Menghitung Potensi Nilai Ekonomi Karbon yang Bisa Diperoleh Indonesia

oleh -1,380 kali dilihat
Perpres RI Nomor 98 Tahun 2021
Ilustrasi - Foto/Pixabay

Klikhijau.com – Indonesia merupakan satu negara dengan potensi karbon yang lumayan besar. Karenanya, Indonesia berpotensi memperoleh kompensasi atau carbon trade dari negara-negara maju.

Carbon trade merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon).

Mekanisme carbon trading telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Perhitungan potensi karbon diperlukan dalam memasuki era perdagangan karbon, dimana negara maju akan memberikan bantuan pembiayaan dan teknologi kepada negara berkembangan yang terbukti dapat  mengurangi emisi karbonnya, dengan mekanisme yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, atau Measurable, Reportable and Verifiable (MRV).

Berdasarkan luas kawasan hutan, Indonesia memiliki lahan gambut  seluas 7,5 juta hektare, mangrove 3,1 juta ha, dan hutan seluas tanah kering 180 juta ha yang berkontribusi terhadap penyerapan gas karbon dunia.

KLIK INI:  Ini Alasan KLHK Batalkan 2 Proyek Karbon LSM Internasional

Sayangnya luas hutan ini mempunyai kualitas tutupan vegetasi/hutan yang tidak merata akibat adanya kerusakan/pembalakan/perambahan dan kebakaran serta alih fungsi lainnya, sehingga perhitungan potensi karbon harus mewakili keadaan vegetasi dari setiap tipe hutan yang ada.

Perhitungan potensi karbon di Indonesia sudah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti, baik pada ekosistem daratan maupun ekosistem perairan/laut. Perhitungan ini berdasarkan sampel di lapangan yang hasilnya dinyatakan dalam potensi ton carbon per hektare, sehingga nilai rill seluruh areal hutan tergantung kualitas tutupan hutan yang sebenarnya di lapangan.

Kemampuan penyimpanan/pengikatan karbon sangat tergantung kepada jenis tumbuhan dan struktur vegetasi yang menyusun tumbuhan pada suatu tipe hutan, atau dengan kata lain tergantung besarnya biomas hutan yang ada.

Dengan demikian banyak sekali hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan nilai pengikatan karbon yang akurat. Misalnya perhitungan harus dibedakan antara hutan primer dan hutan sekunder, serta semak belukar maupun padang rumput pada setiap tipe hutan.

KLIK INI:  Pilkada Serentak 2020, Momentum Perlindungan Hutan untuk Mencapai Komitmen Iklim

Untuk hutan tanaman, mungkin harus dihitung berdasarkan jenis pohon yang ditanam. Untuk penelitan ilmiah, misalnya penelitian mahasiswa S2 atau S3 bahkan kami memisahkan antara biomas pada daerah datar, lereng atas, lereng bawah, kemudian hasil baru dirata-ratakan.

Berikut rangkuman beberapa penelitian yang sempat saya dapatkan dari berbagai laporan tentang potensi simpanan karbon pada berbagi tipe ekosistem hutan/vegetasi di Indonesia.

No. Tipe Hutan/Vegetasi Simpanan Karbon  (ton/ha)
   1. Hutan tanaman Sengon Bagian atas tanah  36,67
   2. Hutan tanaman Sengon Bagian bawah/lantai 5,32
   3. Hutan tanaman Ganitri Bagian atas tanah  51,33
   4. Huta tanaman Aren Bagian atas tanah  49,06
   5. Hutan tanaman Mangium Bagian atas tanah  62,83
   6. Hutan alam konservasi Gede Pangrango Bagian atas tanah  275,56
   7. Hutan sekunder muda/belukar di Bogor Bagian atas tanah 27,78
   8. Hutan produksi primer, Siberut Bagian atas tanah 65.96
   9. Hutan produksi bekas tebangan 1 thn, Siberut Bagian atas tanah 35,19
  10. Hutan produksi bekas tebangan 5 thn, Siberut Bagian atas tanah 48.77
  11. Hutan bukit kapur/karst Maros Pangkep Bagian atas tanah 43,09
  12. Hutan Mangrove Bagian atas tanah 86,11
  13. Hutan Mangrove Bagian bawah/lantai 57,69
  14. Hutan Mangrove Organik/sedimen 359,24
  15. Padang Lamun Bagian atas 0,94
  16. Padang lamun Bagian bawah/lantai 558,35

Tabel di atas tidak memeperlihatkan berapa potensi seluruh areal hutan di Indonesia. Toh kalau kita mengetahui luas kawasan seperti yang tuliskan sebelumnya, misalnya hutan mangrove seluas 3,1 juta ha, maka tidak serta merta dikalikan dengan nilai yang ada dalam tabel karena tidak semua hutan mangrove kita utuh seperti contoh yang disampling.

Banyak tutupan mangrove di dalam areal 3,1 juta ha yang telah mengalami kerusakan, sehingga potensi penyimpanan karbonnya juga menjadi kecil.

KLIK INI:  Download Perpres RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon

Untuk menghitung berapa total potensi karbon yang dimiliki di seluruh Indonesia, dalam hal ini yang ada dalam kawasan hutan, maka pengetahuan keadaan tutupan hutan/vegetasi setiap tipe hutan yang telah disampling untuk dihitung potensi karbonnya seperti yang diperlihatkan dalam tabel harus dilakukan atau diketahui.

Sayangnya data tutupan lahan Indonesia berbeda pada setiap instansi, karena adanya perbedaan kepentingan dan definisi yang ditetapkan. Namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, hanya mungkin perlu perhatian khusus untuk masalah ini.

Mungkin perlu dilihat, data instansi mana yang paling relevan bisa dipertanggungjawabkan untuk digunakan sebagai dasar untuk menghitung luas penutupan setiap tipe vegetasi dalam kawasan yang akan kita jual karbonnya.

Menurut saya, inilah kendala yang dihadapi untuk mengetahui potensi karbon kita saat ini. Selain itu, dinamika tutupan lahan di Indonesia sangat tinggi, terutama pada kawasan hutan produksi dan bahkan lindung, sehingga dengan demikian kepastian luas tutupan lahan akan berpengaruh terhadap kepastian simpanan karbon.

KLIK INI:  KLHK Tegaskan Proyek Karbon Hutan Harus Sesuai Regulasi Negara

Pertanyaan lain adalah apakah negara pembeli karbon mau melakukan pembayaran kalau kepastian mempertahankan tutupan hutan yang mengikat carbon di atmosfir tidak terjamin.

Seperti diketahui, saat ini kawasan hutan kita banyak mengalami kerusakan bukan hanya karena kebakaran, tetapi juga karena perambahan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Jangan lupa bahwa dalam perdangan karbon tidak serta  merta data yang disajikan oleh pemerintah langsung diterima oleh negara yang akan membayar, tetapi juga harus melalui beberapa tahapan verifikasi.

Potensi ekosistem karst

Selain vegetasi/hutan sebagai sumber pengikatan karbon yang potensial untuk dijual, juga ada kawasan yang bisa mengikat karbon melalui proses kartifikasi, yakni ekosistem karst. Tanggal 30 Juni yang lalu saya berbicara bagaimana ekosistem karst bisa mengikat karbon.

Hanya ini belum dilirik oleh pemerintah untuk menjadi bahan perdagangan karena mungkin lebih mementingkan melalui perdagangan bahan tambang.

Pada hal kalau ini bisa dilakukan, maka kita punya keuntungan berlipat ganda, yakni kita punya kawasan karst yang penyimpaan air, tetapi dibayar karena juga menyimpan karbon.   Berikut contoh hasil penelitian simpanan karbon pada dua kawasan karst dari hasil penelitian teman-teman di UGM:

Parameter Karts Jonggrangan Karst Gunungsewu
Hujan Wilayah (dm/tahun) 25,16 20,51
Evapotranspirasi (dm) 15,71 16,42
Run Off (dm) 9,45 4,09
Konsentrasi CaCO3 (mg/l) 215 218
Laju Pelarutan Gamping (ton/tahun/km2) 42,97 18,86
Penyerapan CO2 (ton/tahun/km2) 5,16 2,26

Meskipun lebih kecil dari kemampuan vegetasi menyerap karbon, tetapi fungsi perlindungan air ekosistem karst kalau tidak dirusakkan merupakan nilai positif.

KLIK INI:  Mewaspadai Peralihan Rawa dari Penyerap Karbon ke Sumber Karbon