Kreatif, SD Negeri Borong Kembangkan Sekolah Adiwiyata Berbasis Budaya Lokal

oleh -624 kali dilihat
Suasana lomba SD Negeri Borong
Suasana lomba SD Negeri Borong/
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Decak kagum sesekali terdengar, begitu anak yang berada di panggung mampu berbahasa daerah secara fasih. Apalagi, anak–anak itu dengan retorika yang baik, juga menyelipkan pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan hidup.

Punna bajiki pa’rasangang ta, tantu baji tong sallang ikatte ngaseng,” begitu yang disampaikan Muhammad Nebu, saat berpidato dalam bahasa Makassar.

Dalam pidatonya, Nebu menegaskan bahwa jika lingkungan kita baik maka kita juga yang akan merasakan manfaatnya.

Murid kelas V ini bahkan mampu berpidato dalam bahasa Makassar tanpa teks dengan fasih. Maklum, Nebu memang piawai bercerita dan mendongeng. Nebu merupakan salah satu peserta lomba pidato berbahasa daerah.

KLIK INI:  Begini Cara Murid-murid SD Negeri Borong Merayakan Hari Air Sedunia

Lomba ini merupakan bagian dari kegiatan Bulan Kebudayaan Kota Makassar, yang diadakan SD Negeri Borong, pada Sabtu, 27 April 2019. Selain lomba pidato berbahasa daerah, juga diadakan lomba lagu daerah, dan kaligrafi lontara.

Sekolah yang berada di Kecamatan Manggala ini, sebelumnya ikut menghelat pencanangan Hari Kebudayaan Kota Makassar, tanggal 1 April 2019.

“Kami ingin anak-anak sadar lingkungan, sekaligus dekat dengan budaya lokal. Karena itu, tema kegiatan ini adalah penguatan sekolah adiwiyata berbasis nilai-nilai budaya,” kata Dra Hj Hendriati Sabir, M.Pd, Kepala SD Negeri Borong.

Itulah mengapa, pesan-pesan yang disampaikan peserta sarat dengan ajakan untuk menjaga kebersihan, baik itu kebersihan diri, rumah dan tempat tinggal, lingkungan sekolah, maupun kebersihan kota.

Para peserta menekankan bahwa jika suasana sekolah bersih dan nyaman maka akan mendukung proses belajar mengajar. Peserta juga mengajak hadirin untuk memilah sampah dan melakukan daur ulang sampah.

“Lingkunganta parallu nikatutui baji-baji ki, jagai katangkasannna sikolah ta,” ajak peserta yang lain. Maksudnya, kira-kira, lingkungan itu perlu dijaga baik–baik, dan jaga kebersihan sekokah kita.

Bukan hanya pidata dalam bahasa Makassar dan Bugis, bahkan ada peserta berpidato dalam bahasa Minang. Azkia, murid kelas 6,  yang memang berdarah Minang tampil berpidato lengkap dengan busana tradisional Sumatra Barat. Lomba ini memang terbuka bagi setiap murid untuk membawakan pidato sesuai bahasa ibunya.

Beberapa guru mengaku kagum meski ada anak yang terbata-bata membacakan naskah pidatonya. Begitu ada kalimat-kalimat yang terdengar “asing” mereka mengaku tidak mengerti bahasa daerah yang dibawakan oleh peserta lomba pidato.

KLIK INI:  Edukasi dan Literasi Lingkungan Ala SD Negeri Borong

Apalagi anak-anak milenal yang tinggal di kota, sudah sangat jarang kita mendengar mereka menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan.

Tak kalah uniknya adalah lomba kaligrafi lontara. Peserta meniru pappasang turiolo atau pesan-pesan orang tua yang berbunyi, “rampe a golla na ku rampe ko kaluku”.

Artinya, kenanglah aku semanis gula dan aku akan mengenangmu seenak kelapa. Kalimat hendak berpesan bahwa ingatlah kebaikan seseorang supaya dibalas dengan kebaikan pula.

Keunikan lomba kaligrafi lontara ini karena peserta menggunakan pewarna dari bahan-bahan alami.

Seorang ibu yang tengah menyaksikan sekelompok anak meramu warna, mengakui lomba seperti ini sangat baik. Supaya anak-anak tahu ada banyak tumbuhan di sekitarnya bisa dimanfaatkan.

Bukan itu saja, anak-anak juga terlihat saling membantu. Ada usaha untuk bisa mendapatkan warna seperti diharapkan.

KLIK INI:  Respons Adiwiyata Sebagai Gerakan Nasional, Ini yang Dilakukan SDN 6 Kasuara Bulukumba

“Warna kuning ini dari kunyit, sedangkan yang warna hijau dari daun pandan,” jelas Rezki Amelia, murid kelas 5 sembari memperlihatkan wadah bekas minuman.

Lain lagi dengan Alif. Murid kelas 5 ini membuat warna ungu dari buah naga, sedangkan warna hijau dari daun suci. Ada juga anak yang menggunakan daun biyana, arang dan daun-daunan yang mereka tidak kenali namanya.

Namanya anak kekinian yang akrab dengan gawai, rupanya mereka tak bisa lepas dari mesin pencari Google. Beberapa anak terlihat mengunduh contoh gambar untuk mengembangkan ide kaligrafi lontaranya.

KLIK INI:  Spirit Menanam di Hari Hutan Menggema Hingga di Lapas Maros