Menjejaki Budaya Masyarakat Buang Sampah di Halaman Belakang

oleh -1,069 kali dilihat
Menjejaki Budaya Masyarakat Buang sampah di Halaman Belakang
Sampah plastik/foto-ist
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Nyaris tak ada anak-anak suka bermain di halaman belakang rumah. Pun orang akan menghindari mengunjunginya.

Halaman belakang rumah bukan hanya tempat yang agak privasi. Namun, juga bisanya menjadi lumbung pembuangan sampah. Tempat menimbun barang-barang yang tak lagi digunakan.

Halaman belakang biasanya pula menjadi tempat beternak ayam. Juga menjadi tempat membuang air limbah dari kamar mandi.

Maka bermain atau mengunjungi halaman belakang rumah, khususnya di kampung-kampung adalah hal yang agak “menjijikkan’.

KLIK INI:  Pulau di Selayar Batal Dijual Lantaran Masuk Kawasan Konservasi

Di kampung saya misalnya, Kindang, Bulukumba. Halaman belakang adalah tempat terindah membuang mantan (baca sampah). Selain tersembunyi, juga dianggap lebih aman.

Masyarakat tentu saja tak bisa dilarang, bukan karena tanah di halaman belakang rumahnya adalah milik sendiri. Namun, di kampung atau desa tak ada tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang disediakan pemerintah. Pun tak ada armada pengangkut sampah yang bisa menyelamatkan sampah dari rumah-rumah masyarakat.

Jika di kota, setiap sampah dengan enteng saja diletakkan di pinggir jalan, dan tak lama kemudian akan ada petugas kebersihan datang mengambilnya. Di kampung-kampung hal serupa itu tak ditemukan. Sampah jika diletakkan di depan rumah akan dihambur ayam atau anjing.

Masyarakat  harus belajar menjauhkan harapan akan ada petugas kebersihan datang mengambilnya. Hingga lumutan pun tak akan ada yang datang. Pemerintah dan petugas kebersihan menganggap sampah seolah hanya ada di kota.

Setahu saya, satu-satunya kabupaten di Sulawesi Selatan yang menyediakan armada pengangkut sampah hingga ke desa hanyalah Kabupaten Gowa. Meski kehadirannya juga banyak diprotes warga.

Kampung seolah lepas dari sampah

Persoalan sampah  lebih banyak disorot adalah sampah di kota. Kampung seolah kebal dari sampah, padahal itu tak benar. Sampah yang bertumpuk di laut saya juga yakini itu sebagian disumbang oleh masyarakat kampung.

Sampah tak semuanya diam di tempat pembuangannya. Ada yang terseret ke selokan, terus ke sungai lalu air sungai membawanya ke laut. Dan lautlah muara dari sampah itu.

KLIK INI:  Menteri LHK Apresiasi Kinerja SPORC dalam Mengamankan Hutan di Indonesia

Karenanya tak mengherankan jika laut Indonesia banyak dipenuhi sampah, khususnya sampah plastik. Bahkan menjadi negara penyumbang sampah plastik terbasar kedua di dunia. Sifat sampah plastik tahan lama dan cukup ringan diayun-ayun air hingga ke laut.

Di kampung saya, cara mengatasi sampah plastik belum menyentuh ke tahap tiga 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) yang dianggap mampu menjadi solusi permasalahan sampah.

Cara mengatasi sampah di kampung adalah membuangnya ke lingkungan. Dan tempat favorit itu, ya halaman belakang rumah. Selain dibuang, masyarakat biasa mengatasinya dengan cara membakarnya. Padahal membakar sampah, khususnya sampah plastik tak dianjurkan.

Beruntunglah sekarang ini, banyak masyarakat, khususnya di kampung saya menemukan sedikit solusi mengenai tempat pembuangan sampah, yakni menggali tanah di halaman belakang rumahnya untuk tempat sampah. Meski itu tak efektif sebab tetap tertimbun dalam tanah.

Namun yang memiliki halamamn belakang rumah pas-pasan, jadi persoalan tersendiri. Simalakama menggali tempat sampah bukan tanahnya, membuangnya pun akan mencemari tanah orang lain.

Namun, pilihan kedua ini banyak yang dipilih. Sebab masih mengira bahwa sampah tidaklah membahayakan.

Jika ada saluran air, dengan mudah pula kita akan menemukan sampah di sana. Ini menggambarkan persoalan sampah bukan hanya persoalan yang menimpah perkotaan, tapi juga kampung.

Jadi pekerjaan rumah
KLIK INI:  Gakkum KLHK Amankan Kayu Merbau Ilegal Asal Maluku Tengah

Tentu ini jadi pekerjaan rumah (PR) banyak pihak, tak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat itu sendiri. Bagaimana caranya, saya kira sangat perlu adanya edukasi kepada masyarakat bagaimana cara mengelola sampah.

Sampah adalah persoalan krusial Indonesia. Banyak orang menganggap jika telah membuang sampahnya persoalan telah selesai. Namun sebenarnya tak demikian. Begitu sampah dibuang apalagi dibuang di sembarang tempat maka persoalan sesungguhnya baru saja dimulai.

Apalagi jika sampah plastik, sampah yang bandel karena sulit terurai. Juga bisa menghambat air terserap lebih cepat ke dalam tanah dan  bisa menjadi penyebab pemanasan global.

Halaman belakang rumah, khususnya di kampung saya, nyaris tak ada anak-anak yang rela bermain di sana. Juga orang akan berpikir untuk melewati apalagi mengunjunginya.

Di halaman belakang rumah, seperti sebuah panggung sandiwara. Di depan layar tampak bersih, di mana aktor memainkan peran dengan sangat baik untuk penonton, tapi di belakang layar berantakan penuh properti dan sampah.

Membuang sampah di halaman belakang rumah bagi masyarakat kampung adalah budaya yang telah mendarah daging. Rasanya akan sulit berakhir. Apalagi pemerintah tak menyiapkan tempat sampah khusus. Juga tak ada petugas kebersihan yang masuk desa.

Sampah seolah hanya ada di kota, kampung bebas dari sampah. Padahal sekali lagi itu tak benar. Kampung juga adalah lumbung sampah yang mencemari lingkungan.

Sampah yang dibuang tak hilang, hanya sembunyi, berpindah tempat, dan berubah wujud

KLIK INI:  Bakar Sampah, Jalan Pintas yang Berbahaya