Menyelamatkan Hutan dengan Daging Alternatif Berbasis Jamur

oleh -308 kali dilihat
Konsumsi Daging Kambing Pacu Tekanan Darah Tinggi, Mitos atau Fakta
Daging kambing - Foto/Malangvoice

Klikhijau.com – Florian Humpenöder berpendapat bahwa berkurangnya jumlah ternak tidak hanya mengurangi tekanan pada lahan. Namun, juga mengurangi emisi metana dari rumen ternak dan emisi nitrit oksida dari pemupukan pakan atau pengelolaan kotoran ternak.

Pendapat peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research atau Institut Penelitian Dampak Iklim (PIK) Potsdam itu didukung oleh data penelitian yang dilakukannya. Humpenöder adalah  pemimpin penelitian yang dilakukan oleh PIK dan diterbitkan oleh jurnal Nature.

Para peneliti tim tersebut menemukan pada tahun 2050 mendatang, dengan mengganti 20 persen daging dari sapi dengan protein mikroba (alternatif untuk daging yang diproduksi di tangki fermentasi). Terbukti dapat dapat mengurangi deforestasi dan emisi gas rumah kaca hingga setengahnya, sehingga memberikan bantuan yang signifikan dalam mitigasi perubahan iklim.

“Sistem pangan adalah akar dari sepertiga emisi gas rumah kaca global. Dengan produksi daging ruminansia menjadi satu-satunya sumber terbesar,” kata Humpenöder.

KLIK INI:  Covid-19, Sebuah Momentum untuk Lebih Arif Hidup di Bumi

Salah satu penyebab pemanasan global adalah peternakan. Karena semakin banyak hutan yang dibuka—padahal hutan adalah penyimpan banyak karbon, maka pemanasan global semakin menjadi-jadi.

Itu artinya  peternakan atau penggembalaan ternak akan berkontribusi besar dalam pemanasan global karena menyebabkan emisi gas rumah kaca.

Perlu daging alternatif

Karena itu, perlu ada “daging” alternatif untuk mengerem pemanasan global. Dan penggunaan biomassa kaya protein bergizi dengan tekstur seperti daging yang dihasilkan dari mikroba, misalnya  jamur selama fermentasi dapat menjadi langkah maju yang penting dalam menyelamatkan hutan dan mengurangi pemanasan global.

“Penggantian daging ruminansia dengan protein mikroba di masa depan dapat sangat mengurangi jejak gas rumah kaca dari sistem pangan,” kata Dr. Humpenöder.

“Kabar baiknya adalah orang tidak perlu takut mereka hanya bisa makan sayuran di masa depan. Mereka bisa terus makan burger dan sejenisnya, hanya saja roti burger itu akan diproduksi dengan cara yang berbeda,” tambahnya.

KLIK INI:  Dukung Realisasi Reforma Agraria, KLHK Perkuat Dua Skema Ini!

Dr. Humpenöder dan rekan-rekannya memasukkan protein mikroba ke dalam model simulasi komputer yang dibuat untuk menilai dampak lingkungan dari keseluruhan sistem pangan dan pertanian.

Dengan menjalankan berbagai skenario ke depan hingga tahun 2050 dan memperhitungkan pertumbuhan populasi di masa depan.

Permintaan pangan, pola diet, dan dinamika penggunaan lahan, para ahli menemukan bahwa, jika kita mengganti 20 persen daging ruminansia per kapita dengan protein mikroba. Deforestasi tahunan dan karbon emisi akan berkurang setengahnya pada pertengahan abad.

“Jadi mengganti daging merah cincang dengan protein mikroba akan menjadi awal yang baik untuk mengurangi dampak merugikan dari produksi daging sapi saat ini,” tambahnya.

KLIK INI:  Capung Memiliki Trik Tak Terduga Menghadapi Perubahan Iklim

Protein mikroba menutur para peneliti,  yang diturunkan dari fermentasi dibuat dalam budaya tertentu, misalnya bir atau roti. Nah, proses ini sebagian besar dapat dipisahkan dari produksi pertanian.

Namun, transformasi skala besar menuju pangan biotek juga akan membutuhkan dekarbonisasi pembangkit listrik skala besar sehingga potensi perlindungan iklimnya dapat dikembangkan sepenuhnya.

Hanya saja untuk metode yang paling efisien dalam menggunakan energi berkelanjutan. Khususnya untuk mendorong inisiatif bioteknologi hijau tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut–demikian menurut laman Earth.

KLIK INI:  Melirik Nasib Beruang Kutub di Tangan Pemanasan Global