Kerusakan Lingkungan, Kepungan Tambang, dan Lembaga Keagamaan

oleh -1,066 kali dilihat
Kerusakan Lingkungan, Kepungan Tambang, dan Peran Lembaga Keagamaan
Wajah bekas tambang timah di Bangka-Belitung/foto-Ist
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Hmm, dua atau tiga jam saya duduk di depan laptop, dan gagal menghasilkan tulisan. Saya ingin menulis perihal tambang, tapi tak berhasil.

Besok, 5 Juni 2020 merupakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringata tahun ini mengangkat tema Time for Nature. Sebuah ajakan untuk melirik ke alam, memberi waktu untuk alam. Bukan sekadar lirikan saja, tapi untuk mencintai dan menjaga alam agar tetap lestari.

Kembali ke awal, ide menulis perihal pertambangan, say rasa jika membincangkan dunia pertambangan, tak bisa lepas dari dampak buruk yang dipersembahkan kepada lingkungan.

Bagi yang pernah nonton film dokumenter Sexy Killers tentu masih basah diingatannya, bagaimana usaha pertambangan batu bara memporak-porandakan lingkungan dan kesehatan manusia.

KLIK INI:  TN Taka Bonerate Lakukan Transplantasi Terumbu Karang di Pulau Tinabo

Lubang-lubang yang ditinggalkan hasil penambangan kerap memakan korban jiwa. Belum lagi polusi udara yang ditimbulkan.

Di Indonesia, tambang batu bara seolah menjadi dunia tak ingin berakhir. Tumbuh subur meski memberi ancaman yang tidak sedikit.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat ada 3.092 lubang tambang batu bara yang terbuka berisi air beracun dan mengandung logam berbahaya di berbagai wilayah Indonesia.

Lubang-lubang tambang itu telah merenggut nyawa ratusan orang, yakni 143 orang. Mayoritas yang menjadi korban adalah anak-anak.

Langkah perbaikan bekas galian tambang memang telah dilakukan, hanya saja tidak mencapai target yang ditetapkan. Sehingga eks galian itu tetap menganga, menunggu korban jiwa dan merusak lingkungan.

Indonesia di kepung usaha tambang

Jatam mencatat pada tahun 2019 target reklamasi 6.950 hektare hanya tercapai 6.748 hektar. Itu artinya banyak bekas tambang yang terbengkalai.

Laju produksi  produksi dan pembukaan lahan konsesi tambang baru berbanding terbalik. Menurut Jatam, 2018 misalnya batas produksi batu bara yang semestinya 413 juta ton, tetapi realisasinya menjadi 477 juta ton. Begitu pula pada 2019, dari rencana produksi 489,7 juta ton, terealisasi 502,6 juta ton.

Selain itu, usaha tambang cukup menjamur di Indonesia, Jatam  mencatat terdapat 8.588 izin usaha pertambangan atau 44 persen dari luas daratan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 738 izin di antaranya terhubung dengan kawasan rawan bencana.

Selain di daerah rawan bencana, Jatam juga menemukan  164 konsesi tambang mineral dan batu bara yang tersebar di 55 pulau kecil.

Di pulau-pulau kecil ini  dampak kerusakan lingkungan  dan sosial cukup tinggi. Salah seorang penulis laporan Jatam, Alwiya Shahbanu,  mengungkapkan betapa dahysatnya kerusakan lingkungan di pulau-pulau kecil yang dijamah raksasa tambang. Tambang-tambang itu juga mencemari sumber air seperti sungai dan lainnya.

KLIK INI:  Di Usia Setengah Abad, Abang Terancam Denda 5 Miliar karena Ini!
Protes lembaga keagamaan

CNN melaporkan jika investasi dan penggunaan energ fosil mendapat kecaman dari   42 lembaga keagamaan dari 14 negara di dunia. Mereka meminta  pemerintah menghentikan investasi kepada dua hal tersebut, khususnya sektor pertambangan batu bara.

Lembaga keagamaan ingin agar pemerintah di seluruh dunia lebih berpikir jangka panjang dalam penggunaan energi ke depan. Sebab, penggunaan energi rendah karbon baik untuk kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan

42 lembaga keagamaan ini berasal dari Argentina, Australia, Bangladesh, Brasil, Kolombia, Ekuador, Indonesia, Irlandia, Italia, Kenya, Myanmar, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat.

Lembaga keagamaan ini menyatakan jika pandemi Covid-19 seharusnya menjadi titik balik untuk beralih ke investasi energi yang lebih ramah lingkungan.

“Masa pandemi covid-19 adalah waktu yang tepat untuk tidak hanya merenung, tetapi untuk bertindak. Kita harus menghentikan spiral kematian ekologis. Kita harus menghidupkan kembali harapan ekologis kita, dalam pertobatan besar umat manusia, dengan menempuh jalan menuju kehidupan yang lebih berkelanjutan,”  ungkap Direktur Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) untuk Keuskupan Agung Semarang, Romo FX Endra.

Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan investasi yang ramah lingkungan merupakan bagian dari ajaran agama. Sebab, turut merawat alam.

KLIK INI:  Kabar Baik, Bayi Gajah Lahir di Taman Nasional Way Kambas

“Pada ajaran seluruh agama, alam menempati tempat yang istimewa. Oleh karenanya agama merupakan sarana yang tepat untuk menyampaikan pesan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pelestarian alam,” katanya seperti dikutip dari CNN, 4 Juni 2020.

Sedangkan Mark Campanale, Pendiri dan Ketua Eksekutif Carbon Tracker menyatakan langkah pemulihan ekonomi dari masa pandemi corona di berbagai negara merupakan momentum yang tepat untuk membenahi iklim investasi. Ia menekankan investasi di berbagai bidang saat ini harus bisa berdampak positif dan dirasakan masyarakat di kehidupan mendatang.

“Energi fosil tidak bisa menjamin kesehatan umat manusia di masa depan,” katanya.

Mark menginginkan pemerintah mengikuti kepemimpinan keagamaan. Mereka berkomitmen   menciptakan dunia yang lebih baik.

Bagaimana dengan UU Minerba?

Revisi Undang-Undang Minerba diprotes oleh banyak pihak. Sebab dinilai tak berpihak kepada masyarakat, tapi berpihak kepada pengusaha tambang.

Berikut  15 rumusan baru dan penyempurnaan dalam batang tubuh UU Minerba:

  1.  Terkait Penguasaan Minerba, disepakati bahwa Penguasaan Minerba diselenggarakan pemerintah pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Selain itu, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi penjualan dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batu bara.
  2.  Disepakati bahwa Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan merupakan landasan bagi penetapan Kegiatan Usaha Pertambangan.
  3.  Adanya jaminan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk tidak melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan terhadap WIUP, WPR, dan WIUPK yang telah ditetapkan, serta menjamin terbitnya perizinan lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
  4.  Terkait WPR, jika sebelumnya diberikan luas maksimal 25 hektare dan kedalaman maksimal 25 meter, melalui perubahan UU itu diberikan menjadi luasan maksimal 100 hektare dan mempunyai cadangan mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 meter.
  5.  Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Izin dalam RUU Minerba ini terdiri atas: -IUP, IUPK, IUPK sebagai kelanjutan Operasi; -Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, Izin Penugasan, Izin Pengangkutan dan Penjualan, Izin Usaha Jasa Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan untuk Penjualan.

Hmm, saya berusaha menyelesaikan tulisan ini dengan merangkum dari beberapa sumber, dan haslilnya kepala yang sedikit puyeng

KLIK INI:  Ballo Tala Jeneponto akan Jadi Bahan Baku Bioetanol