Meneguk Puisi Harijadi S Hartowardojo “Lereng Senja” yang Disesaki Diksi Alam

oleh -464 kali dilihat
Meneguk Puisi Harijadi S Hartowardojo “Lereng Senja” yang Disesaki Diksi Alam
Ilustrasi senja-foto/Pixabay

Klikhijau.com – Lereng Senja, puisi itu dimuat dalam buku Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi 2 yang disusun oleh H.B. Jassin. Buku itu terbit pertama kali pada tahun 1948.

Buku tersebut memuat banyak prosa dan puisi dari penulis Indonesia dari masa lalu, satu di antaranya adalah Harijadi S Hartowardojo.

Harijadi S Hartowardojo sendiri lahir pada tanggal 18 Maret 1930 di Prambanan, Jawa Tengah, ada 4 puisinya yang dimuat dalam buku tersebut, salah satunya adalah Lereng Senja yang disesaki dengan diksi alam:

 

Lereng Senja

 

Cut, seseorang telah pergi memahat patung di atas karang

1

Hujan sudah turun, kawan, hujan sudah turun
Panas yang kering tiada lagi kuasa
Memuaskan hausnya dan menelan air berluapan
Menggenangi sawah kita
Sawah yang akan dibajak ditanami
Sawah yang coklat hitam berbau tanah baru di balik
Menjangkau hidup berbungkal-bungkal

KLIK INI:  Perempuan Beraroma Kopi

Hidup menanamkan akarnya mengembangkan
Daun muda tunas baru bersemi kuning menghijau
Di tengah lumpur
Serta tangan petani penuh kasih yang minta
Kasih padi pada kelanjutan
Kasih yang meresap pelan ke hati dunia
Di tengah perceraian matahari dan bulan
Bertemu cahaya dalam endapan kristal
Bambu meliuk menyanyi

Kita juga menurun, kawan, kita juga menurun
Cocok hidung kerbaumu dan bawa
Biar bajak kudukung melalui halaman kita
Sementara pintu pagar lama menunggu dibuka
Engkau lewat

Bila mata bajak sudah menemu tanah
Bau segar akan menghawa di dada
Dan pematang selesai kau tampal, peluk kerbaumu
Esok perempuan menggantikan kita menyebarkan
Benih-benih di tanah yang telah kita genangi
Air dan melumpur
Aku akan mengasah sabit dan cangkul
Mendengarkan bambu berlagu meliuk-liuk

Hati telah bertemu hati dan asmara datang
Bertimbang tenggang
Berjauhan pandang
Tak guna! Tak guna!

KLIK INI:  Siang di Hari Kerja
II

Gunung di depan layar biru kembar menjulang
Asal datang gempa berulang kali
Seminggu ini berpuncak merah menyala
Menyembur api malam hari
Semurka semesta
Siang murung berselimut mendung
Mengancam

Menanti letup
Senja melebar senyap gelisah

Ibu tiada rela melepas suami kerja
Anak-anak libur panjang demi ngeri
Nenek menghitung-hitung manik-manik tasbih dan berdoa
Bibir komat-kamit seirama deburan jantung
Demi Allah, bumi akan retak hingga rengkah terbelah
Api melaut nyala pada garis celah
Tiada bangkai busuk menyebar bau
Melelehkan nanah di dalam rabu
Sawah dan tanaman kita akan musnah
Dilanggar lahar yang melanda rumah kita
Lumpur panas gelisah pijar Menggenang di mana ada
Mangsa dan noda.

KLIK INI:  Kopi Hilang di Meja Warkop
III

Laki dan perempuan yang tinggal di pinggir telaga
Menemu muka pada air tiap tenang mengaca

Datang malam purnama
Segala bisa indah mengada
Dan di atas batu tengah teratai Lelaki menanti kail ditelan ikan lupa bahaya

Semalam suntuk ikan dan manusia asyik berbalasan
Dan teratai membuka diri
Pagi-pagi burung telah terkurung
Dalam sangkar lebar berkisi-kisi
Terpatah-patah sayap dipukul jerajak
Melihat tangan mengulur cumbu
Dan secubit gula dan segenggam padi
Penjinak burung liar ke tangan memberi

Dan bila nanti pintu dibiarkan membuka
Tiada ia tahu lagi
Matahari, mega dan langit biru
Pelepasan: gelisah dan maut juga menanti
Cumbu ini sesederhana lagu kehilangan nada
Naik suara, naik mendaki dari taraf ke taraf
Laki dan perempuan yang tinggal di pinggir telaga
Menuju ke laut, ke laut lepas.

KLIK INI:  Anak Kecil dalam Hujan
IV

Seorang ibu sudah kembali dari
Perantauannya yang panjang, menjejak malam
Di pangkuanku anak bayi gila menangis
Tergila-gila menetek jarinya
Kelembutan yang datang dari kelembutan
Hati dengan hati dipadu mengerti
Tumbuh dalam kekuasaan
Dibakar api tungku yang menyala
Untuk damai, damai di dada!

Rumah kini dihidupi jerit, tawa dan nyanyi
di balik tabir, hati selalu dibasahi –
Bayi melonjak mau nyandar pada pipi bapa
Tangan halus mungil
Memeluk leher sekuat bisa
Didekap ke dada Kekosongan merajalela
Kapas ditiup angin hilang tuju

– Bapa, ibu mana, bapa?
Nak ingin lalai di dada yang panas sayang
Pulang bercanda dengan kereta dan gerobak
Boneka dan kuda Lena, bapa, untuk lena.
– Sayang, kecilku, sayang Lenakan payahmu dicekung pipiku
Kudukung lela memeluk leherku
Esok hari ombak gila menantimu
Membuka layar, menyeberang.

– Turunkan aku, lepaskan
Kudengar suara ibu menyusup memanggilku
Bapa, di mana ibu kasihku, bapa,
Sudah kubuka daun pintu dan jendela
Aku menyuruk ke kolong meja dan tempat tidur kita
Suara itu tinggal menggema
Hilang dan tiba
Hilang dan tiba
Ibu tiada dengan panas kasih dadanya madu mengalir dari bibirnya.
Bapa!
-Kecil, ayam berkokok tidak kau dengar
Kuncup-kuncup mulai mekar
Matahari berkaca embun di ujung daun
Sebentar turun, kecil
Kupu-kupu bercumbu bunga
Lebah mendengung meramaikan hari
Serta burung-burung menyanyikan lagu untukmu
Lena, lena kecilku!

KLIK INI:  Saat Komunitas Literasi Berkebun: Tanam Pohon Tin, Panen Rambutan
V

Kapal telah membongkar sauh, ombak mengadang
Pasti berkali akan selalu singgah kembali
Pelabuhan demi pelabuhan akan menyerahkan sebagian hidupnya
Pada kapal yang meninggalkan pulau

Nakoda yang bersandar di railing meraba
Dagu halusnya menatap
Daratan yang menjauhkan diri sedang
Ombak di bawahnya berkata-kata:
Pahatlah patung di atas karang dari
Gadis pantai yang lagi menari
Nyalakan kandil pada matanya
Melahirkan keluasan baru sekitar ruang dan waktu
Tapi hati sayup berkata:
-Rangkum aku hidup seperti belum pernah kau rangkum manusia sepanjang sejarah dan padaku kau ketemukan keabadian yang takkan hilang bentuk

Disiarkan di Siasat, Th. V No. 217, 27 Mei 1951

KLIK INI:  Rumah Pohon Alea