Kebakaran Lahan Gambut, Nobatkan Indonesia dan Brasil sebagai Penyumbang Besar GRK

oleh -356 kali dilihat
Tata Cara penyusunan RPPEG Mulai Disosialisasikan
Ekosistem gambut/foto-Ekbis - Rmol

Klikhijau.com – Lahan gambut berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Gambut ini termasuk lahan basah yang memiliki hari istimewa, setiap tanggal 2 Februari setiap tahun.

Pada tanggal itu akan diperingati hari lahan basah sedunia. Tujuannya adalah untuk menyadarkan manusia akan pentingnya menjaga dan melestarikan lahan basah, termasuk lahan gambut.

Lahan gambut adalah ekosistem lahan basah di mana kondisi tergenang air. Fungsinya mencegah bahan tanaman membusuk sepenuhnya.

Sebaliknya, ia terakumulasi dan menjadi lapisan padat bahan organik kaya karbon. Lahan gambut diketahui menyimpan dan menyerap lebih banyak karbon daripada jenis ekosistem terestrial lainnya.

KLIK INI:  Gawat, Gegara Perubahan Iklim, Indonesia Rugi Rp544 Triliun?

Di daerah tropis yang lembap, gambut terbentuk di bawah kondisi curah hujan tinggi dan suhu tinggi seperti yang ditemukan di Amazon Brasil dan di hutan hujan Indonesia.

Di lokasi-lokasi ini, lahan gambut berada di bawah pohon-pohon hutan hujan dan terbuka saat hutan dibuka.

Permintaan global akan kayu dan makanan, seperti kacang kedelai, minyak sawit, dan daging sapi, diketahui telah memicu deforestasi hutan hujan di beberapa negara, khususnya Indonesia dan Brasil.

Penebangan hutan-hutan ini untuk memberi ruang bagi lahan pertanian, padang rumput untuk peternakan dan perkebunan.

Cara membukanya adalah dengan menghilangkan pohon-pohon yang seharusnya menyerap dan menyimpan karbon. Proses ini juga melibatkan pembakaran vegetasi asli ke tanah, dan bahkan di bawah tanah.

Jika itu dibiarkan, maka dampaknya secara ekologi akan sangat terasa secara global. Ada sebuah studi baru yang diterbitkan oleh Frontiers menyoroti tentang perlunya pemetaan ekosistem lahan gambut dan kebakaran lahan gambut yang lebih baik, bersama dengan pengukuran tanah pra dan pasca kebakaran secara teratur.

Perlu kebijakan perlindungan lebih ketat

Para peneliti juga menekankan perlunya kebijakan perlindungan hutan dan lahan gambut yang lebih ketat.  Mengingat dampak lingkungan yang disebabkan kerusakan lahan gambut saat dianggap kurang penting alias diremehkan.

KLIK INI:  Thomas Nifinluri: 2020 Ekowisata Sulsel Harus Lebih Maju, Satwa Liar Dilindungi Juga Terjaga

Dr. Ramanan Krishnamoorti dari University of Houston telah menghitung emisi GRK yang terkait dengan kebakaran deforestasi 2019 dan 2020 di dua negara, yakni Indonesia dan Brasil.

Studi ini juga mempertimbangkan kontribusi dari pembakaran lahan gambut – ekosistem yang padat dan tergenang air yang mendasari banyak hutan hujan di kedua negara tersebut.

Dr. Krishnamoorti mengatakan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di hutan, terutama di ekosistem kritis seperti lahan gambut, tidak dikomunikasikan dengan baik kepada khalayak umum.

“Kami ingin memahami dasar dari angka-angka ini tetapi mengalami tantangan dalam mengakses data. Itu mengarahkan kami untuk menganalisis sumber pengukuran dan kesalahan, bagaimana kesalahan bertambah seiring waktu, dan dampaknya terhadap kebijakan,” ungkapnya.

Para peneliti menggunakan data yang tersedia untuk umum tentang deforestasi di Brasil dan Indonesia. Tujuannya untuk memperkirakan total dampak GRK dari kebakaran deforestasi pada tahun 2019 dan 2020.

Mereka menganalisis data yang tersedia dari semua provinsi di Indonesia, dan wilayah legal Amazon dan Pantanal di Brasil. Mereka memperhitungkan emisi dari pembakaran biomassa di atas tanah, serta dari tanah gambut dan bahan kering di lahan gambut.

Hasil yang mereka temukan, Indonesia kehilangan 31.000 km 2  hutan akibat kebakaran hutan pada tahun 2019. Sedangkan di Brasil, total 11.088 km 2  hutan hancur antara Agustus 2019 dan Juli 2020.

KLIK INI:  Pembalak Liar Hutan Mangrove Diringkus Gakkum KLHK di Langkat Sumut

Hal mengerikan yang terjadi adalah selama kebakaran deforestasi (hutan), gambut terbakar kerap terbakar di bawah tanah. Kebakaran lahan gambut dapat membara selama berminggu-minggu, karena bahan organik padat perlahan-lahan terbakar.

Karbon yang tersimpan dilepaskan ke atmosfer sebagai CO 2 , bersama dengan GRK lainnya seperti karbon monoksida (CO) dan metana (CH 4 ).

Asap yang menyertainya menyebabkan kabut partikel halus yang berkontribusi terhadap polusi udara dan mempengaruhi satwa liar dan kesehatan manusia.

Jadi penyumbang besar GRK

Hasil analisis yang dipublikasikan di Frontiers in Climate juga menunjukkan bahwa Brasil dan Indonesia secara bersama-sama mengeluarkan hampir 2 gigaton CO 2 ekuivalen (CO 2 e) pada tahun 2019.

Dan pada tahun 2020 kedua negara itu mengeluarkan 1 gigaton CO 2 e  dari hasil pembakaran biomassa di atas tanah.

KLIK INI:  Pemanfaatan Teknologi Nuklir, Inovasi Baru Tekan Polusi Plastik

Namun, ketika para peneliti memasukkan emisi dari kebakaran deforestasi di lahan gambut, dampak GRK gabungan di kedua negara meningkat menjadi 3,65 gigaton CO 2 e pada 2019 dan 1,89 gigaton CO 2 e pada 2020.

Hasil itui mewakili peningkatan sekitar 200 persen dari emisi dihasilkan dengan membakar biomassa di atas tanah saja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembakaran lahan gambut berkontribusi antara 40 dan 60 persen dari dampak emisi GRK yang disebabkan oleh kebakaran deforestasi, di kedua negara tersebut.

Hal itu menyiratkan bahwa estimasi sebelumnya kurang mewakili kontribusi kebakaran yang lambat-lalap ini di ekosistem gambut.

Secara total, kebakaran hutan di Brasil dan Indonesia masing-masing menyumbang tiga dan tujuh persen dari total emisi gas rumah kaca planet ini pada 2019 dan 2020, lapor studi tersebut.

“Tantangan pemantauan dan pengukuran di lahan gambut menyebabkan meremehkan dampak sebenarnya dari kebakaran deforestasi. Karena perkiraan ini menjadi dasar respons kebijakan dari pemerintah pusat. Hal itu mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap perlindungan hutan dan lahan gambut sebagai bagian dari upaya mitigasi krisis iklim,” tegas Krishnamoorti.

KLIK INI:  Indonesia-Jepang Jajaki Kerjasama Penanganan Sampah Elektronik

Sumber: Earth