Nyanyian Sunyi di Rumpun Bambu

oleh -1,280 kali dilihat
Naynyian Sunyi di Rumpun Bambu
Ilustrasi/foto-http://baltyra.com
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Mentari pagi menyembulkan sinar di balik  rumpun bambu. Burung-burung berkicau di antara dahan-dahannya dan angin menjatuhkan untaian daun-daun. Seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan duduk-duduk di beranda rumah mengamati suasana kampung sambil menikmati kopi hitam yang baru saja dibuat oleh istrinya. Dilihatnya halaman rumah dan sekitarnya.

Di pekarangan, selain banyak ditumbuhi pohon, juga terdapat kebun kecil yang menyimpan kekayaan bagi para pecinta sayur bening ataupun vegetarian. Ubi kayu, bayam, terong, kangkung, daun kacang, dan lain-lain. Di samping dan belakang rumah, sawah berhektar-hektar luasnya baru saja selesai ditraktor. Burung bangau yang mampir meneguk air dan bebek-bebek berenang-renang di petak sawah yang sudah dialiri air dari sungai kecil dan belum ditanami benih padi.

Semenjak beberapa hari berada di sebuah desa yang banyak terdapat bambu, usai salat subuh, ia selalu melakukan ritual menunggu matahari terbit meski suasana masih terbilang gelap di pinggir jalan yang biasa dilalui kendaraan bermotor dan sapi. Ia melangkah di saat jalan masih sepi. Ia menyukai nyanyian yang berasal dari alam.

Hembusan angin yang datang dari selatan. Ia mendengarnya dengan takzim. Ia nikmati dengan segenap penuh penghayatan. Ia akan beranjak ketika matahari telah terbit dan mengenai pelupuk matanya. Dengan begitu ia akan pulang dengan gembira dan kembali duduk di beranda sambil menikmati kopi yang sudah disiapkan istrinya.

KLIK INI:  Menantu yang Diingini Ibu

Jika matahari tenggelam ke barat, maka lelaki itu akan melompat dan berjalan menikmati riuh pepohonan dan daun-daun yang tergeletak mengering di sepanjang jalan. Ia melakukan ritual menunggu sinar matahari redup dan padam. Kali ini ia membawa pensil dan beberapa helai kertas. Barangkali ia bermaksud ingin menulis atau menjenguk kebahagiaan di sana. Kalau ia menulis ia bisa lupa segalanya. Mata-matanya berseri-seri seperti pucuk-pucuk daun pohon bambu muda yang tumbuh.

Sesampainya di sana, ia belum menulis apa-apa. Meski pensil digerak-gerakannya. Kertas-kertas ditangannya masih putih kosong. Tanpa bekas coretan. Pandangan jauh ke depan. Ia seperti melakukan percakapan dengan semesta. Berbicara tentang apa saja. Tentang segala hal. Setelah perenungan yang panjang, ia akhirnya menemukan kata yang ia cari, Tuhan.

Hanya itu kata yang berhasil dituliskannya. Kata-kata yang mengandung makna di dunia yang penuh dengan kelana. Ia dan keluarga kecilnya memilih menjalani hidup dengan cara sederhana. Jika berselera istrinya akan memasak sayur yang dipetik langsung dan ia sesekali memancing ikan di sungai kecil untuk digoreng, maka ia akan bergembira menyantapnya bersama istrinya.

*****

Ketika malam datang ia selalu dihibur dengan gemersik daun pohon-pohon bambu, kerik jangkrik dan bunyi serangga yang lain, derit lantai papan dan sesekali anjing yang menggonggong dari belukar dan pohon bambu. Di sana-sini tumbuh pohon bambu.

Hutan bambu itu telah lama tumbuh dan tidak ada yang tahu sejak kapan. Desa yang terbungkus dalam keharuman bambu itu dimuliakan oleh warga desa sebagai warisan leluhur dan memanfaatkannya untuk berbagai keperluan. Perhelatan kematian, acara-acara keagamaan, pernikahan. dan pesta panen rakyat yang masih bertahan hari ini.

KLIK INI:  Kemarau Ingatan

Begitulah hari-hari lelaki itu berulang-ulang. Hingga suatu hari hujan mencurah dari langit dan bau semerbak bumi menggantung di udara. Ia tidak bisa bertamasya menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Ia menghibur dirinya dengan wajah bayi mungilnya dan hujan yang mengetuk jendela dan atap rumahnya.

Dalam waktu yang berjalan, gadis kecilnya sekarang tiga bulan lebih umurnya. Ia anak yang manis dan imut-imutnya. Ia sudah pandai tersenyum, tertawa dan mengucapkan “Hae”, “Uh” dan “Yah”.

Bibirnya yang merah dan tipis kelihatan seperti buah ceri. Ia sudah pandai menggerak-gerakkan tangan, jemari dan kakinya. Lelaki itu menatap buah hatinya, mahluk mungil yang sangat ia syukuri. Setelah wajah putrinya ditumbuhi putri malu, ia tersenyum malu-malu dan tertidur, lelaki itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya sambil mendengar suara hujan.

Ketika lelaki itu sudah seperti mulai menulis, dapur akan mengepul, istrinya akan membawakan secangkir kopi dan pisang goreng. Mula-mula ia akan ke tangga rumah melihat tanah dan dedaunan yang basah, menendang-nendang apa saja yang tersentuh air hujan, lalu berdiri di beranda rumah sambil menadahkan tangannya ke atas. Merasai hujan. Mendengarnya. Membuka rahasia di baliknya. Seperti mencari kegaiban yang tersembunyi.

KLIK INI:  Setangkai Bunga Surga

Ia kerap bertingkah aneh dan istrinya kerap berprasangka buruk. Tapi ia mahfum. Itulah suaminya dengan dunia yang penuh imajinasi. Dedaunan yang tergantung di cabang-cabang pohon membuatnya mencuri-curi pandang. Hembusan angin membawa bau yang alami. Suatu perasaan gembira meledak dalam hatinya. Dalam sekejap ia menulis. Tetapi setelah menulis ia mencoretnya lagi.

*****

Akhirnya ia menemukan satu kata yang dikiranya seperti harta karung. Alam. Kata itu menurutnya kata yang pas untuk ia tulis. Tetapi tidak ada penjelasan yang lebih lanjut. Ia seperti merahasiakan sesuatu dan menyimpan catatannya dalam sebuah buku. Ia naik turun tangga dan berlari-lari kecil. Kayu-kayu yang menopang rumahnya bergoyang dan papan-papannya berderit seperti ingin lepas.

Matahari tidak muncul dan hujan pun sudah mereda dan tiada. Ia tidak bisa menikmati matahari terbit dan tenggelam maupun hujan. Seharian awan gelap menutupi bumi. Sudah seminggu sejak istrinya pergi membawa serta anaknya yang mungil ke suatu tempat, lelaki itu kesepian.

Di depan rumah, ditatapnya bambu-bambu yang rebah dan ranting-ranting pohon yang patah. Ia ke kolong rumah dan memanggil ayam-ayam yang dipeliharanya. Memberinya makan. Ia meracau. Ia mengalami kesulitan. Ia merindukan istrinya. Omelan, kopi buatannya, dan semuanya. Ia juga merindukan suara tangis, tawa, senyum dan tawa gadis kecilnya.

Ia segera mengambil kembali secarik kertas dan duduk sendirian di bawah pohon jambu di pekarangan rumahnya. Ia merontokkan satu buah jambu biji dengan galah. Mengigitnya sebelum ia menulis. Gigitannya seperti memakan buah apel. Ia berharap ada sesuatu yang jatuh di kepalanya. Bukan buah tapi kata. setelah termenung, satu kata yang puitis akhirnya jatuh di kepalanya dan ia tulis. Perempuan. Tempat segala resah ia labuhkan. Tanpanya, rumahnya seperti sungai yang tak berair. Bagaiamanapun ia menikmati hidup baginya istri dan anak adalah sumber kebahagiaan.

Di sudut rumah yang sudah tua, manakala angin berkesiur daun-daun bambu bergemerisik, lelaki itu tergeletak merasakan gigil dan demam. Dadanya seperti disesaki belukar. Kesunyian merayapinya. Ia rindukan gadis-gadisnya. Ia lupa cara berbahagia.

Tirai Bambu, 19 April 2020

Ilham Aidil lahir di Bulukumba. Pengajar PIBA Bahasa Inggris UIN Alauddin Makassar. Ia menyukai sastra dan filsafat.

KLIK INI:  Pepohonan Menghitam di Kotamu