaan dengannya dimulai saat warga pulau mengurumuni kedatanganan saya. Ia termasuk salah satunya. Anas langsung mendekat, meraih buku bacaan yang kuletakkan di samping tempat duduk saya, lalu membolaki-baliknya.

KLIK INI:  Restorasi Terumbu Karang untuk Perairan Makassar yang Lebih Baik

Tak ia baca, hanya sekadar memperhatikan beberapa gambar orang-orang Papua. Buku yang sedang saya baca dengan Judul The World Until Yeseterday karya Jared Diamond ini memang terdapat foto wajah serta kehidupan  orang-orang Papua, Afrika, dan Suku Indian.

Anas mengunjugi saya bersama beberapa pemuda lainnya, dua diantaranya menenteng gitar. Setelah kusuguhkan Kopi, Anas memulai ceritanya.

Bermula dari ceritanya tentang saudaranya yang Ia yakini sebentar lagi akan meninggalkan Pulau Lanjukang. Saudaranya akan menikah dengan seorang perempuan di Nusa Tenggara Barat, lalu setelah acara pernikahan barang tentu akan segera berpindah ke kampung halaman istri.

Setiap satu orang warga pergi meninggalkan Pulau, Anas selalu merasa sebagian keceriaan hidupnya menghilang. Satu bulan sebelumnya, Anas sangat terpukul dengan kepergian salah satu kerabatnya, bukan ke Pulau lain, namun ke lain dunia. Seorang Pemuda Pulau yang meninggal terseret arus saat sedang menyelam mencari gurita.

KLIK INI:  Nipah Mall, Memanen Hal Baik dari Penerapan ‘Green Building’

Menurut Anas, 9 tahun lalu, orang-orang Pulau Lanjukang tidak perlu menyongsong jauh mengemudi kapal jika hanya sekadar mencari gurita, cumi, atau pun ikan pancingan lainnya. Cukup mengayuh kapal beberapa meter saja, pancing dilempar lalu panen memuaskan akan terasa.

Namun kini, cerita berkata lain. Untuk sekadar mendapatkan tangkapan yang sedikit, mereka sudah harus cukup jauh meninggalkan pantai dengan tentu saja memakan ongkos lebih mahal dan tenaga yang lebih terkuras.

Memang ada waktu-waktu di mana tangkapan dirasa cukup dan dekat, namun tetap saja pada kesimpulan, hasil tangkapan sudah semakin sedikit dari hari ke hari.

Warga di Pulau Lanjukang seluruhnya bekerja sebagai nelayan tangkap, maka kail pancing adalah kunci. Umpan untuk memancing dibuat sendiri.

“kita di sini bikin sendiri umpan. Kalau orang kota, sambil menunjuk pakai udang, tapi kan mahal.” Alasan lain menggunakan umpan adalah membiarkan ikan kecil bisa bertumbuh besar dan siap ditangkap.

KLIK INI:  Karst dan Gua Purba di Maros-Pangkep serta 3 Hal Fenomenal di Baliknya

Namun bagi Anas, cara pandang seperti itu adalah penghianatan terhadap dirinya sendiri. Beberapa tahun belakangan, sering bermunculan orang-orang yang datang meledakkan lautnya. Atau segerombolan orang-orang aneh yang datang memasukkan benda aneh di antara karang yang membuat ikan jadi teler.

Anas tak dapat berbuat banyak selain memandangi terumbu karang yang hancur. Tempat ia dulu sering menjulurkan mata pancing untuk menyambung hidup dan asa.

Anas tahu, bahwa kini hidupnya hanya sekadar nafas tersengal-sengal namun ia juga tak ingin meninggalkan Pulau yang sangat dicintainya.

Kedatangan orang yang berliburan di Pulau tempat ia menambatkan hidup hanya mengukuhkan pendiriannya bahwa mungkin Ia seorang aneh di luar sana. Untuk itu, Pulau Lanjukang adalah ketenangan baginya.

***

Mungkin orang kota bisa melihat orang Pulau Lanjukang sebagai kelompok marginal, dan juga orang Pulau Lanjukang memang telah lama hidup dengan stereotip. Namun mungkin kita perlu belajar banyak tentang bagaimana mereka terus menjaga asa yang meski pun mereka sadari, itu hanya seperti buih yang mengapung terombang-ambing.

KLIK INI:  Cerita dari Komunitas Pemuda di Makassar, Sulap Lorong Sunyi jadi Wisata