Kenapa Bisa Pelaku Pembalakan Liar Bebas Beraksi di Indonesia?

oleh -411 kali dilihat
Faktor Penyebab Pembalakan Liar Bebas Beraksi
Ilustrasi pembalakan liar/foto-pantaugambut
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Masalah serius yang dihadapi hutan Indonesia selain kebakaran adalah pembalakan liar. Aktor pembalakan liar atau illegal loggin tak pernah habis. Terus saja bertumbuh.

Para aktor pembalak liar tersebut banyak menyasar hutan lindung. Aktivitas itu tentu saja sangat merugikan bidang lingkungan dan juga masyarakat.

Setiap tahun Indonesia kehilangan  sekitar 2 juta hektar areal hutan. Itu hal yang mencemaskan, bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia secara keseluruhan. Karena  sebagian hutan tropis terbesar di dunia ada di Indonesia.

Untuk menghadapi ancaman itu, organisasi dan pegiat lingkungan telah banyak menyuarakan pentingnya menjaga hutan. Namun, hal itu tetap saja tak menghentikan pelaku pembalakan liar.

KLIK INI:  Kronologis Singkat Penangkapan Pelaku Perdagangan Satwa Dilindungi di Kalimantan

Pelaku telah banyak ditangkap, dan ditetapkan sebagai tersangka, sebut saja AL (37) dan HS (30) pada tanggal 3 Juli 2020 ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Balai Gakkum KLHK wilayah Kalimantan.

AL dan HS merupakan aktor intelektual yang menjadi pemodal untuk menebang kayu di kawasan hutan tersebut. Ia menyuruh tiga orang untuk melakukan pembalakan liar dan ketiga orang suruhannya itu telah ditangkap.

Apa yang dilakukan AZ dan HS dengan melakukan  illegal logging di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Tanjungpura dan Hutan Produksi (HP) Sungai Peniti Besar – Sungai Temila, Kabupaten Mempawah, Kalbar. Tidak hanya mengancam lingkungan, tapi mengancam mata pencaharian masyarakat.

Menurut laporan Departemen Kehutanan (Dephut RI), 30 juta penduduk di sekitar hutan mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan. Caranya dengan berbagai strategi ekonomi tradisional seperti perladangan padi berpindah, memancing, berburu, menjual kayu dan mengumpulkan hasil hutan non kayu (Josias Simon Runturambi, 2003)

Lalu bagaimana cara pelaku beraksi pada pembalakan liar hutan di Indonesia sehingga sulit dihentikan, (Nina dalam Runturambi, 2003) menjelaskan, metodenya memiliki ciri seperti dilakukan di kawasan Asia Pasifik maupun Afrika, yakni menggunakan mesin potong (sawmill), dilakukan pada malam hari, dan diangkut tanpa terdeteksi.

KLIK INI:  Bardin dan Hutan
Mengancam keselamatan masyarakat

Selain itu, dilakukan pula penandaan pohon-pohon yang telah ditebang agar mudah dipindahkan, mengklaim kayu tebangan berasal dari sumber resmi. Dan hal yang paling “cerdas” memanipulasi dokumen pengiriman, penyuapan pada instansi berwenang untuk mendapatkan dokumen resmi. Juga penggunaan ijin melebihi kewenangan yang seharusnya (habis masa berlaku), lolos pemeriksaan (check-points) tanpa dokumen karena menyuap petugas serta mempergunakan kekuasaan atau pengaruh kuat dari seorang atau beberapa pejabat tinggi tertentu.

(Winarno Budyatmojo, 2013)  mengungkapkan faktor lain sehingga pembalakan liar marak terjadi adalah peraturan perundang-undangannya yang masih lemah, faktor aparat penegak hukum, faktor yang berkaitan dengan budaya masyarakat, faktor yang berkaitan dengan supply dan demand serta rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Selain karena rendahnya kesadaran oknum aparat terhadap lingkungan sering pula terjadinya kejahatan disebabkan karena rendahnya pengetahuan aparat dalam menindak kejahatan yang terjadi. Hal ini terjadi karena penafsiran terhadap peraturan dan perundang-undangan yang tidak jelas sehigga masing-masing memiliki persepsi yang berbeda. Sehingga hal ini akan melemahkan pengawasan dan kontrol baik di lapangan maupun administrasi.

KLIK INI:  Dorong Kaum Milenial Cinta Lingkungan, KLHK Gelar ECoFest 2019

Kasus AL dan HS bisa menjadi pembuktian jika hukum di Indonesia tidak selemah seperti yang diungkapkan Budyatmojo. Apalagi Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan menjerat tersangka dengan Pasal 82 Ayat 1 Huruf c dan Pasal 84 Ayat 1, Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Jo. Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Selain itu, Dirjen Gakkum LHK, Rasio Ridho Sani, memerintahkan untuk menindak tegas para pelaku kejahatan seperti ini, cari aktor intelektual dan para pemodalnya. Mereka harus dihukum seberat-beratnya, karena mencari keuntungan dengan cara merugikan negara dan merusak lingkungan serta mengancam keselamatan masyarakat.

Namun, kita tunggu hasilnya seperti apa!

KLIK INI:  Mencemaskan, Kebakaran Hutan Bolivia Memanggang Jutaan Satwa?