Kenalkan si Kejam yang Mampu Menggoyang Lidah dari Mallawa

oleh -888 kali dilihat
Kejam dan Abon Jamur yang Menggoyang Lidah dari Mallawa
Keripik Jamur Mallawa (Kejam) merupakan hasil inovasi masyarakat Mallawa, Maros/foto-Taufiq
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Tak semua hasil panen jamur bisa terjual. Terkadang saat membersihkan jamur, ada jamur yang kurang layak: sobek atau warnanya agak kekuningan.

Biasanya jamur ini hanya dimasak untuk dikomsumsi di rumah. Sedikit berbeda dengan Ibu Hapsah. Ia olah menjadi keripik. Ternyata rasanya enak. Hingga kemudian muncullah ide membuatnya menjadi sebuah produk: keripik jamur.

Subhan sangat tanggap ide anggota binaannya. Ia kemudian mulai mencari tahu di mana bisa memesan kemasan untuk keripik jamurnya. Koko, anak Ismail yang sekolah di Makassar membuat desain produknya. Koko juga membantu orang tuanya menjual produk keripiknya di Makassar.

“Saya bisa dapat uang jajan dari hasil menjual keripik ini. Awalnya saya beri tester ke tetangga-tetangga kos-kosan. Ternyata mereka suka. Kemudian mulai mereka pesan,” cerita Koko.

KLIK INI:  Menilik Manfaat Tanaman Sayuran Buncis dan Cara Membudidayakannya

Koko jadi rutin menjual keripik dan terus memasarkan keripik buatan kedua orang tuanya. Hasil penjualan keripik jamur lumayan menjanjikan.”Termasuk laptop ini saya beli dari hasil menjual keripik jamur,” tambah Koko.

Untuk menambah daya tarik pembeli Koko kemudian membuat desain kemasan keripik. Mereka bersepakat memberi nama: Kejam. Kejam adalah singkatan dari “Keripik Jamur Mallawa.” Hanya saja desain keripik itu lambat laun daya tariknya memudar.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kemudian menggandeng Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM). Sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus menjadi pendamping dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

TLKM kemudian berdiskusi dengan anggota kelompok Samber untuk rencana desain kemasan produk keripiknya. Hingga kemudian mereka bersepakat unuk melakukan desain ulang. Mereka juga menyepakati nama produknya: Keripik Jamur Mallawa. Pilihan brand untuk memasarkan produk kebanggan KTH Samber ini.

Anggota kelompok terus berinovasi menciptakan produk lain dari jamur. Anggota kelompok terutama dari kalangan ibu-ibu terus bereksperimen hingga kemudian mereka mampu membuat satu lagi produk: abon jamur.

Jadilah produk keripik jamur dan abon jamur. Keripik jamur dibandrol dengan harga harga 13.000. Abon jamur sendiri Rp. 25.000. Harga tersebut sudah termasuk dana konservasi. Jadi setiap pembelian satu produk berarti kita berpartisipasi menjaga lingkungan.

KLIK INI:  Mengenali Manfaat di Balik Buah dan Sayuran Berdasarkan Warnanya
Pemasaran produk

Terbukanya pemasaran produk jamur produksi KTH Samber seperti sekarang ini datangnya tak begitu saja. Adalah Subhan yang dengan giatnya mencari peluang pemasaran. “Waktu saya cari pasarnya ‘door to door,s’ mendatangi satu per satu calon pembeli potensial. Saya keliling di Makassar,” terang Subhan.

Subhan membeli jamur dari kelompok kemudian mencari pasar di Makassar. Ia mendatangi satu per satu supermarket, warung-warung hingga komunitas pola hidup sehat. “Saya berikan cuma-cuma 1 kg jamur segar sebagai tester. Tak lupa saya selipkan selembar kartu nama.”

“Jika berminat silahkan kontak saya,” pesan Subhan waktu itu kepada calon pembeli.

Dari sanalah bermula sehingga saat ini permintaan pasar jamur segar dari kelompok ini melimpah. Semua hasil produksi jamur segar Samber laku terjual.

Bagaimana pemasaran keripik dan abon jamur? Sistem pemasarannya hampir sama. Hanya saja produk ini lebih mudah karena warung-warung kelontongan pun juga berminat. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung pun tak pernah absen memasarkannya.

Setiap pameran dan keiikutsertaan event tertentu, keripik dan abon jamur tak pernah absen. Malah menjadi produk unggulan. Tak terkecuali saat mengikuti pertemuan Asen Heritage Park ke 35 di Laos.

Pada gelaran pameran tersebut terpampang produk jamur KTH Samber. Apalagi keripik jamur langsung ludes terbeli pengunjung dari negara-negara ASEAN itu.

Dana konservasi dan penghargaan

Sejak Januari 2019 KTH Samber menyisihkan sebagaian pendapatan mereka untuk konservasi. Seribu rupiah untuk satu pohon. Setiap penjualan satu produk jamur: kripik dan abon, anggota kelompok menyisihkan seribu rupiah untuk membuat persemaian.

KLIK INI:  Ekspedisi Tanah Mallawa, Menyibak Relung Tarsius

Bibit ini kemudian nantinya akan mereka bagikan kepada masyarakat di Desa Samaenre untuk mereka tanam di lahannya. Termasuk juga menanam pohon di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang berada di wilayah Mallawa.

Administrasi kelompok budidaya jamur ini cukup tertib. Hasil rekapan dana konservasi hingga Desember 2019 sudah terkumpul lebih dari 9 juta rupiah. Menjadi modal membuat persemaian dan menanam pohon di wilayah Mallawa.

“Kami sedang bibit kemiri dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Konon dalam waktu beberapa tahun, kemiri sudah bisa dipanen. Pertumbuhannya cepat,” ujar Firdaus, Ketua KTH Samber.

Pada Juli 2019 lalu KTH Samber telah membuat persemaian. Bibit mereka ambil dari cabutan di bawah tegakan hutan. Beberapa minggu kemudian rombongan taman nasional bersama Kepala Desa Samaenre menggelar kegiatan penanaman. Menanam di zona rehabilitasi Bantimurung Bulusaraung yang berada di wilayah Resor Mallawa.

Kisah sukses budidaya jamur KTH Saber cepat tersebar. Pada pertengahan Juni 2019, mereka kedatangan tamu. Perta pendidikan dan pelatihan dari BDLHK Makassar bertandang ke Samaenre untuk melakukan praktek lapangan. Belajar budidaya jamur dari KTH Samber. Peserta pelatihan berasal dari kesatuan pemangkuhan hutan (KPH)s dari beberapa wilayah nusantara.

Atas upaya pemberdayaan masyarakat dan dedikasiya terhadap lingkungan KTH Samber diganjar apresiasi. KTH samber dinobatkan sebagai Desa Binaan Konservasi Terbaik Kedua dalam rangkaian Hari Konservasi Alam Nasional tahun 2019 di TWA Muka Kuning, Batam. Direktur KSDAE, Wiratno, memberikan langsung piagam perhargaan tersebut kepada Ketua KTH Samber, Andi Firdaus pada puncak peringatan HKAN 2019 yang berlangsung 5-8 Agustus 2019 di Batam.

KLIK INI:  Saatnya Masyarakat Sekitar Taman Prasejarah Leang-leang Berkarya