Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani

oleh -236 kali dilihat
Menilik Pentingnya Perpanjangan Moratorium Sawit
Ilustrasi pekerja di perkebunan sawit - Foto/Kompas

Klikhijau.com – Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (INPRES Moratorium Sawit) yang akan berakhir tahun ini, perlu diperpanjang untuk memberi ruang perbaikan tata kelola guna meningkatkan kesejahteraan petani dan daerah-daerah penghasil sawit.

Hal ini ditegaskan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan. Menurut Trias, masih banyak persoalan tata kelola sawit yang harus dibenahi agar petani dan daerah sejahtera.

“Di antaranya sengkarut perizinan, perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani, subsidi yang tidak tepat sasaran, prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani yang minim, hingga perimbangan keuangan pusat-daerah yang dirasa belum adil,” ujar Trias Fetra.

Oleh karena itu, kata Trias, moratorium sawit selama 3 tahun ini harus diperpanjang agar semua pihak punya waktu cukup untuk berbenah.

Sengkarut perizinan sawit membuat pendapatan daerah kurang optimal. Setidaknya Madani mencatat terdapat 11,9 juta izin sawit yang belum ditanami sawit. Area ini perlu mendapat perhatian sebagai prioritas revisi izin yang telah diberikan.

Di sisi lain terdapat pula 8,4 juta tutupan sawit yang belum terdata izin sawitnya. Tentunya pemerintah pada area ini perlu mencermati dan memastikan status izin yang ada agar dapat mengoptimalkan pendapatan negara.

KLIK INI:  Mengantisipasi Dampak Food Estate terhadap Hutan Alam dan Lahan Gambut
Kesejahteraan petani wasit

Trias Fetra menambahkan, selain memperpanjang moratorium sawit, Pemerintah juga perlu membuat formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Diantaranya melalui pengelolaan harga TBS dan dana perkebunan sawit.

Hal ini penting, lanjut Trias, karena saat ini penggunaan Dana Perkebunan Sawit tidak tepat sasaran.  Sehingga tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan petani sawit.

Selain itu, tambahnya, formula penetapan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani lebih banyak menguntungkan dan mensubsidi pengusaha.

“Dalam kajian yang dilakukan oleh Madani, dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit rakyat, program pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan sumber daya manusia di sektor perkebunan sawit dan sebagainya, ternyata digunakan untuk program subsidi biodiesel,” kata Trias.

Berdasarkan data KPK (2017), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO dan produk turunannya sebesar Rp 11 triliun pada 2016.

KLIK INI:  WALHI Desak Usut Tuntas Kasus Penembakan Warga Segar Wangi Kabupaten Ketapang

Menurut Trias, dari besaran dana yang dihimpun tersebut, BPDPKS mengalokasikan sebesar 81,8% untuk subsidi biodiesel. Ada dua grup usaha, yaitu Wilmar Grup dan Musim Mas Grup yang mendapatkan alokasi terbesar dari subsidi biodiesel tersebut.

Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menambahkan bahwa dalam analisis input-output yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit untuk membiayai subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibandingkan menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit.

“Jika semua penerimaan dana perkebunan sawit digunakan untuk sektor perkebunan sawit maka pertumbuhan output produksi di sektor tersebut meningkat sebesar 6,52%. Dan juga memengaruhi output produksi sektor lain, seperti faktor produksi tenaga kerja naik sebesar 0,59%, output faktor produksi rumah tangga juga meningkat sebesar 0,50%,” terang Erlangga.

Sedangkan, jika dana tersebut semuanya digunakan untuk subsidi biodiesel, kata Erlangga, hanya mampu meningkatkan output produksi sektor industri biodiesel sebesar 1,23%. Output produksi tenaga kerja dan output produksi rumah tangga hanya naik sebesar 0,31%.

Selain itu, tujuan dari penghimpunan dana perkebunan sawit untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sesuai dengan mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tidak terealisasi.

KLIK INI:  Karang Taruna Karang Anyar Jakpus Gelar Gerakan Pungut Sampah di HPSN 2021

“Pemerintah mendorong peningkatan harga CPO dengan melakukan pungutan ekspor terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. Dimana dana dari hasil pungutan tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel. Hal tersebut dilakukan agar produksi biodiesel di dalam negeri meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO,” jelas Erlangga.

Intan Elvira, peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan juga menegaskan bahwa meningkatnya permintaan CPO akan mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya, harga TBS di tingkat petani meningkat. Pada akhirnya, akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan rakyat.

“Ternyata hal tersebut tidak terjadi. Harga CPO di dalam negeri tidak mengalami peningkatan signifikan dan cenderung berfluktuasi. Misalnya, pada 2014, rata-rata harga CPO berdasarkan harga acuan Belawan dan Dumai sebesar Rp 9.084/Kg. Harga tersebut sebelumnya pemerintah melakukan pungutan ekspor. Setelah, pungutan ekspor dilakukan pada 2015, harga CPO lebih rendah dibanding harga sebelum pungutan ekspor. Bahkan, pada 2019, harga turun menjadi Rp 6.829/Kg,” tambah Intan Elvira.

Karena itu, tambah Elvira, Badan Pengarah BPDPKS perlu mengubah strategi penggunaan dana perkebunan sawit agar fokus pada perbaikan kesejahteraan petani. Seperti program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit.

Hal ini penting dilakukan agar mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bisa direalisasikan dengan baik. Di mana dalam regulasi tersebut diatur penggunaan dana perkebunan sawit untuk program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit.

Selain itu, Badan Pelaksana BPDPKS perlu memperbaiki skema penyaluran dana untuk program peremajaan sawit rakyat yang berbasis pada data yang valid (spasial dan numerik), memangkas proses birokrasi yang panjang, seperti proses rekomendasi teknis yang bertingkat dan verifikasi calon penerima.

KLIK INI:  Personel Slank Titip Isu Lingkungan Kepada Presiden dan Wapres Terpilih