Perempuan Beraroma Kopi

oleh -885 kali dilihat
Ilustrasi perempuan menyeruput kopi
Ilustrasi perempuan menyeruput kopi/foto-pngtree.com
Irhyl R Makkatutu

Lelaki itu terus saja mengirimi pesan messenger. Pesan yang tak pernah berubah, juga waktunya—jam tujuh pagi lewat delapan belas menit.  Awalnya aku tak percaya  ada lelaki seperti itu. Benar-benar tak percaya

Jujur saja aku curiga jika ia gay. Tapi, ia tak pernah menyinggung hal-hal vulgar, tak pernah. Ia cukup sopan setiap mengirim pesan. Pesannya lebih banyak aku abaikan daripada aku tanggapi, tapi ia tak putus asa. Selalu saja begitu, tiap pagi selama kurang lebih tujuh bulan ini. Aneh.

Jika saja ia perempuan, aku pasti sudah mencari  alamatnya agar bisa menemuinya. Aku akan mengajaknya mengunjungi kampungku, menikmati Donggia yang masih perawan itu, juga baruttung tinggia ‘air terjun yang tinggi,’ atau ke permandian tosunrayya ‘orang yang tak kasat mata’ yang bersusun tiga di gamaccayya. Ia pasti akan kegirangan dan lupa jalan pulang ke kampungnya.

Tapi, ia lelaki dan aku masih normal, masih menyukai lawan jenis, masih menyukai puting susu perempuan. Jadi, tak mungkin aku akan bersusah payah mencari tahu lebih banyak tentang lelaki itu. Tak mungkin.

Kemarin pada waktu yang sama, jam tujuh lewat delapan belas menit. Lelaki itu kembali mengirimiku pesan yang sama, hanya ditambah satu kata saja “tolong” itu untuk pertama kalinya sejak ia mulai mengirimiku pesan. Pesannya singkat, sangat singkat “tolong tuliskan kisahku!”

KLIK INI:  Jendela Hujan

Sudah kujelaskan panjang lebar, bahwa aku tak bisa membantunya. Tapi, ia tetap ngotot agar aku menuliskan kisahnya. Kisahnya ingin dibuatkan cerita pendek. Kukatakan padanya aku telah lama meninggalkan dunia itu.

Bagiku sebuah cerita tak pernah berhasil memperbaiki sebuah masalah, membayar utang negara, menyadarkan pemerintah agar berpihak pada rakyat. Sebuah cerita hanya diciptakan untuk didongengkan sebelum tidur, maka aku putuskan berhenti menuliskannya. Pun sebuah cerita tak pernah berhasil mempertemuknanku dengan Talia.

Talia

Aku bertemu dengannya di Danau Kahayya. Ia jauh-jauh dari Makassar bersama tiga orang temannya. Salah seorang dari mereka  ingin tetirah, melupakan kekasihnya yang pergi entah. Aku yang sedang memetik kopi tak jauh dari danau itu diminta memotretnya melalui handphone Talia.

Aku menyanggupinya dengan suka rela. Di mata Talia barangkali aku terlihat kampungan sehingga ia menjelaskan banyak hal mengenai cara memotret. Termasuk bagian mana yang harus aku tekan.

Ingin kukatakan padanya,  tak ada orang kampungan, yang ada hanya mereka belum tahu. Kampungan selalu diidentikkan dengan orang kampung yang dianggap ketinggalan zaman, lalu apa bedanya dengan orang kota yang masuk ke kampung dan kegirangan setengah hidup melihat sungai yang mengalir jernih, sawah-sawah yang menguning dan markisa yang tak tahu mereka makan. Apa namanya itu, apa harus dinamai kekotaan?

Setelah berhasil memotret mereka dengan latar Danau Kahayya yang masih asli itu. Talia dan tiga orang temannya penasaran bagaimana rasanya memetik kopi. Aku mengajaknya, kapan lagi dapat tenaga gratis. Mereka kegirangan ketika menyentuh buah kopi, dan entah berapa puluh foto mereka abadikan saat memetiknya.

Bukankah itu juga ‘kampungan’? Bagi orang kampung memetik kopi tak harus difoto, itu sebuah kebiasaan yang lumrah.

Dari sanalah perkenalan kami bermula. Ketika ia memperkenalkan namanya, aku hampr tertawa. Sebab namanya dalam bahasa di kampungku artinya bukan.

“Talia,” katanya

Aku menyebut namaku selepas ia menyebut namanya. Pertemuan itu menjadi gerbang untuk memasuki gudang cerita dalam hidupku.

KLIK INI:  Pembakar Kisah di Danniari

Mereka bermalam dua malam di rumahku karena hujan mengguyur selama dua hari dua malam tanpa jeda. Adikku yang perempuan girang karena punya teman.

Keberadaan Talia di rumah selama dua malam itu membuatnya akrab dengan Ibu. Ia mudah bergaul, membantu ibu di dapur, bahkan tak canggung menyeduhkan kopi untuk Ayah.

Tingkahnya itulah yang menyiksaku, aku jatuh cinta kepadanya. Dan selama dua malam itu, aku menulis cerita tentangnya. Cerita yang membuatnya membalas cintaku. Cinta memang kajili-jili.

Lalu pada sebuah peristiwa yang tak pernah punya alasan. Talia menghilang. Ia lupa berkabar kepadaku, dan aku semakin gila menulis cerita tentangnya—mengirimnya ke banyak media, berharap ia membacanya dan kembali menemukan cara berkabar. Tapi sia-sia. Tiga tahun ini aku memutuskan berhenti menulis.

Namun, aku tak pernah bisa lepas dari bayangannya, dari kenangannya. Jalinan asmara kami selama tiga tahun lima bulan sembilan hari tak mudah lerai dari ingatan.

Selama kami menjalin hubungan, aku mengunjunginya di Makassar sebanyak 37 kali. Dan ia menemuiku di kampung sebanyak 59 kali.

KLIK INI:  Suatu Pagi, Bumi Mati di Sebuah Kota

Tak jauh dari Danau Kahayya, tempat pertemuan pertamaku dengannya ada lahan warisan kakek yang menganggur, setiap Talia datang menemuiku, kami menandainya dengan menanam 5 bibit kopi. Angka 5 adalah tanggal pertemuan kami.

Ajaibnya, 295 bibit kopi yang kami tanam bersama tak satu pun yang mati. Kini kebun itu aku sulap menjadi wisata kopi, tempat bagi orang yang ingin mengenang kisah cintanya. Dulu aku sering katakan pada Talia, kebun itu akan menjadi mahar untuknya ketika aku menikahinya.

Namun, janji itu tak pernah tertunai. Talia pergi dengan cara yang tak pernah kutemukan alasannya. Cerita yang kutulis untuknya, selama perginya tiga tahun ini tak pernah bisa menemukannya. Dan aku mulai terbiasa tanpanya hingga suatu hari seseorang mengirimkan pesan, lelaki itu

Lelaki itu

Kemarin itu, setelah kata tolong menambah pesannya. Pagi tadi, ia bercerita perihal kisahnya. Brengsek betul, kenapa baru menceritakannya. Padahal sejak lama ia ingin kisahnya aku tuliskan.

Ia bercerita bahwa pernikahannya batal, sebab perempuan yang akan dinikahinya menghilang. Tak ada tanda apa-apa di rumahnya selain celana dalam berwarna ungu. Pakiannya hanya itu yang tersisa. Ia mencari helai rambut calon istrinya itu, tapi tak ditemukan. Ia percaya bahwa sehelai rambut yang dituangi doa-doa oleh orang pintar bisa mengembalikan perempuannya, tapi tak ada sehelai rambut pun ditemukan. Tak ada.

Katanya ia ditertawakan oleh orang pintar saat membawa celana dalam perempuan itu. Ia memohon  agar menggunakan saja celana dalam itu untuk memanggil kembali calon istrinya.

“Celana dalam tak bisa,’ kata orang pintar itu

“Kenapa?” tanyanya

“Sebab tak dibawa lahir,” jawab orang pintar itu.

Maka lelaki itu gagal mengirim doa agar perempuannya kembali—calon istrinya.

Aku tertawa sendiri saat membaca chatnya tersebut. Namun, harus kuakui ketika ia mengisahkan kisahnya, pikiranku tertuju pada kisahku sendiri. Kisah yang menolak aku ceritakan. Bagaimana Talia pergi.

Pergi

Aku tak pernah mengungkapkan kisahku secara jujur, bahkan kepada kedua orang tuaku dan juga adik perempuanku yang sering bertanya tentang Talia.

Jujur pada diri sendiri acap lebih sulit dan meyakitkan dan aku menolak menyakiti diri sendiri, maka kisahku dengan Talia yang telah tenggelam selama tiga tahun ini tak pernah kuceritakan.

“Aku akan kirimkan foto perempuan itu,” tulis lelaki itu

“Tak perlu, aku tak bisa membantumu,” balasku

Aku kembali menjelaskan bahwa aku telah kehilangan gairah menulis cerpen. Aku   menyarankan mencari orang lain. Aku menyebut beberapa nama penulis yang bisa membantunya,. Tapi ia tetap menolak. Ia tetap ingin aku yang menuliskan kisahnya. Brengsek betul

Aku sarankan padanya agar tak perlu mengirimkan foto calon istrinya. Aku tak akan iba lalu menuliskannya.  Tapi, ia ngotot akan mengirimnya besok. Aku penasarannya saja.

Besoknya foto itu benar-benar ia kirim, tepat jam tujuh pagi lewat delapan belas menit. Aku tersentak kaget, ternyata itu foto Talia. Kopiku nyaris tumpah. Dan aku mengumpat lelaki itu.

“Bagaimana kamu bisa kenal dengan perempuan ini?” ketikku pada layar handphoneku, tapi pesan itu tak pernah terkirim, tak pernah.

Aku menyeruput kopiku, rasanya terasa sangat pahit, itu buah pertama dari kopi yang aku dan Talia tanam tiga tahun lalu.

Ayah yang duduk di depanku mendongakkan kepala ketika mendengar seseorang menaiki tangga. Ketika orang itu muncul, dari bibirnya yang disumbat rokok tembakau terucap kata: Talia

Aku menoleh ke arah pintu, Talia melangkah dengan canggung. Hatiku bergetar hebat, tak ada kata yang bisa kucapkan. Begitu juga dengan Talia dan Ayah. Ibu dan Adikku pagi itu tak a da di rumah.

Talia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah sertifikat. Ia menyerahkannya pada Ayah. Ayah membukanya di depanku. Di sana tertera nama Talia Patanna sebagai pemilik kebun kopi yang dulu kami tanami bersama. Kebun yang kusiapkan untuk maharnya.

Sial, aku baru tahu nama lengkap Talia. Talia Patanna dalam bahasa kampungku berarti “bukan miliknya”. Aku menatap Ayah.

Rokok tembaku Ayah jatuh dari bibirnya tanpa ia sadari….

 

Rumah kekasih, 19 Nov 2017-13 April 2018

 

Penulis:

Irhyl R Makkatutu, lahir di Desa Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Warga Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra (IPASS).

Pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.