Bhutan, Negara Pertama yang Dinyatakan Bebas Emisi Karbon di Dunia

oleh -660 kali dilihat
Bhutan, Negara Pertama yang Dinyatakan Bebas Emisi Karbon di Dunia
Bhutan yang masih hijau alami menjagi negara pertama yang negatif karbon - Foto/Pixabay

Klikhijau.com – Bhutan, sebuah negara kecil yang mungkin tak familiar di telinga. Namun, berkat capaiannya dalam isu iklim, negara ini jadi buah bibir, kini.

Bhutan terletak di Asia Selatan, persisnya di timur pengunungan Himalaya. Negara yang beribukota di Timphu ini dinyatakan sebagai satu-satunya negara yang bebas emisi karbon.

Luas negara ini hanya sekira 38.395 km per segi dengan penduduknya yang diperkirakan 800.000 jiwa. Atau setidaknya hanya setara dengan jumlah penduduk satu kabupaten di Indonesia.

Bhutan yang berbentuk monarki ini adalah negara mungil yang diapit India dan China. Turis pun dibatasi untuk berkunjung ke negara tersebut. Bhutan jadi fenomenal karena menjadi satu-satunya negara yang mencapai negatif karbon.

Daratan Bhutan masih alami dan relatif banyak tertutupi hutan rimbun. Bahkan sekira 72% dari wilayah Bhutan adalah hutan alamiah yang mampu menyerap karbon secara cepat. Inilah faktor pendukung utama sehingga negara ini memiliki lingkungan yang negatif karbon.

KLIK INI:  Gadis Berdarah Batak Ini Terbiasa Bawa Tumbler ke Mana-mana, Begini Alasannya

Menariknya, mayoritas warganya berprofesi sebagai pengelola hutan dan bertani. Tak heran, emisi yang dihasilkan pun kurang dari 2,5 juta ton CO2 per tahun.

Apakah semua negara kecil berpotensi negatif karbon? Tidak juga! Faktanya, Luksemberg adalah negara yang ukurannya sama, bahkan dengan jumlah populasi lebih sedikit, namun emisinya empat kali lipat.

Meski bertetangga dengan negara raksasa dunia di Asia yakni India dan China, Bhutan justru tak tertarik untuk mengejar perekonomian. Negara ini justru memperkuat pembangunan pada dimensi budaya, manusia dan lingkungan—ketiga isu ini jadi isu fundamental dalam agenda bernegaranya.

Matt Finch, analisis dari Lembaga Energi dan Intelektual Iklim Inggris, mengatakan pada CNN, “Bhutan kemungkinan mengatakan, ‘kami ingin lebih terhubung dengan negara tetangga, ingin industrialisasi dilakukan, kami juga menginginkan kemajuan ekonomi’ namun mereka ternyata tidak melakukannya. Kepemimpinan adalah soal menentukan apa yang dilakukan dan lalu melakukannya. Pemimpin negara ini justru berkomitmen agar negaranya untuk tetap dalam kondisi negatif karbon. Dan mereka fokus dengan itu.”

KLIK INI:  Kolaborasi Aksi Hijau Wujudkan Kota Makassar Tangguh Iklim
Komitmen pembangunan berkelanjutan

Ukuran sukses bagi pemerintahan Bhutan adalah kebahagiaan, bukan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Sejak 46 tahun lalu, Bhutan mengembangkan sistem indeks sendiri yang disebut Gross National Happiness atau PDB/GNP versi mereka.

GNP versi negara mungil ini lebih fokus pada perlindungan alam, pengembangan yang berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pemerintahan yang bersih.

Vijay Moktan, Direktur Konservasi World Wildlife Fund di Bhutan mengungkapkan, “Lebih mudah (untuk menerapkan sistem itu) dibanding India dan China, karena warga kami rata-rata hanya 20 orang per kilometer persegi. Kami juga memiliki komitmen politik. Pada dekade 2000-an, ada kebijakan awal untuk pembangunan hutan. Saat itu permintaan terhadap kayu demikian besar. Jadi, ketika Bhutan menjadi lebih demokratis pada 2008, kebijakan mandatori 60% wilayah hutan, dimasukkan ke dalam konstitusi negara. Kini kami punya wilayah yang 70% adalah kawasan hutan.”

Bayangkan saja, pada 1999 misalnya, negara ini sudah melarang ekspor log kayu. Di kawasan hutannya, dibuat regulasi pelarangan yang ketat untuk penambangan, polusi dan perburuan.

Semua perlindungan  itu dilakukan dalam upaya biologis, sehingga satwa dapat berpindah antar kawasan hutan secara bebas tanpa interaksi manusia.

Bahkan Juergen Nagler, pejabat program pembangunan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menyebutkan, Bhutan adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki konstitusi negara untuk melindungi hutannya.

Bhutan adalah potret sebuah negara yang berpikir tentang keseimbangan alam dan menempatkan dimensi kebahagiaan sebagai visi berbangsanya. Sudah sepatutnya negara-negara di dunia berkiblat pada negara kecil ini, terlebih di tengah massifnya bencana dan serangan pandemi—sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang kurang optimal.

KLIK INI:  Meredam Emisi Transportasi dengan Makanan Lokal