Ditetak Ayah

oleh -183 kali dilihat
Ditetak Ayah
Ilustrasi-foto/Pixabay
Irhyl R Makkatutu

“Ini kedua kalinya gagal panen,” kataku dengan mata yang mulai dijenguki gerimis. Jika pun mataku berubah hujan deras tak ada yang lihat—termasuk kamu.

“Menangislah!” bisikmu lembut. Tapi, terdengar nyaring di speaker gawaiku. Gawai yang kubeli dua tahun lalu dari hasil panen jagung.

Tahun ini, aku berencana menggantinya, tepatnya menambahnya. Aku telah lelah bertengkar dengan Binar. Benar-benar lelah.

Sejak ia belajar online karena pandemi. Aku tak pernah akur dengannya perihal gawai. Ia lebih menyukai memakai gawaiku belajar online ketimbang milik ibu atau ayahnya.

KLIK INI:  Siasat Sebuah Kota

Sejak nenek menyusul ibu ke ruang jauh. Aku mulai belajar lebih mandiri dari biasanya. Tepatnya aku terjebak di dalam kemandirianku yang terpaksa.

Aku harus terjun ke kebun. Menanam jagung, merawat, dan memanennya. Jika tak demikian—aku harus rela berpuasa dari memenuhi segala kebutuhanku.

Meski kakakku tak membiarkanku bekerja di kebun karena fisikku lemah. Tapi, aku tak enak jika hanya tinggal di rumah—di rumahnya tanpa melakukan apa-apa.

Aku memang memiliki ayah, sebagai anak perempuan dan bungsu pula. Harusnya aku jadi kebanggaannya. Namun, tak demikian adanya. Aku dipaksa oleh ayah untuk mandiri dengan cara yang kejam—diusir dari rumah demi istri barunya. Perempuan yang membuat lidahku gatal jika harus kupanggil ibu.

Perempuan itu—istri kedua ayah, aku tahu ia tak  benar-benar mencintai ayah. Ia hanya mengincar hartanya—termasuk rumah di mana aku terusir dan harus mengungsi ke rumah kakak. Entah sampai kapan. Mungkin aku akan meninggalkan rumah kakakku ketika kamu datang membawa mahar dan membawaku ke kampungmu yang jauh.

Dahaga yang ingin tunai

Di kampungmu, seperti sering kau ceritakan di telepon atau di chat—berhawa dingin. Aku tak tahu apa bisa bertahan di sana atau tidak. Aku alergi dingin.

Namun, kamu berjanji akan menyelimutiku dengan dua tanganmu—mendekapku di pelukmu hingga gigil tak berani menyentuh tubuhku. Aku percaya saja, meski aku tahu—tak ada pasangan yang benar-benar bisa bersama selama 24 jam dalam sehari. Tak ada.

Namun, aku juga tahu di kampungmu, aku bisa menuntaskan dan menunaikan segala dahagaku perihal buku. Kamu juga menyukai buku dan sedang merintis perpustakaan alam. Para pembaca tak salah baca pembaca, perpustakaan alam—di alam terbuka di atas sebuah bukit. Itu keren, bukan?.

KLIK INI:  6 Gaya Hidup yang Mesti Diubah untuk Membantu Atasi Krisis Iklim

Entahlah apa motivasimu, padahal aku yakin kamu juga tahu, sangat tahu jika buku tak begitu menarik sekarang ini. Sejak kelahiran gawai, gawai lebih menggoda untuk dilototi. Itu pula yang membuat aku dan Binar—ponakanku itu yang baru kelas empat Sekolah Dasar membuat kami acap bertengkar—memperebutkan satu gawai yang kubeli dari hasil panen jagung dua tahun lalu.

Dan tahun ini, seperti yang kuceritakan di atas. Aku berniat memberikannya kepada Binar setelah membeli gawai baru selepas panen.

Namun, mimpi itu terseret banjir, dan aku tak bisa membendung air mataku. Bukan lagi menggerimis, tapi telah menderas mengingat perjuanganku menggarap ladang bersama kakak untuk ditanami jagung.

Karena ngotot ikut bekerja, kesehatanku jatuh pada titik terendah dan membuatku harus berurusan dengan klinik, dua kali seminggu dan harus pula mengonsumsi obat. Padahal aku paling benci meminum obat. Rasa pahitnya mengingatkanku pada perlakuan ayah, kehilangan ibu dan juga nenek.

 Karena ayah

“Ini kedua kalinya aku gagal panen,” kataku dengan isak yang lebih cepat dari hujan yang menerpa atap rumah panggung kami.

“Selalu ada pintu lain yang terbuka,” katamu. Aku tahu itu seperti basa-basi, tapi aku suka. Itu penyemangatku yang terasa manja, menarik-narik semangatku agar kembali berkumpul dan memenuhi segala pikiran dan hatiku.

Ketika tangisku sedang ingin pecah, Binar masuk kamar—ia meminta gawai karena harus mengecek soal ulangan dari gurunya. Aku hendak membentaknya, tapi kuurung. Kusudahi obrolan denganmu tanpa ucapan salam.

Aku hanya ingin melanjutkan menangis.

KLIK INI:  Dari Pohon Enau Itu

Gagal panen jauh lebih menyakitkan daripada gagal cinta, ini serius. Aku telah membanting segala tenaga yang kupunya namun hasilnya nihil. Aku rugi tenaga dan uang—benar-benar miris yang menggerimis.

Aku tak tahu harus marah pada siapa, aku ingin marah pada hujan yang membawa banjir lalu merampas dengan beringas jagung yang baru hampir berbuah itu—tapi itu sia-sia. Aku sadari.

Kampungku yang panas kering ini, entah bagaimana jika hujan akan kedatangan banjir. Dan saat matahari bersinar akan terasa memanggang panasnya. Kipas angin hingga lupa cara berhenti berputar.

Apakah aku harus menyalahkan perubahan iklim atau pembalakan hutan yang merampas pohon—tempat air terserap dan tersimpan? Aku benar-benar tak tahu.

Namun, sejujurnya aku menanam harapan sangat kuat pada pertemuan COP26 tahun ini. Pertemuan yang akan membawa panen jagung lebih melimpah. Karena perubahan iklim akan diatasi oleh para pihak. Meski, rasa pesimis juga kerap melimpah.

Pertemuan itu rasanya terlalu terlalu politis, hingga pada akhirnya aku tak begitu menaruh harapan akan benar-benar tercapai.

Fakta memang berbicara banyak. Pohon-pohon tetap saja ditebangi, pertambangan tetap saja dibuka, pembangkit tenaga fosil tetap saja dibangun.

Dan hasil dari tingkah manusia itu, adalah banjir yang menyapu bersih ladang jagungku.

KLIK INI:  Perlu Waspada, Bakteri Mematikan Semakin Menyebar karena Perubahan Iklim

Aku selalu ingat, di kebun yang kami tanami jagung. Dulu terdapat dua sumur. Di sumur itu—sebelum PDAM masuk rumah. Menjadi tumpuan semua orang, sebagai tempat mencuci, mandi hingga bergosip ria.

Lalu, komoditi jagung datang menawarkan keuntungan ekonomi melimpah. Ayah lalu menebangi bambu, dan tiga pohon beringin yang dikeramatkan.

Larangan warga tak dihirau ayah, ia tetapi menebangi tiga pohon beringin itu. Sejak beringin itu tumbang, ibu mulai sakit-sakitan. Dan sejak ibu sakit-sakitan, ayah mencari gantinya—ia menikahi mantan kekasihnya yang dua kali menjanda—perempuan yang membuat lidahku terasa gatal jika harus menyebutnya ibu.

Sejak ayah menikah kedua kalinya. Sering kudapati ibu mengasah tajam pisau lipatnya, acap ia bergumam akan membunuh ayah dengan pisau lipat itu.

Mitos beredar, penjaga beringin itulah yang merampas kesehatan ibu dan membuat ayah berpaling darinya. Bukan hanya kesehatan ibu yang dirampas, tapi juga hidupnya dengan membawanya ke ruang jauh yang tak kasat mata.

Dan  bukan hanya ibu yang dirampas pohon beringin dan rumpun bambu itu, tetapi juga air di sumur yang jadi tumpuan orang banyak ikut terampas.

Kampung yang dulu dilimpahi air mulai kesulitan. Peluang itu dilihat dengan licik pemerintah—mereka memasukkan PDAM—memang cukup membantu, tapi juga menguras isi kantong.

KLIK INI:  Mengenal Agrivoltaik dan Keuntungan Melimpah bagi Petani

Sekarang ini, aku jadi merasa jadi malu ketika ingat, betapa girangnya aku saat ayah menebangi pohon beringin dan rumpun bambu itu. Aku bebas berlarian di kebun yang terasa lapang—tanpa takut pada penunggu pohon beringin—yang belakangan aku tahu, cukup ampuh menyimpan dan menyerap air agar tak banjir. Pengetahuan yang datang terlambat.

Jadi, jika ada yang ingin kusalahkan pada gagal panen yang kedua ini, tentu adalah ayahku—yang merampas pohon penjaga air dan banjir.

Pertengkaran panjang

Dan sepertinya aku kembali akan gagal mengganti gawai dan pertengkaranku dengan Binar akan semakin panjang. Sementara ibunya setiap kami bertengkar kadang hanya ngakak saja. Seolah itu tak masalah bagiku dan jadi hiburannya di tengah kekalutannya.

Dua hari ini, semangatku kembali terjun bebas, setiap aku mengingat ladang jagungku yang gagal itu. Aku pun akan selalu teringat perlakuan ayah, kehilangan ibu yang terlalu lekas dan juga kepergian nenek yang memaksaku memasuki fase kemandirian dengan kesendirian yang sepi.

Dua hari ini aku tak mengabarimu. Aku tak ingin terdengar rapuh—aku haruslah tangguh. Perempuan adalah akar pohon, ia mampu menahan erosi dan menyerap segala kesedihan seorang diri.

Akan kutampung semua sedihku, semua gundahku. Biar menumpuk gunung lalu pecah membanjir ketika bertemu kamu. Aku ingin menangis di pelukanmu. Membasahi dadamu dengan air mata.

Tapi aku tak tahu, kapan akan berjumpa denganmu. Musim hujan yang panjang sepertinya akan menghalangi perjumpaan kati secepatnya.

Belum lagi aturan perjalanan yang ribet. Aku belum vaksin

KLIK INI:  Batas Antara Manusia dan Binatang

Hujan sedang turun. Aku membayangkanmu  sedang berada di perpustakaan alam yang kamu rintis. Memandang hujan dan menulis cerita untukku—yang kelak akan kamu bacakan ketika aku berkunjung ke kampungmu sebagai separuh dari napasmu.

Iya, separuh sebab aku telah menukar separuh napasku dengan napasmu. Aku kini bernapas separuh napasmu dan kau bernapas separuh napasku.

Hujan semakin menderas, aku tak lagi peduli apakah akan turun sepanjang minggu ini atau tidak. Satu-satunya yang kukhawatirkan dulu ketika hujan adalah akan banjir. Dan  banjir akan melahap ladang jagungku. Tapi, hujan beberapa hari lalu telah melenyapkan kekhawatiran itu.

Hujan telah telah melahap ladang jagungku dengan cara yang kejam—merampasnya dariku tanpa sisa.

Jadi, tak ada gunanya lagi bersedih, kesedihan juga telah terampas dari segalaku—yang tak terampas hanya kamu.

Saat ini aku sedang berpikir ke kampungmu. Di ranselku telah kusiapkan segala hal yang kubutuhkan, selimut, pembalut, minyak kayu putih hingga pisau lipat yang sering diasah tajam oleh ibu untuk membunuh ayah.

Tandabaca, 13 Des 2021

KLIK INI:  5 Puisi Chairil Anwar Bermetafora Alam yang Akan Terus Hidup Seribu Tahun