Nilai Ekonomi Karbon Akan Diatur Resmi Pemerintah, Begini Nilai Plusnya!

oleh -502 kali dilihat
Nilai Ekonomi Karbon Akan Diatur Resmi Pemerintah, Begini Nilai Plusnya!
Menteri LHK, Siti Nurbaya - Foto/Ist

Klikhijau.com – Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing akan diatur secara resmi oleh pemerintah. Hal itu diusulkan Menteri LHK, Siti Nurbaya kepada Presiden Jokowi pada Rapat Terbatas beberapa hari lalu.

Kebijakan mengatur NEK ini dinilai akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030. Kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerjasama internasional.

Termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation). Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Kebijakan pengaturan Instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah karbon.

KLIK INI:  PLKI Ketuk Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya Pola Hidup Ramah Lingkungan

“Dalam Ratas tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerjasama Indonesia – Norwegia dalam menurunkan emisi karbon. Serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon,” ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya, di Jakarta, 6 Juli 2020 lalu.

Menteri Siti mengatakan, jika potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Menteri Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon.

Termasuk di dalamnya upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).

KLIK INI:  Lantik Dirjen KSDAE, Menteri Siti Tekankan Terobosan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Keuntungan dari kebijakan ini

Jika Perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.

Sebagai gambaran, Menteri Siti menjelaskan jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha.

Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha. Lalu, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha.

Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatera luas mangrove 666,4 ribu ha, Kalimantan seluas 735,8 ribu ha, Jawa seluas 35,9 ribu ha, Sulawesi seluas 118,8 ribu ha, Maluku seluas 221,5 ribu ha, Papua seluas 1,49 juta ha dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu ha.

KLIK INI:  Ali Topan, Pemuda Asal Pinrang, Penerima Penghargaan Khusus dari KLHK

Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (dari aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan Indonesia ini dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar.

“Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya,” tuturnya.

Sebagai perbandingan Menteri Siti menyebut jika keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan tahun 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah diakui dunia menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia.

Atas keberhasilan tersebut Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja/RBP penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi 56 juta US$ atau lebih dari 840 milyar rupiah.

KLIK INI:  Bantahan Keras KLHK Perihal Tudingan Obral Izin di Era Jokowi

Capaian ini merupakan bagian dari komitmen kerjasama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.

“Setelah pembayaran RBP pertama tersebut akan dilaksanakan pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya, yang akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)” imbuh Menteri Siti.

Pada kesempatan itu juga Menteri Siti Nurbaya melaporkan bahwa penanganan deforestasi harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi Indonesia, dan perlindungan sasaran pembangunan nasional Indonesia. Sedangkan metode yang dipakai harus didasarkan pada SNI yang telah ada, dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan nasional.

Presiden meminta agar Indonesia harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan gas rumah kaca. Kemudian juga perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan serta perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya perlindungan hutan dan pemulihan habitat harus dipastikan betul-betul jalan di lapangan.

Presiden juga menekankan agar kejadian Karhutla harus diantisipasi sebaik mungkin dengan kerjasama yang baik semua pihak.

KLIK INI:  Lestarikan Lingkungan Pesisir dan Laut, KLHK Gelar Aksi Bersih Pantai di Cirebon