Omnibus Law Berpotensi Gilas Hak-hak Buruh dan Mengancam Kelestarian Hutan

oleh -422 kali dilihat
Kejahatan Kehutanan di Sulsel Meningkat di Masa Pandemi
Ilustrasi pembalakan Kayu - Foto/Ist

Klikhijau.com – Omnibus Law berpotensi menggilas hak-hak buruh dan mengancam kelestarian hukum, karenanya sangat penting ditinjau ulang. Demikian ditegaskan PPLH Mangkubumi, sebuah NGO yang bergerak dalam isu lingkungan hidup dan kehutanan dengan basis di Jawa Timur.

Direktur Eksekutif PPLH Mangkubumi, Muhammad Ichwan mendesak agar pemerintah mencabut kembali omnibus law karena mudaratnya jauh lebih besar.

“Pemerintah  harusnya  fokus tangani Pandemi Covid-19 dan percepat pemulihan ekonomi rakyat yang terguncang akibat pandemi. Juga perkuat upaya pemberantasan korupsi, tangani kelangkaan pupuk subsidi bagi petani dan realisasikan reforma agraria,” jelas Ichwan pada Klikhijau, 9 Oktober 2020.

Pihaknya menyesalkan sikap pemerintah yang malah mengesahkan omnibus law atau cipta kerja menjadi Undang-Undang.

KLIK INI:  KORAL: RUU Cipta Kerja Tenggelamkan Nasib Nelayan Kecil dan Tradisional

Ichwan menegaskan adanya pasal-pasal kontroversial dalam Omnibus law, terutama soal ketenagakerjaan, penegakan hukum dan lingkungan hidup.

“Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi,” tegas Ichwan.

Banyak pihak meyakini, lanjutnya, Omnibus Law bukan menambah lapangan kerja, tapi memotong / meggilas hak-hak pekerja.

Setali tiga uang, arus investasi yang terlalu mudah juga membuat lingkungan hidup makin terancam karena akan banyak muncul usaha-usaha pertambangan, perkebunan, dan industri ekstraktif yang akan membabat hutan untuk kepentingan investasi.

KLIK INI:  Diskusi Para Pegiat Lingkungan: UU Cipta Kerja Lemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup
Cela UU Cipta Kerja versi PPLH Mangkubumi

Omnibus Law juga mengancam eksistensi tanah adat di luar Jawa, jadi Omnibus Law bukan hanya soal tenaga kerja saja. Implikasinya banyak sekali di semua sektor.

Salah satu pasal bermasalah dalam Norma Omnibus Law yakni tentang lingkungan hidup.  Pertama, pasal 88.

Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) bisa menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan.

Namun, Pemerintah dan DPR justru menghapus aturan ini. Berikut bunyi pasal 88 UU PPLH,

KLIK INI:  Bersama P3E Suma, Unismuh Makassar Menuju Kampus Berwawasan Lingkungan

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Kini, pemerintah telah menghapus ketentuan di kalimat terakhir. Dengan demikian bunyi pasal 88 adalah: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”

Kemudian pasal 93 dihapus. Padahal, di dalamnya memuat tentang partisipasi publik. Di dalam ayat 1, pasal ini menyatakan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara. Namun, kini pada UU Cipta Kerja telah dihapus.

Permasalah lain di dalam  pasal–pasal Omnibus Law tentang penegakan hukum, di mana banyak pasal-pasal yang menghapuskan sanksi pidana bagi korporasi yang melanggar ketentuan yang berlaku diganti dengan sanksi Administrasi.

KLIK INI:  Strategi Mitigasi Dampak Suara Perkotaan yang Semakin Merugikan

Misalnya penghapusan Pasal 105 dalam UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, berikut bunyi pasal 105 UU Perkebunan.

“Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budidaya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Saat ini melalui Omnibus Law telah menghapus pasal 105. Penghapusan pasal pidana di dalam UU Perkebunan dan UU PPLH akan berpotensi besar menimbulkan kerusakan lingkungan yang semakin masif, pelanggaran HAM dan perampasan tanah-tanah adat yang berada disekitar izin perkebunan yang dikelola oleh korporasi.

Atas berbagai pertimbangan untuk kemaslahan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan maka PPLHH Mangkubumi menyatakan menolak UU Omnibus Law dan mendesak agar dibatalkan secepatnya.

KLIK INI:  Hutan Muda dan Kontribusi Besarnya dalam Menyerap Karbon