- Perihal Buncis dan Pengalaman Pertama Memanennya - 28/03/2024
- Bongo’, Meski Dibenci Tetap Memberi Banyak Manfaat - 26/03/2024
- Mikroplastik di Dada Ibu - 10/03/2024
Di Gelas Teh Mana Kita Minum Kelak
segelas teh menunggu di ruang tamu
roti maros menanti kau cicipi
ada aroma kampung halaman
semalam puisi berceceran
lalu berkumpul jadi cokelat pada roti
pada rindu yang kian legit saja
pepohonan itu, tanda kamu mulai meneduhkan
seseorang suka membayangkan dirinya jadi burung-burung
hinggap pada dahanmu
suara sunyi mulai kian senyap
angin penuh aroma sampah terbakar menghampir
usapi mata dengan bayang diri liarmu
ada segelas teh kemasi tanya
kapan dinikmati berdua
sambil berteduh di pohon
yang mulai teduh di degupan rindu
pohon-pohon mulai meranggas
cericit burung hilang
kunang-kunang ditelan lampu jalan
sunyi…
kita bertanya-tanya, kapan semua tiba dan berakhir
Bulukumba, 4 Mei 2018
=======
Di Gerimis Kita Menanti
lelah di matamu dan lirihnya doaku
jembatan kecil menuju detak jantung
di dada, rindu menggerus hingga ke tulang-tulang.
deras menggerimis.
ikan kecil terus saja berenang. antara arus dan celah batu.
dan kita memancing dengan kesungguhan
bau rumah sakit tak membuatmu lupa,
ada jembatan kecil tempat menyebrang hingga kampung halaman
waktu mulai menagih janji.
aku menyulam akar pelangi.
kau merenda gerimis, menanti-nanti..
Pinisi Bagi Negeri, 17 Agustus 2018
=====
Kamu di Kelak
kelak adalah kamu jadi dahandahan.
naungi jalan setapak menuju kampung halaman
tempat burungburung melatih cericit
kelak adalah kamu jadi alur cerita
pada lagulagu yang dinyanyikan perantau
dan orangorang kehilangan kenangannya di sebuah rumah tua
kelak adalah kamu
kamu adalah kelak
adalah kamu kelak
kelak adalah kamu dinamai pulang
bagi yang pergi mencari esok
yang bingung di persimpangan jalan
kelak adalah kamu bagi dahaga
setelah perjalanan jauh melewati sungai
dan jalan setapak menuju rumah
Rumah Kekasih, 25 Mei 2018
=======
Nama pada Masa Depan
bukubuku masih terbakar di halaman rumah, di bawah pohon mangga.
asapnya sampai kamar, perihkan mata.
gedunggedung diselubunginya.
tetangga batukbatuk
abu berhamburan di halaman, di bawah pohon mangga itu.
semalam hujan tiba.
segala akan tumbuh setelah hujan, selain cinta di hatimu.
api masih jilati bukubuku di halaman, di bawah pohon mangga itu.
matahari tiba pagi ini menagih pepuisi yang semalam lelap dalam hujan.
tetes hujan semalam tak padamkan api yang bacai buku-buku di halaman rumah,
di bawah pohon mangga itu, kekasih.
pagipagi aku bangun, di halaman rumah, di bawah pohon mangga itu,
segala yang bisa tumbuh akan tumbuh, selain cinta di hatimu.
aku telah membakar bukubuku di halaman rumah, di bawah pohon mangga itu, kekasih,
bukan satu, tapi tiga karung.
bukubuku itu tak menyimpan kisah kita, pun tak ada namamu.
apa pentingnya menyimpan barangbarang yang tak mengingatkan kenangan.
bukubuku terbakar di halaman rumah, di bawah pohon mangga itu.
semuanya akan tumbuh setelah semalam hujan turun dan tak padamkan api, selain cinta di hatimu.
aku masih menyiram banyak doa,
di atas abu bekas bukubuku yang telah terbakar di halaman rumah,
di bawah pohon mangga itu.
namamu tumbuh di sana dan aku bisa petiki hurufhurufnya untuk sebuah nama pada masa depan…
Rumah kekasih, 11 Mei 2018
=====
Yang Tak Matimati
hujan turun di Muntea, alirkan daundaun ke tempat tidur
dingin bacai tubuh
lebih ritmis dari lagu wajib di upacara hari senin di halaman sekolah
atau kantorkantor pemerintah, yang berpagar tinggi
seorang lelaki menekuk lututnya menyentuh dadak.
gemeratak giginya menggertak malam, mengusir pagi
muntea pagi hari adalah kabut, orangorang sibuk menghitung jumlah sayuran,
di sana ia menitip napasnya, dan masa depan di bangku sekolah
rerumputan kuyup, sayang,
rindu langit tiba menumbuhkan apa saja, juga cinta di hatimu
pada puisi lalu, hujan tak menumbuhkan cinta itu.
semalam hujan turun membawa sampahsampah di kepala.
lalu hujan reda di hatimu. cinta tumbuh, entah untuk siapa.
ia ingin itu untuknya, agar kamu tetap puisi, tak matimati.
Muntea, Bantaeng, 13 Mei 2018