Malapetaka di Balik Pengolahan Sampah Popok Bayi yang Terabaikan

oleh -2,014 kali dilihat
popok bayi
Malapetaka sampah popok bayi/Foto-Mongabay
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Pernahkah Anda menghitung berapa banyak sampah popok bayi sekali pakai (Pospak) yang berkelindan liar di sekitar kita? Yah, sampah Pospak bila terdiam di ruang terbuka akan membengkak dan membusuk. Merusak pemandangan dan mencemari lingkungan. Lalu, apakah pengolahan sampah popok bayi di Indonesia sudah dilakukan?

Faktanya, pemakaian Pospak sudah jadi kebutuhan dasar yang sulit dihindarkan. Pospak sudah telanjur jadi benda penolong yang membuat kita tidak susah paya mencuci celana bayi. Berapa banyak limbah popok yang dihasilkan setiap harinya, tentu linear dengan seberapa banyak penggunanya. Potensi bencana dan malapetaka di balik Pospak pun menghantui kita.

Pencemaran akibat Sampah popok bayi

Menurut riset Bank Dunia tahun 2017, popok sekali pakai menjadi penyumbang sampah terbanyak kedua di laut yakni sebesar 21 persen. Data ini terkonfirmasi pula oleh temuan sebuah lembaga nirlaba bernama Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton).

Ecoton menemukan, pada Juli 2019 lalu, terdapat 60 persen sampah yang tertahan di kali Surabaya adalah sampah popok. Ecoton mengangkut sekitar 380 lembar Pospak berbagai merek hasil buangan warga yang meringset ke kali Surabaya.

KLIK INI:  Literasi Hijau Perlu Digaungkan di Tengah Krisis Ekologi Akut

Pada tahun 2018, data survey di Jawa Timur pada empat kota (Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto) menunjukkan pemakaian Pospak melambung tinggi. Pada 700 ibu-ibu yang disurvey di empat kota itu, ditemukan adanya pemakaian Pospak sekitar 3-4 buah perharinya (49 persen). Lainnya menghabiskan 1-2 Pospak per harinya (46 persen). Bahkan 5 persen diantaranya menghabiskan 5-6 pospak setiap harinya. Dari jumlah ini, sebagian besar sampah Pospak yakni 62,5 persen dibuang ke sungai dan laut.

Padahal limbah Pospak tergolong spesifik karena jenis ini tidak termasuk dalam kategori sampah organik atau anorganik. Karenanya, pengolahan sampah popok bayi juga semestinya spesifik. Apalagi, sampah Pospak terbuat dari bahan plastik dan mengandung kotoran manusia yang membawa racun pencemar rantai makanan.

Setiap buangan popok sekali pakai tanpa dibersihkan terlebih dahulu sehingga dampaknya langsung mencemari lingkungan, hewan dan manusia. Pada tahun 2013, Ecoton bahkan menyebut adanya ikan-ikan berkelamin ganda di sugai Brantas akibat tercemari sampah popok sekali pakai. Belum lagi, kemungkinan mikro-plastik yang akan mengisi tubuh ikan yang selanjutnya dikonsumsi manusia.

Faktanya desain produk popok di Indonesia sangat tidak ramah lingkungan. Dari komposisinya bisa dilihat, 55 persen bahan popok adalah plastik, sisanya adalah senyawa kimia pengganggu hormon dan pulp paper. Produksi popok di Indonesia disinyalir sudah ketiggalan zaman. Tidak ramah lingkungan sehingga akan semakin sulit untuk didaur ulang.

KLIK INI:  Desa Kindang Diserbu Kantong Kresek Dua Kali Seminggu
Pengolahan sampah popok bayi

Ecoton pernah menawarkan agar Pemerintah menerapkan prinsip Estended Producer Responsibility (EPR) yakni mengintegrasikan biaya penanganan sampah dalam biaya produksi.

Salah satu implementasi dari skema ini adalah pembuatan Droppo atau dropping point popok, semacam tempat pembuangan sementara sampah Pospak yang terintegrasi dengan bank sampah.

Droppos bisa disiapkan di pemukiman warga atau di area tepi sungai. Faktanya, ide ini belum dijalankan, mengingat peran produsen dan dukungan pemerintah tidak berjalan. Saat ini sosialisasi mengenai bahaya limbah Pospak pun belum massif. Pengetahuan warga mengenai popok dan penanganannya sama sekali minim.

Padahal, keberadaan sampah Pospak tergolong darurat untuk segera ditangani. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah berencana membuat peraturan khusus mengenai sampah Pospak dengan memasukkannya dalam kategori jenis sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Sayangnya, rencana ini belum juga dijalankan.

KLIK INI:  Melihat Dunia yang Lebih “Modern”di Masa Lalu Melalui Jamur Berusia 1 Miliar Tahun
Produsen harusnya bertanggungjawab

Ketua Umum Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), Saharuddin Ridwan, turut prihatin atas massifnya sampah Pospak. Saharuddin berharap agar Pemerintah mendukung keberadaan pihak-pihak atau komunitas yang melakukan daur ulang popok. Tetapi, gerakan ini belum cukup tanpa sosialisasi yang baik dan penanganannya.

“Seharusnya produsen menjalankan prinsip Estended Producer Responsibility (EPR) yang telah diatur dalam UU no 18 tahun 2018 tentang pengeolaan sampah. Dalam EPR sudah jelas, para produsen bertanggungjawab atas sampah dari produk yang mereka hasilkan,” kata Saharuddin. Sayangnya, lanjut Sahar, produsen di Indonesia tidak melakukan ini.

Rudi Eko Prasetyio, pegiat daur ulang popok dari Kota Batu Malang juga menyayangkan tidak adanya kontibusi produsen popok. “Belum ada kepeduliaan sedikit pun dari pabrik terhadap penanganan sampah popok terhadap dampak lingkungannya,” kata Rudi dikonfirmasi Klikhijau, Minggu 1 Maret 2020.

Sejauh ini, penanganan sampah Pospak hanya digerakkan oleh kelompok terbatas yang kreatif mendaur menjadi barang berharga. Seperti dilakukan Rudi Eko Prasetyio dari kota Batu Malang atau inovasi Ibu Windi di Makassar yang menyulap limbah popok jadi pot bunga dan kreativitas lainnya. Andil semacam ini tentu belum cukup mengurai pokok masalah—sementara malapetaka di baliknya mengintai.

KLIK INI:  Hari Bumi Sedunia 2021, Kolaborasi Pulihkan Bumi