Makassar Menuju Kota Dunia, Kota Macet atau Kota Berpolusi Udara Tertinggi?

oleh -759 kali dilihat
Ilustrasi macet Kota Makassar
Ilustrasi macet Kota Makassar/foto-Terkini.ID
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – “Kita lewat sini saja,” kata driver ojek online yang mengantar saya ke Jalan Sukaria di suatu sore. Ia menunggu dengan gelisah lampu hijau menyala di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar di Jalan Andi Pangeran Pettarani.

Sejak saya menaiki motornya dari Sungguminasa, kami berbincang berbagai hal. Salah satunya adalah macet. Ia lebih banyak mengeluh sebab macet membuat aktvitasnya tersendat

“Jika lewat jalan Boulevard lebih macet lagi. Kadang motor tak bisa bergerak,” lanjutnya. Saya mengiyakan saja, sebab saya juga kadang mengalaminya. Meski tak sesering yang dialami oleh driver ojek online yang tiap hari harus bertarung di jalan—mengantar penumpangnya.

Saat lampu hijau menyala, ia mengendarai motornya dengan pelan, sebab banyak kendaraan di depan dan kiri kanannya.

KLIK INI:  Ini Penyebab Polusi Udara, Salah Satunya Mungkin Sering Kita Lakukan

“Macet sekarang tak lagi mengenal jam tertentu dan tempat,” ungkapnya. Lagi-lagi saya harus mengiyakannya, sebab saya juga biasa mengalaminya, apalagi sejak Jalan Andi Pangeran Pettarani disekat-sekat karena proses pengerjaan jalan tol layang, banyak pengendara   mencari jalan alternatif agar terhindari dari macet.

“Iye, Daeng, kadang kita menghindari macet, tapi bertemu macet,” kataku

“Itu juga masalahnya,” balasnya, motornya bergerak pelan.

“Sangat susah sekarang mencapai target,” keluhnya.

Persoalan macet bukan hanya dialami Makassar, tetapi juga beberapa kota di Indonesia bahkan dunia. Macet membuat dahi berkerut, bahkan kerap mendengar ungkapan “tua di jalan” atau “kering di jalan”. bukan hanya itu, macet juga bisa menyebabkan polusi udara dan melahirkan penyakit

Lalu kenapa Makassar menjadi kota yang sangat macet? Menurut Dosen Departemen Perencanaan Wilayah Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Prof Dr Eng Ananto Yudono, salah satu penyebab kemacetan di Makassar adalah pesatnya pertambahan volume kendaraan bermotor yang tidak diimbangi oleh penambahan kapasitas jalan.

KLIK INI:  Makassar, Kota yang Dikepung DAS Bermasalah

Katanya lagi, seperti yang dimuat tribuntimur.com di situsnya, Senin, 26 Februari 2018 lalu, paradigma penyelesaian masalah kemacetan lalu-lintas yang melulu secara enjiniring dengan menambah kapasitas jalan baik berupa pelebaran jalan, jalan baru, flyover, underway, di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar terbukti hanya mampu menyelesaikan masalah secara parsial dan dalam waktu menengah, 5 – 10 tahun.

Menurut Kantor Statistik Kota Makassar, rasio pertambahan jumlah kendaraan bermotor 27.4% di kota Makassar, dari tahun 2011 sebanyak 976,004 unit menjadi 1,338,738 unit pada tahun 2015 dan hingga Oktober 2018, kendaraan mencapai 1.563.608 unit. Pertumbuhan kendaraan di Makassar juga naik hingga 5 persen. Itu artinya polusi udara juga semakin meningkat.

Data tersebut baru data kendaraan yang berada di Makassar, belum kendaraan dari Maros dan Gowa yang menyambangi Makassar setiap hari. Tak bisa dipungkiri jika masyarakat Maros dan Gowa banyak beraktivitas di Makassar, entah bekerja, belanja atau sekadar jalan-jalan.

KLIK INI:  2019, Makassar Optimis Raih Adipura dan Kota Sehat, Begini Persiapannya

Kepadatan kendaraan tersebut tak diimbangi dengan rasio pertambahan panjang jalan yang hanya 5.3% dari tahun 2011 sebanyak 1.578,33 km menjadi 1.647.01 km pada tahun 2015 dan. Selain itu, jumlah, frekuensi pengguna transportasi umum sangat kecil. Hal ini menyebabkan penggunaan kendaraan prabadi  menjadi pilihan utama.

Padahal menurut pendapat pakar transportasi Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Colombia bahwa “Rusaknya kualitas kehidupan kota-kota modern terutama disebabkan oleh usaha untuk semakin memberikan ruang bagi kendaraan pribadi. Padahal kota yang layak huni dan ekologis bukan hanya masyarakat miskin yang mempunyai akses dan kemudahan menggunakan sarana angkutan umum massal (SAUM), tetapi juga masyarakat kaya pun senang menggunakannya.”

Jika masyarakat Makassar beralih menggunakan angkutan umum, semisal menggunakan pete-pete, kemungkinannya macet akan sedikit teratasi, pun pemerintah harus membatasi jumlah kendaraan dan kemudahan masyarakat membelinya. Jika tidak, bisa jadi Makassar bukan menuju kota dunia, tapi menuju kota berpolusi tertinggi dunia. hemm

Atau  suka atau tak suka, kemacetan telah menjadi “gaya hidup” warga kota. Sebagian  kerap mengeluhkannya seperti driver ojek yang mengantar saya ke Sukaria, sebagian menerimanya sebagai nasib sial, sehingga harus menyesuaikan jadwal aktivitas untuk menghindari macet, meski sering gagal. Sebab kini macet tak lagi mengenal waktu dan tempat.

KLIK INI:  Selain Mantan, Polusi Udara Juga Bisa Merampas Kebahagian