Pada Sebatang Pohon Kelapa

oleh -1,192 kali dilihat
Pada Sebatang Pohon Kelapa
Pada Sebatang Pohon Kelapa/foto-google
Irhyl R Makkatutu

Pohon kelapa di depan rumah terus saja berbuah. Besar dan tinggi. Ketika pertama kali berbuah,   banyak orang datang berfoto.

 Ia  berbuah ketika tingginya setinggi orang dewasa yang berdiri. Mungkin itu yang menjadi daya tariknya.

Pohon multi guna itu  ditanam tepat di hari kelahiranku. Plasenta atau ari-ariku ditanam di bawahnya. Aku selalu ingat itu. Karena Ibu dan Ayah sering menceritakannya.

Pohon kelapa itu cepat berbuah karena ari-arimu,” kata Ibu

Mata Cimmang nanar. Ia menangis. Dipandangi lagi pohon kelapa tersebut. Lalu sedu tak tertahan. Ia rindukan ibu dan ayahnya. Rindu pada cerita pohon kelapa itu.  Ia selalu terngiang cerita orang tuanya.

Sejak kecil ia telah ditinggalkan ibu dan ayahnya. Orang taunya merantau pada entah yang ia tak tahu. Ia tak mengerti kenapa orang tuanya meninggalkan dirinya. Saat itu ia belum paham arti ditinggalkan.

Sogokan mainan mobil-mobilan mampu membuatnya tak menangis. Ia kegirangan ketika ibunyanya mengatakan, “Ibu dan ayahmu pergi dulu untuk mencari pembeli mobil-mobilan yang banyak.” Saat itulah senyum rekah indah di bibir mungil bocah tiga tahun tersebut.

“Kenapa Ibu dan Ayah belum pulang, Nek? Mobil-mobilanku telah rusak,” rengeknya pada neneknya. Dua atau tiga minggu pasca orang tuanya pergi.

Rengekan itu terulang dan terulang tiap hari. Neneknya kebingungan menjawabnya. Apalagi ketika umurnya juga kian bertambah.

Pertanyaan tentang orang tuanya juga bertambah. Kebingungan neneknya pun kembali bertambah, ketika  Hadasia, dan suaminya  tak pulang selama bertahun-tahun.

Hanya pada tahun-tahun pertama kabar dan kirimannya rutin datang. Namun, seperti tamu yang keseringan berkunjung ke rumah. Lama-lama akan merasa jenuh dan berusaha menghindar, atau tepatnya mengurangi intensitas kunjungannya.

Seperti itu pula kiriman dan kabar Hadasia. Bahkan ketika ibunya meninggal, Hadasia dan suaminya tak datang melihat mayatnya untuk terakhir kalinya.

“Pohon kelapa itu cepat berbuah karena ari-arimu.”

Cimmang memandang pohon kelapa itu. Matanya tak lagi nanar. Ia tersenyum tipis menyaksikan orang-orang datang mengambil buahnya.

Ada yang  ganjil. Pohon kelapa tersebut terus berbuah. Tak pernah berhenti, sebanyak apa pun yang diambil orang. Tak pernah habis buahnya.

Pohon itu telah lebih tinggi dari rumah panggung yang jadi warisan neneknya—memiliki sembilan anak tangga.

Kata neneknya ketika masih hidup, anak tangga harus ganjil. Angka ganjil itu angka keberuntungan. Tak pernah ia mendapat rincian penjelasan tentang hal itu. Ia percaya saja.

Namun, perlahan ia mulai tak percaya pernyataan neneknya itu. Ketika ayah dan ibunya tak juga pulang dari rantau. Itu berarti anak tangga yang ganjil tersebut tak membawa keberuntungan baginya.

Umurnya kini telah dewasa. Tepatnya telah memasuki usia nikah. Banyak keluarga, tetangga dan temannya yang menyuruhnya menikah. Biar tak tinggal sendiri di rumah peninggalan neneknya.

Hanya saja,   tak ada yang lebih diharapkan selain orang tuanya, tidak juga pernihakan. Ia berjanji tak akan menikah sebelum orang tuanya pulang.

“Pohon kelapa itu cepat berbuah karena ari-arimu.”

Kini hanya satu hiburannya tiap hari. Orang-orang yang kian banyak berkunjung memetik buah kelapa yang tumbuh di depan rumah panggungnya.

Cara mereka memperoleh buah kelapa beragam. Ada yang memanjat, ada yang melempar, ada yang menjolok, ada yang hanya menunggu buah yang jatuh. Tak jarang pula terjadi kesalahpahaman yang berujung pada perkelahian.

Ia ingat ketika masih kecil dulu. Ketika neneknya masih hidup. Pernah ada orang bertengkar yang berujung pada penikaman. Sialnya orang yang ditikam meninggal di tempat.

Orang-orang selama tujuh hari lamanya memadati rumahnya. Mungkin mereka merasa kehilangan. Tapi pada saat itu, ia belum terlalu mengerti ditinggalkan itu bagaimana?

Selama tujuh hari itu, perdebatan sengit terjadi. Ada yang menginginkan pohon kelapa tersebut ditebang, ada pula yang tak tega. Karena itu merupakan pohon kelapa yang ajaib. Berbuah ketika masih kecil.

Beruntung saat itu neneknya mampu menengahi masalah sehingga pohon kelapa itu masih berdiri hingga sekarang.

Pohon kelapa itu cepat berbuah karena ari-arimu.”

Perlahan ia melangkah ke bawah pohon kelapa itu. Di bawahnya ada balai-balai yang dibuat orang-orang yang datang mengambil buah kelapa.

Balai-balai itu digunakan orang –orang yang datang mengambil   buah kelapa, setelah mendapatkannya tak ada lagi yang melihatnya.

“Kamu harus memagari pohon kelapamu itu Cimmang, biar orang-orang tak leluasa mengambil buahnya atau kamu bisa memetiknya lalu menjualnya,” saran Pak Ramli, Kepala Dusun di kampungnya.

“Andaikan warga setempat saja yang mengambil buahnya tak masalah, tapi ini banyak orang luar. Kedatangan mereka juga telah mengganggu ketenteraman kampung kita,” lanjut Pak Dusun.

Cimmang tersenyum, kemudian berujar, “Pak, hanya buah kelapa itu yang bisa kuberikan  kepada orang lain, dan itu bukti kenanganku dengan orang tuaku yang telah meninggalkanku. Aku ingin ketika orang tuaku pulang kelak, merasa bangga dan bahagia. Pohon kelapa yang ditanamnya banyak membantu orang lain.”

“Atau kamu menarik uang parkir atau uang karcis!”
“Itu akan memberatkan orang-orang yang mau memetik buah kelapa itu, Pak,” katanya sambil menunjuk pohon kelapa yang berdiri di depan rumah panggung peninggalan neneknya.

                           “Pohon kelapa itu cepat berbuah karena ari-arimu.”

Menurut beberapa tetangga, buah pohon kelapa itu berbeda rasanya dengan kelapa yang lain. Santannya juga lebih banyak dan kental.

Tak ada yang tahu jika pohon itu ditanam bersama ari-arinya, selain ia, neneknya, dan tentu saja orang tuanya yang pernah menceritakanya ketika ia berumur tiga tahun dan cerita itu sering diulang neneknya hingga ia beranjak remaja.

Cimmang tak pernah berniat menikah sebelum orang tuanya pulang. Ia juga tak mencari kerjaan. Ia hanya tinggal di rumah panggung peninggalan neneknya. Memperhatikan orang-orang yang memetik buah kelapa itu dengan berbagai gaya dan cara. Itulah hiburan baginya.

Ia meraba saku jaketnya, dan menemukan secarik kertas yang ia tulisi surat dua malam lalu. Ia membuka surat itu, membacanya kembali.

“Pohon kelapa di depan rumah telah tumbuh besar dengan buah yang banyak. Ia  tak pernah berhenti berbuah. Benarkah itu karena ari-ariku?

  Kapan Ibu dan Ayah pulang? Aku ingin membasuh dan mencium kaki Ibu sebelum menikah. Ada seorang gadis— yang tiap hari datang membersihkan sekitar pohon kelapa itu. Aku ingin Ayah dan Ibu melamarkannya untukku dan maharnya adalah pohon kelapa tersebut.”

Tulisan itu ia lipat. Ia tak tahu akan dikirim ke mana. Matanya kembali nanar. Ia menangis. Dipandanginya mobil-mobilan pemberian ibunya yang telah rusak. Ia melangkah ke arah pohon kelapa. Lalu mengubur mobil-mobilannya di sela akarnya.

Di dekatnya tergelak  kapak yang baru saja ia asah dengan sangat tajam.

KLIK INI:  Serentang Jarak