Protes Keras Koalisi Masyarakat Sipil untuk Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng

oleh -362 kali dilihat
Protes Keras Koalisi Masyarakat Sipil untuk Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng
Lahan gambut di Kalteng - Foto/Ekonomibisnis
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Protes keras diajukan koalisi masyarakat sipil untuk proyek cetak sawah atau food estate di lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Proyek yang rencana pengerjaannya berlangsung mulai tahun 2020 hingga 2022 ini menargetkan sawah baru seluas 165.000 hektare. Selain Kementerian Pertanian, program food estate juga akan digarap oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian BUMN.

Koalisi masyarakat sipil tersebut terdiri dari WALHI, Auriga, Greenpeace, Pusaka, Save Our Borneo, JPIC Kalimantan dan LBH Palangkaraya. Mereka menilai proyek ini sebagai kebijakan yang keliru yang berkedok di balik isu ancaman krisiss pangan.

Pemerintah dianggap tidak belajar pada kegagalan masa lalu. Selain itu, proyek ini dianggap minim kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat.

Dalam pernyataan sikapnya yang masuk ke meja redaksi Klikhijau, koalisi mengajukan tuntutan tegas dengan 3 analisis, berikut penjelasanya:

KLIK INI:  Ini Pesan Menteri LHK di Hari Bakti Rimbawan 2021!
Pertama, Proyek ini akan menambah kerugian negara!

Karena itu, proyek ini harus dihentikan mengingat sejarah masa lalu.

Sejarah mencatat bahwa Negara pernah gagal pada program yang sama di lahan gambut seluas sejuta hektar  yakni di masa pemerintahan orde baru, tahun 1995.

Proyek yang ditetapkan melalui Keppres no 82/95 yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto yang akhirnya  diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie.

Kegagalan tersebut, menurut  Koalisi masyarakat sipil, dilatarbelakangi ketidakpahaman dan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Padahal proyek tersebut telah menyedot APBN hingga 1,6 Triliun.

Selain gagal total, sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR)  yang diperuntukan untuk  pemulihan hutan.

KLIK INI:  Integrasi dan Kolaborasi Lintas Sektor Diperlukan Demi Pemulihan DAS

Pasca gagalnya proyek ini setidaknya ada dua kebijakan penting untuk melakukan rehabilitasi. Pertama, melalui Keppres No 80/1999  yang telah mengalokasikan dana untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak dan pada tahun 2007.

Kedua, melalui Inpres 2/2007 juga mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya.

Wilayah ini juga kemudian menjadi  wilayah prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana pemerintah yang tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pengelolaan dan pemulihan  kawasan ini hingga saat ini.

Hampir semua proyek food estate  di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari perusahaan terus mengalami kegagalan dan dibarengi dengan isu korupsi. Kerusakan lahan gambut juga akan memicu kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan biaya penanggulangan bencana yang akan menguras keuangan negara.

Kedua, proyek ini merusak ekosistem! 

Kegagalan sistem ekonomi dan model pembangunan yang bertumpu pada ekstraksi sumberdaya alam telah mengakibatkan konsekuensi yang serius pada keberlanjutan bumi dan masa depan umat manusia.

KLIK INI:  Mengantisipasi Dampak Food Estate terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut

Saat ini dunia telah dihadapkan pada dua masalah yang serius yaitu krisis iklim dan kesehatan karena gagalnya pemerintah untuk melindungi kepentingan publik dan kerakusan korporasi untuk mengeruk keuntungan dengan terus merusak alam .

Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah bahkan untuk menghindari sumber penyakit zoonosis yang berasal dari pengrusakan alam.

Rencana pembangunan food estate di lahan gambut  kembali menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap perlindungan ekosistem rawa gambut. Hal ini akan memiliki konsekuensi yang serius di masa depan.

Wilayah eks PLG yang kini menjadi petaka telah menghilangkan dan mengancam biodiversitas yang tinggi seperti kayu Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti Rawa ( Shorea balangeran) yang merupakan jenis kayu endemik di wilayah gambut.

KLIK INI:  Drainase Pertanian Berpotensi Jadi Penyebab Karhutla

Proyek tersebut juga ditengarai telah menghilangkan habitat asli orangutan. Serta meninggalkan monumen kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu Km yang menjadi penyebab kekeringan gambut dan sumber bencana kebakaran dan asap di Kalimantan Tengah bahkan sampai ke negara tetangga.

Kebakaran hutan juga telah berimplikasi serius bagi kesehatan warga seperti penyakit ISPA dan memicu kematian dini  dan pelepasan emisi gas rumah kaca.

Setelah kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 1997 yang meluluhlantakan wilayah ini, dimana 80 persen lanskap ini terbakar dan melepaskan sekitar 0,15 miliar ton karbon dan setelahnya  wilayah ini menjadi sumber api setiap tahun.

Setidaknya  sepanjang tahun 2015-2019 wilayah ini merupakan sumber titik api dan mengalami kebakaran seluas -/+ 465.003 Ha atau menyumbang hampir 39 % dari total 1.180.000 ha luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, dimana  lokasi kebakaran terjadi berulang di wilayah yang sama.

KLIK INI:  Mitra Hijau Asia Fokuskan Dana CSR untuk Kegiatan Sosial dan Keagamaan

Hal ini menunjukkan bahwa sumber bencana kebakaran berasal dari wilayah ini jika dilihat dengan rasio luas kebakaran di Kalimantan Tengah.

Upaya pembangunan food estate di lahan gambut kembali menunjukan pengingkaran pemerintah di bawah kepemimpinan presiden Jokowi untuk membuka lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan direhabilitasi.

Ketiga, meminta agar mengembalikan urusan pangan pada petani

Setelah kegagalan PLG, seharusnya pemerintah melakukan pemulihan  pasca ganti rugi yang telah diberikan kepada sebagian masyarakat di wilayah ini. Namun pada kenyataanya ketimpangan penguasaan lahan semakin tinggi dan konflik tanah terus  meningkat di wilayah ini.

Hal ini sebabkan  karena sebagian besar eks- PLG justru telah diberikan izin untuk perkebunan sawit. Hal ini juga telah menghancurkan sistem pertanian dan perikanan tradisional seperti Beje dan sistem handil dan sistem adat dan kearifan lokal lainnya sebagai bentuk pertanian/ perladangan kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini.

KLIK INI:  Krisis Iklim Merusak Banyak Hal, Termasuk Beberapa Kegemaran Kita

Penempatan transmigrasi juga telah merubah struktur sosial dan model kepemilikan lahan di beberapa wilayah dengan meng-kontradiksikan antara  sertifikat tanah dan tanah adat juga menjadi salah satu pemicu konflik lahan di wilayah ini.

Atas pertimbangan- pertimbanga di atas, Koalisi Masyarakat Sipil yang yang bergerak pada isu lingkungan dan hak- hak masyarakat secara tegas menolak pembangunan food estate di lahan gambut di Kalimantan Tengah  dan juga di wilayah lainya di indonesia.

Saran pada pemerintah

Di masa pandemi ini seharusnya pemerintah memprioritaskan sumber dayanya untuk menangani penyebaran Covid-19  yang masih terus meningkat hingga saat ini. Pemerintah juga harus berkolaborasi untuk mencegah perubahan iklim yang tak terkendali dengan menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat.

Seharusnya  pemerintah merubah secara radikal sistem pertanian dan penggunaan lahan skala luas berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan alam dalam jangka panjang.

Dalam jangka waktu saat ini, pemerintah seharusnya melakukan disertifikasi pangan. Dan mengembangkan pangan lokal yang tersebar di berbagai belahan negeri di Indonesia.

Juga melakukan intensifikasi di lahan- lahan yang cocok  atau di lahan eks HGU / tanah terlantar di tanah mineral yang tidak dikelola oleh perusahaan untuk mengoptimalkan produksi pangan. Dan melakukan mekanisasi teknologi bagi petani, bukan di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal.

Koalisi juga meminta pemerintah untuk menghentikan penggusuran  terhadap lahan- lahan pertanian untuk pengembangan infrastruktur, investasi tambang dan perkebunan sawit yang selama ini dipraktikkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Saatnya sistem pertanian dan pangan dikembalikan kepada petani sebagai soko guru di negeri agraris ini.

KLIK INI:  SIEJ Simpul Sulut Kunjungi ABC Manado, Diskusi Terkait Upaya Pelestarian Anoa