Kejahatan Kehutanan di Sulsel Meningkat di Masa Pandemi

oleh -150 kali dilihat
Kejahatan Kehutanan di Sulsel Meningkat di Masa Pandemi
Ilustrasi pembalakan Kayu - Foto/Ist

Klikhijau.com – Pembalakan liar (illegal logging) di Sulawesi Selatan meningkat pada masa pandemi. Kejahatan kehutanan ini dilakukan dengan pola memanfaatkan masyarakat lokal sekitar hutan untuk melakukan pembalakan.

Sementara penegakkan hukum umumnya belum sampai pada pelaku lapangan dan jarang menyentuh pedagang kayu maupun aktor di belakang layar.

Pebisnis atau penjual kayu tampaknya memanfaatkan kesempatan di masa pandemi. Ketika aktivitas masyarakat dibatasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (SBB), atau dalam skala terbatas. Momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan pembalakan di hutan, karena situasi relatif aman.

Dalam jumpa media di Kafe Baca, Makassar, Sabtu (30/1/2021), Direktur JURnaL Celebes Mustam Arief, mengemukakan, kesempatan di masa pandemi bukan hanya dilakukan para pedagang kayu. Masyarakat lokal sekitar hutan yang pendapatannya berkurang akibat dampak pandemi, juga terpicu memanfaatkan situasi ini.

KLIK INI:  Komisi IV DPR Dukung Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Berkelanjutan
Kejahatan meningkat di masa pandemi

Karenanya, dalam masa pandemi, baik pihak pengusaha/pedagang maupun masyarakat, yang sama-sama terdesak kebutuhan, bersimbiosis melakukan pembalakan liar. Sama-sama memanfaatkan situasi, ketika intensitas pengawasan hutan menurun karena berlakunya PSBB Covid-19.

Dari hasil pemantauan para pemantau independen dampingan JURnaL Celebes di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan illegal logging dilakukan dengan melibatkan atau ‘bekerja sama” dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan. Pengusaha atau pengepul kayu memanfaatkan orang-orang lokal untuk melakukan penebangan.

Batang kayu yang ditebang dikumpulkan di tempat tertentu. Kayu yang terkumpul, akan diangkut truk dibawa ke tempat pengumpulan setelah dari hutan, atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian.

Dari hasil pemantauan kegiatan yang didukung FAO-FLEGT Programme ini, ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu, punya risiko hukum, dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal.

Ketika pelaku lapangan diketahui petugas, yang ditangkap dan diproses hukum adalah pelaku warga masyarakat. Masyarakat yang menebang kayu, kalau tidak sempat melarikan diri, akan ditangkap petugas. Diproses hukum sampai ke pengadilan.

KLIK INI:  Gurita Para Penjahat Kayu di Belantara yang Kaya Raya

Sementara pihak pengusaha atau pendagang kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat untuk menebang kayu, jarang tersentuh hukum. Padahal mereka sebenarnya adalah pemilik kayu ilegal.

Pemantau menyinalir, di antara pihak pembeli maupun penebang diduga ada kesepakatan untuk tutup mulut dengan, kompensasi tertentu.

Dugaan lain, penebang kayu dari masyarakat setelah ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap siapa yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah hilang jejak.

Pemantau menduga pelaku kejahatan dari pihak pembeli/pengusaha kayu dengan cara ilegal, menggunakan pola ‘’rantai putus’’ untuk menghilangkan jejak.

Dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat JURnaL Celebes selama pandemi, hampir semua pelaku yang diproses hukum, adalah warga masyarakat yang ditangkap karena menebang atau mengangkut kayu. Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu.

Sedangkan pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Komara, Takalar.

KLIK INI:  Swedia Darurat karena Kekurangan Sampah, Indonesia Darurat karena Sebaliknya

Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan sebagai pelaku, pihak kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar.

Proses hukum masih senyap

Kasus-kasus illegal logging di masa pandemi semuanya diproses hukum. Pada tahap awal, Petugas Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menangkap pelaku, memproses kemudian diserahkan ke kepolisian.

Di sini ada yang diproses sampai pengadilan, tetapi ada juga dihentikan karena misanya dianggap tidak cukup bukti. Publik jarang mengetahui seperti apa penyelesaian hingga kasus pembalakan liar atau kayu peredaran kayu ilegal.

Penyelesaian akhir kasus-kasus hukum ini juga menjadi senyap karena selalu luput dari pantauan atau tindak lanjut media.

“Media kerapkali hanya sampai pada memberitakan kasus dalam tahap awal ketika ada penangkapan dan proses hukum di Gakkum KLHK atau kepolisian,” kata Mustam.

Namun, proses hukum tersebut, perlahan-lahan senyap, dan masyarakat sudah tidak mengetahui keputusan akhir. Situasi ini sering menimbulkan kecurigaan publik bahwa penanganan kasus pembalakan liar dilakukan dengan tidak tegas, tidak memberi efek jera terhadap kejahatan kehutanan ini.

Dalam lokakarya yang dilakukan JURnaL Celebes menjelang akhir tahun 2020, seorang penyidik dari Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi mengemukakan masih tidak sinkronnya proses hukum kejahatan kehutanan, sebab proses hukum kerap berakhir di institusi penegak hukum tertentu.

KLIK INI:  Lawan Masalah Lingkungan dengan Mengatasi Kemiskinan