Ekofeminisme, Tentang Relasi Gender dan Kehutanan

oleh -631 kali dilihat
Buku Gender dan Kehutanan Masyarakat
Judul buku: Gender dan Kehutanan Masyarakat
Cetakan Pertama: Maret 2015
Tebal: 411 halaman
Penerbit: deepublish Yogyakarta

 

Tidak banyak buku yang membahas masalah kehutanan dengan isu-isu sosiologis, semenarik buku ini. Oleh penulisnya, Muh. Arba’in Mahmud diberinya judul “Gender dan Kehutanan Masyarakat”.

Dari judul itu, kita dapat menafsirkan arah kajian dan pembahasannya yakni melihat dimensi feminisme dalam ekologis. Terminologi ini kemudian disebut ekofeminisme.

Hutan belantara memang seringkali identik dengan maskulinitas dengan stereotipe laki-laki. Hutan sebagai yang belantara, banal, liar, seram dan mengerikan—adalah prototipe sosial yang selalu dilekatkan pada laki-laki (dalam masyarakat patriarki) yang beririsan dengan frase: berani, kuat, kejantanan, dan seterusnya.

Seberapa mungkin isu kehutanan dikaitkan dengan gender? Pertanyaan ini cukup mengganggu pikiran.

Penulisnya sendiri pada kata pengantar membuat pengakuan menarik. Betapa banyak pihak yang melihatnya sedang terjerembab pada suatu diskursus yang tak terlalu penting dan tak menarik.

“Beberapa kawan perimba (rimbawan/rimbawati) belum/agak susah memahami kesadaran penulis sehingga tak sedikit syak wasangka muncul, bahwa penulis sekadar sensasi, lebay, asal beda/waton sulaya, dan sebagainya.”

Tetapi, itulah yang menantang seorang Arba’in untuk melanjutkan penelitiannya ini. Prinsipnya menarik, ia ingin mengevolusi kesadarannya, dari intelektual autis menuju perimba altruis. Intelektual autis dalam pengertian asyik pada dunianya sendiri—menjadi altruis, memberi kebermanfaatan luas pada sekitarnya.

Latar belakang pendidikan membantu Arba’in memperkaya pandangannya di buku ini. Sebagai seorang sarjana bidang ilmu sosial yang melanjutkan studi ke Pascasarjana Kehutanan UGM Yogyakarta, di satu sisi tentu tidak gampang—tetapi di sisi lain bila digandrungi secara baik akan melahirkan kompilasi pemikiran yang otentik.

Profesinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pengalamannya sebagai pengajar di Program Studi Kehutanan Universitas Khairun Ternate—menjadikan buku ini sangat berwarna.

Di satu sisi akan tampak sangat teoritik-akademis, di sisi lain akan tampak praktis-teknis. Dengan demikian, buku ini sangat cocok dipakai sebagai referensi akademik untuk kajian sosiologi kehutanan, sosiologi wanita, bahkan untuk kajian gender dan pembangunan. Tetapi, juga cocok dipakai oleh praktisi dan rimbawan.

Prof. Dr. San Afri Awang dalam kata pengantarnya juga memberi apresiasi tinggi pada buku ini. Pertama, perihal keuletan Arba’in dalam meneliti kajiannya yang katanya tidaklah mudah.

Dimulai dari sebuah proposal tebal untuk memenuhi tugas kuliah berjudul “menggagas hutan perempuan’—buku ini kemudian berkembang wacananya.

Menurut Prof San Afri, wacana gender dan kehutanan masyarakat relatif masih belum banyak. Penyebabnya, diskursus gender dan kehutanan seringkali berjalan sendiri-sendiri. Tetapi, buku ini berhasil menarik benang merah dengan mempertemukan keduanya.

Kelebihan lain dari buku ini, sebagaimana ditulis Prof San Afri adalah adanya kajian lapangan atau studi kasus yang mengangkat masalah kearifan lokal (local wisdom).

Kearifan yang bersumber secara otentik dari akar rumput yang sejatinya penuh keterbatasan tetapi berhasil membuat semacam konsep ekonomi kerakyatan, pemberdayaan diri, bahkan pengelolaan lingkungan hidup.

Buku ini layak direkomendasikan untuk dibaca pegiat lingkungan, ASN di KLHK, peneliti gender dan pembangunan—diantaranya karena keberanian penulisnya mulai membuka kran terwujudnya apa yang disebut ‘trans-disipliner”.