Ketika Museum Bermetamorfosis sebagai Solusi Mengatasi Sampah

oleh -211 kali dilihat
Sampah di Lokasi Bencana Sulbar Menumpuk, Komunitas Laut Biru Turun Tangan, Aksinya Inspiratif!
Aksi komunitas Laut Biru di Sulbar menangani sampah di wilayah bencana gempa Sulbar - Foto/Fb: Laut Biru

Klikhijau.com – Museum, mendengar namanya di imajinasi kita terpampang sederet barang berharga. Barang yang harus dilndungi dengan segenap jiwa dari pencuri dan kerusakan.

Barang-barang yang dimasukkan ke museum pun harus punya nilai sejarah dan kenangan. Tempat itu, seolah menjadi jembatan ke masa lalu. Di sana kita akan memasuki dunia dari masa silam melalui benda-benda peninggalkan orang-orang dulu.

Tak pernah ada yang berpikir akan membuat sebuah museum untuk barang tak berharga, kecuali di negara rusia. Negara beruang putih itu membuat teroboasn baru, yakni membuat museum sampah.

Sebuah perusahaan bernama swasta Synergy+ menyoroti masalah daur ulang sampah di negara tersebut.

KLIK INI:  Tips Ramah Lingkungan ala Astri, Tak Cukup Hanya 3R, Harus 5R

Semuanya bermula dari keresahan ketika pada tahun 2014, Bank Dunia merilis laporan mengenai masalah sampah di Rusia.

Judul laporan itu,  Sampah di Rusia, Sampah atau Sumber Daya Berharga”. Nah, pada laporannya itu terungkap jika Rusia, setiap tahun,  menghasilkan 55-60 juta ton sampah padat kota”.

Sampah-sampah itu tidak stagnan, tapi  diperkirakan akan bertambah seiring dengan meningkatnya taraf hidup.

Parahnya, hanya 5 sampai 7 persen saja sampah yang didaur ulang, lebih dari 90 persen sampah masuk jadi penghuni TPA dan tempat-tempat pembuangan tak resmi— mirip di Indonesia, hmmm.

Buka tiap hari

Perusahaan Synergy+ yang juga menerima konsultasi ekologi tak sekadar menyoroti masalah sampah, tetapi menawarkan solusi, yakni membuat museum sampah di Kudrovo di dekat St. Petersburg yang dibuka setiap hari.

Di museum sampah berlantai tiga itu,  setiap pengunjungnya bisa mendaur ulang sampahnya sendiri.

Mereka akan mendapat pengalaman dengan berbagai tahap siklus teknologi dalam hal penanganan sampah, mulai ketika sampah masuk ke tempat pembuangan hingga bertransformasi menjadi sebuah produk akhir.

German Khilchenko yang menjabat Direktur museum tersebut meyakini sangat penting untuk membantu warga  agar  tidak banyak menghasilkan sampah.

Menurutnya, ketika pengunjung masuk ke museum dan berjalan melalui eksibisi. Mereka akan merasa  seperti melewati labirin—berjalan-jalan dan akhirnya keluar ke masa depan ramah lingkungan yang baru nan cerah.

“Ini dapat dikaitkan dengan sampah sebagai sumber daur ulang.  Karena dengan memasukkan sampah ke sirkulasi ekonomi, kita dapat mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.  Semakin sedikit sampah yang tertampung di TPA, tentu akan semakin sedikit pula kerusakan yang disebabkan sampah tersebut terhadap lingkungan,” terangnya.

Di museum sampah tersebut, pengunjung dapat melihat tata cara menyelesaikan masalah TPA dengan bantuan reklamasi. Kreator museum itu menawarkan konsep yang bisa dibangun di lokasi bekas TPA, semisal resor ski atau lapangan golf.

“Secara keseluruhan misi proyek kami merupakan satu hal sederhana. Sampah bukanlah sekadar sampah, tetapi sampah merupakan sumber daya dan bahan baku untuk membuat produk-produk yang lebih berguna,” terangnya.

Perusahaan Synergy+ memiliki  mimpi memopulerkan pendauran ulang dan cara pemilahan sampah. Tak hanya menyasar individu, tetapi juga akan menyasar  pabrik dan perusahaan.

KLIK INI:  Peka dan Resah, Kunci Utama Tumbuhkan Perilaku Ramah Lingkungan
Harus lebih banyak lagi

Seorang pengunjung bernama Sergei Bochin mengatakan, dirinya  merasa hal itu sangat baik dan positif.

“Museum seperti ini harus lebih banyak lagi yang dibuka.  Ini bahkan dapat dibuat pada tingkat pemerintah, bukan hanya oleh sektor swasta atau investor swasta saja,” katanya menyarankan.

Di museum itu terdapat sebuah aula untuk memamerkan teknologi pengelolaan sampah. Namun, tak berhenti pada teknologinya saja,  karena pengunjung juga dapat belajar mengenai sejarah sampah, misalny gua sampah yang ditinggalkan seorang lelaki primitif.

Pengunjung lain bernaman Svetlana Krasova mengungkapkan, jika pada awalnya dirinya merasa berada di era Uni Soviet.

“Ini seperti mengingatkan pada masa kanak-kanak kita. Dan kita menyadari bahwa pada pada masa lalu kita sangat peduli terhadap planet kita. Namun,  sekarang sangat disayang, karena semua ini terlupakan dan ketika kita datang ke museum ini, di mana TPA berada, kita terasa semakin menyedihkan.  Kita akan mulai bertanya-tanya kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk lingkungan,” ujarnya.

Sepertinya Indonesia harus menyontek Rusia dalam hal pengelolaan sampah, yang sampai dibuatkan muesum.

Namun, pertanyaannya apakah akan ada pengunjungnya, mengingat museum yang memajang sejarah bangsa ini saja kekurangan pengunjung? hmmm

KLIK INI:  Pemerintah Akan Beri Dukungan Anggaran Penanganan Limbah Medis di Masa Pandemi

Sumber: voaindonesia