- Bongo’, Meski Dibenci Tetap Memberi Banyak Manfaat - 26/03/2024
- Mikroplastik di Dada Ibu - 10/03/2024
- Pelarangan Penggunaan Kantong Plastik, Kejutan Lain dari Kota Makassar - 06/03/2024
Klikhijau.com – Jurnal Aggressive Behavior pernah memuat sebuah penelitian tentang perilaku pengemudi saat macet. Publikasi itu sudah lama, yakni tahun 1999 yang menunjukkan adanya peningkatan stres dan perilaku agresif pada pengemudi-pengemudi yang menghadapi kemacetan parah, baik perempuan maupun laki-laki.
Pada penelitian tersebut tidak ditemukan ada perbedaan level stres signifikan antara pengendara laki-laki dan perempuan yang mengalami kemacetan panjang, semuanya tampak sama saja.
Namun berbeda konsekuensi negatif macet terhadap perempuan yang bekerja di luar rumah sekaligus menangani urusan rumah tangga, dampak macet lebih besar baginya, baik secara fisik maupun psikis.
Tirto.id yang mengutip Washington Post memuat berita jika profesor di UC Irvine Institute of Transportation Studies, Raymon Novaco mengatakan, perempuan secara umum bertanggung jawab untuk mempersiapkan berbagai macam keperluan untuk anggota keluarganya pada pagi hari sehingga lebih mungkin terburu-buru untuk berangkat ke kantor.
Nah, perasaan terburu-buru ini seiring dengan kecemasan yang bila terus ditumpuk juga berpengaruh terhadap kesehatan. Di samping itu, durasi panjang perjalanan berangkat dan pulang ke tempat beraktivitas dapat memangkas waktu tidur atau istirahat seseorang. Belum lagi berkurangnya waktu berinteraksi dengan anak-anak bagi yang sudah berkeluarga.
Akhir pekan bisa dihabiskan untuk mengistirahatkan fisik dan pikiran mereka. Namun, tidak sedikit orang yang harus kembali melintasi jalan untuk memenuhi janji bermain dengan anak ke luar rumah, bertemu teman-teman lama, mengunjungi orangtua dan sanak keluarga, menghadiri resepsi pernikahan, atau kegiatan lainnya. Tak heran bila di beberapa titik di kota-kota besar pada hari Sabtu-Minggu pun tetap padat oleh kendaraan.
Kemacetan juga dikaitkan dengan beberapa penyakit fisik. Peningkatan tekanan darah, sakit kepala, nyeri di beberapa bagian tubuh seperti punggung, kaki, dan leher adalah beberapa contohnya. Risiko penyakit jantung dan stroke juga bisa dialami akibat akumulasi stres yang salah satunya disumbang dari perjalanan ke tempat-tempat beraktivitas.
Sementara fakta lain diungkapkan oleh Nurlayla Ratri yang dipublikasikan di jatimtmes.com, Kamis 7 Februari 2019 lalu mengungkapkan minimnya infrastruktur dan kemacetan menjadi salah satu pemicu meningkatnya angka kematian di kota-kota besar, termasuk di Kota Malang
Hal itu diakui Kabid Pemberdayaan Perempuan Provinsi Jawa Timur, Herawanto Ananda bahwa keterlambatan penanganan akibat kemacetan bisa meningkatkan risiko kematian ibu yang akan melahirkan.
“Angka kematian yang banyak terjadi di kota-kota besar ini salah satunya karena kemacetan. Ketika seorang ibu dalam masa kritis, tidak bisa cepat mendapat penanganan karena terjebak dan habis waktunya di jalan,” ujar Ananda.
Ananda menegaskan bahwa hal tersebut harus menjadi perhatian, termasuk oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Pasalnya, masalah infrastruktur penunjang maupun solusi kemacetan kadang dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari upaya penurunan angka kematian ibu.
“Kota Malang ini kan kedua terbesar di Jatim, termasuk yang macet-macet juga. AKI juga masih terjadi di 2018 lalu,” tegasnya.
Wakil Wali Kota Malang, Sofyan Edi Jarwoko membenarkan hal tersebut, menurutnya tingginya angka kematian ibu (AKI) memang masih tinggi dan menjadi perhatian serius pemkot.
“Angka kematian ibu melahirkan di 2018 masih ada 14 kasus, kemudian tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak juga masih tinggi,” ujar Edi.
Dampak buruk macet yang rutin dialami seseorang tidak selalu dirasakan secara instan, tetapi datang bertahun-tahun kemudian, yang bisa berakibat sangat fatal.