Gawat, Permendag Nomor 15 Tahun 2020 Menghilangkan Kewajiban Dokumen V-Legal!

oleh -629 kali dilihat
JPIK : Deforestasi di Taman Nasional Kerinci Seblat Harus Segera Diakhiri
kayu illegal logging yang dihanyutkan di sungai kawasan hutan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Baling, Riau-Foto/JPIK-2019
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag Nomor 15 Tahun 2020) melenyapkan kewajiban penggunaan Dokumen V-Legal sebagai salah satu persyaratan eskpor produk kehutanan.

Pencabutan dilakukan dengan dalih mempermudah industri kecil. Pencabutan ini menuai protes dari banyak pihak termasuk Uni Eropa dan sejumlah koalisi masyarakat sipil. Regulasi ini ditengarai akan memberi peluang pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal (illegal logging).

Hal itu ditegaskan, Muhammad Ichwan, Juru Kampanye Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Ichwan merasa sangat kecewa atas kebijakan ini yang dianggapnya akan membuat produk-produk kayu tanpa jaminan legalitas dapat diekspor dengan bebas.

“Artinya, peluang maraknya pembalakan liar dan perdagangan kayu illegal kembali besar. Ini merupakan ancaman yang dapat mencoreng citra produk kayu Indonesia di mata dunia. Serta meruntuhkan kredibilitas Indonesia sebagai negara pelopor dalam perbaikan tata kelola hutan,” tegas Ichwan pada Klikhijau, Selasa 31 Maret 2020.

KLIK INI:  KLHK Kembali Amankan 38 Kontainer Kayu Ilegal Asal Kepulauan Aru
Surat terbuka kepada Presiden

JPIK bersama koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi telah mengirimkan surat keberatan atas terbitnya Permendag Nomor  15 tahun 2020 ini. Surat tertanggal 20 Maret 2020 telah dikirim via elektronik dan Pos ke Presiden dan ditembuskan pada KSP, Mendag, Kemenko, dan KLHK. 

Surat terbuka ditujukan langsung kepada Presiden Jokowi yang poinnya meminta Presiden untuk memerintahkan Menteri Perdagangan mencabut atau merevisi Permen tersebut. Karena tidak selaras dengan komotmen pemerintah dalam pemberantasan illegal logging dan perdagangan kayu illegal.

“Dalam surat tersebut Koalisi juga mengharapkan kesediaan Bapak Presiden untuk beraudiensi dengan kami. Tentunya melalui daring mengingat situasi penyebarang virus corona yang terjadi saat ini. Kami berharap audiensi tersebut bisa dilaksanakan secepatnya. Namun apabila Bapak Presiden berhalangan karena situasi tidak memungkinkan, kami bisa menyesuaikan,” kata Ichwan.

JPIK mendorong Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) untuk segera melakukan negosisiasi dengan Menteri Perdagangan dan Kemenko untuk membahas terbitnya Permendag 15/2020. Untuk kemudian segera direvisi yakni dengan memasukkan kembali tentang kewajiban penggunaan dokumen V-legal.

KLIK INI:  3 Cara Menggunakan Hand Sanitizer Agar Lebih Efektif

Dengan begitu, kata Ichwan, KLHK bisa mengeluarkan peraturan detailnya dalam permenLHK tentang ketentuan teknis dalam penggunaan dok v-legal untuk eksportir.

“Kalau pemerintah memiliki inisiatif  untuk membantu IKM dengan cara memberikan subsidi atas pembiayaan V-Legal itu bagus. Tapi harus jelas pengaturannya agar tepat sasaran dan dijamin keberlanjutannya (bisa kontinyu) sehingga IKM dapat bersaing di pasar Global,” kata Ichwan.

Membuka kran korupsi kehutanan

Padahal kata Ichwan, selama ini dengan Permendag lama yang menerapkan V-Legal atau  Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK), trend ekspor kayu Indonesia meningkat tajam.

KLIK INI:  Sinergitas Para Pihak, Kunci Sukses dalam Implementasi SVLK di Tingkat Tapak

Data JPIK menunjukkan trend positif ekspor kayu Indonesia pada 2018 dan 2019 seiring pemberlakuan V-legal.  Nilai ekspor kayu Indonesia US$ 12,34 juta atau setara Rp. 187,99 triliun dalam kurs 16.044 per dolar AS. Dengan angka ini, Indonesia menempati urutan kedua eksportir kayu tropis terbesar di dunia.

Dalam dua tahun terakhir (2018-2019), permintaan kayu legal meningkat hingga 47 persen. Sebanyak 80 persen pasar ekspor furniturIndonesia adalah negara yang meminta bukti legalitas kayu. Dalam konteks ini pemberlakuan dokumen V-legal sebagai syarat ekspor kayu sudah tepat dan menguntungkan.

V-legal
Trend ekspor kayu Indonesia 4 tahun terakhir dengan adanya SVLK-Foto/Ist

Seperti diketahui dokumen V-legal atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan salah satu dokumen persyaratan ekspor untuk produk industri kehutanan Indonesia. Dengan V-legal, produk kayu yang diekspor telah memenuhi ketentuan verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Permendagri yang baru Nomor 15 tahun 2020 kemudian menghilangkan kewajiban dokumen V-legal sebagai syarat ekspor kehutanan. Ichwan berpendapat, pelenyapan syarat V-legal boleh jadi karena dianggap menghambat ekspor. Padahal pemerintah mestinya menimbang dampak lainnya yang lebih vatal yakni perdagangan bebas dan illegal logging.

KLIK INI:  Perkara Kayu Ilegal 57 Kontainer, Begini Kelanjutannya di Pengadilan!

Menurut Agus Budi Purwanto, Deputi Kajian dan Riset Kehutanan pada Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi Provinsi Jawa Timur, dalih bahwa SVLK memberatkan industri itu perlu dibuktikan dan diperdebatkan dulu.

Tentang biaya sertifikasi, ada mekanisme groups certification yang telah dijalankan selama ini oleh industri di berbagai tempat. SVLK juga telah memperbaiki tata kelola kehutanan baik di kawasan hutan negara maupun hutan rakyat.

“Perbaikan tata kelola kehutanan itu juga memberikan kontribusi pengurangan praktek-praktek korupsi kehutanan. Ilegal logging yang berkait erat dengan korupsi juga akan menjadi-jadi lagi. Jadi, jika permendag ini dijalankan, apakah kita akan kembali ke masa kelam kayu gelap lagi?” tegas Agus.

Fakta lain

Dalam kajian JPIK, Permendagri Nomor 15 tahun 2020 justru tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013. Alasannya, regulasi baru ini melemahkan usaha-usaha memperbaiki tata Kelola kehutanan, mengurangi kerusakan hutan dan pembalakan liar.

KLIK INI:  PT KS Dihukum atas Kebakaran Lahan Ribuan Hektare di Kalteng

Dengan regulasi baru ini, Indonesia ditengarai melanggar komitmen FLEGT-VPA dengan Uni Eropa. Sebagaimana Perpres 21/2014 tentang Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan Uni Eropa yang mengatur penegakan hukum kehutanan, penatakelolaan dan perdagangan produk kayu ke Uni Eropa yang berdampak pada hilangnya jalur hijau perdagangan produk kayu Indonesia ke Uni Eropa.

Hasil kajian JPIK juga menemukan, regulasi ini tidak sesuai dengan PermenLHK Nomor 30 tahun 2016 dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpastian berusaha. Padahal negara tetangga seperti Vietnam saat ini sedang fokus menerapkan kebijakan sertifikasi legalitas kayu.

“Bila Permendag ini tidak direvisi tentu akan menurunkan citra tata Kelola hutan dan reputasi produk kayu Indonesia di kancah internasional,” tegas Ichwan.

Sementara di sisi pengusaha, lanjutnya, akan menghilangkan kepercayaan dari pelaku usaha dan investasi khususnya yang selama ini patuh pada pelaksanaan SVLK.

KLIK INI:  Menilik Peran Penting Masyarakat Adat dalam Mengatasi Perubahan Iklim