Berbagi Pengalaman Menulis di Bacarita Yakobi

oleh -290 kali dilihat
Berbagi Pengalaman Menulis di Bacarita Yakobi
Ilustrasi menulis - Foto/Pixabay
drg. Rustan Ambo Asse Sp. Pros

Klikhijau.com – Menulis adalah sebuah pergulatan dan pengalaman panjang untuk belajar dan terus belajar.

Begitu pesan kunci saya saat diminta membahas tentang pengalaman menulis di sebuah diskusi daring di Bacarita Yakobi beberapa hari lalu.

Ingatan saya kembali terseret pada suatu momentum sekitar tahun 2004 ketika saya masih sebagai mahasiswa profesi dokter gigi ( coass) FKG Unhas di Makassar.

Tahun yang begitu berkesan karena sebagai mahasiswa kedokteran gigi saya lebih senang membaca buku-buku sastra dibanding membuka buku tentang kedokteran gigi mata kuliah saya sendiri.

KLIK INI:  Bagaimana Menulis dan Mengirim Tulisan di KLIKHIJAU?
Cerita dari Biblioholic

Namanya Biblioholic. Tempat saya meminjam buku saat itu. Sebuah perpustakaan di rumah kecil bertingkat di pintu satu Unhas. Setiap pagi, seorang laki-laki berpostur kecil membaca buku dengan kaki berselonjor.

Buku-buku disusun secara berserakan di sampingnya dan sebagian yang lain ada di lantai dua tempat saya lebih percaya diri memilih bacaan yang saya inginkan karena bisa berlama-lama.

Belakangan kemudian baru saya ketahui bahwa laki-laki yang memiliki perpustakaan kecil itu adalah Aan Mansyur.

Saya tidak tahu lagi kapan persisnya. Usai dari perpustakaan kecil itu kemudian berubah menjadi sebuah perpustakaan yang dinamakan Biblioholic, juga di pintu satu Unhas tepatnya di depan gedung marcedes Benz, di samping warung makan Hj.Anni kalau sekarang.

KLIK INI:  Kedai Bujang Makassar, Kafe dengan Nuansa Alam yang Instagramable

Di Biblioholic, Aan Mansyur tidak sekadar menyediakan bacaan buku-buku bagus, tapi juga ada diskusi tentang film.

Aan Mansyur yang kerap kali saya ketemu dalam diam saat itu kini telah menerbitkan buku-buku seperti Kukila, Perempuan Rumah Kenangan, Melihat Api Bekerja hingga menyerap makna sebuah puisi keren ciptaanya dalam film Ada Apa dengan Cinta 2: Tidak ada New York Hari ini.

Itulah perpustakaan kenangan dalam hidup saya. Setiap saat ketika saya penat dan gelisah dengan aktivitas rutin kemahasiswaan baik di kampus maupun sebagai coass di Poliklinik, saya lebih memilih terpekur di sana. Membaca buku dan memilih buku-buku untuk saya pinjam dan saya baca kapanpun dan dimana saja.

Interaksi saya dengan perpustakaan itu mengantarkan saya untuk ketemu dengan banyak buku seperti: Pergolakan pemikiran Islam, Catatan Seorang Demonstran , Woman At zero-zero , Tetralogi Laskar Pelangi, orange Girls  dan lain sebagainya

KLIK INI:  Demi Kesehatan dan Lingkungan, Terapkan Gaya Hidup Ini

Ketika saya membaca buku-buku Hernowo : Quantum Reading, Quantum Writing dan Mengikat Makna, saya semakin termotivasi dan percaya diri bahwa menulis adalah sebuah potensi fitrawi. Semua orang bisa menulis. Dalam diri setiap orang telah diciptakan secara potensial kecerdasan linguistik. Potensi dapat teraktualkan kapan saja.

Percayalah, setiap orang dapat menulis!

Setiap orang dapat menulis sesuatu, mengikatnya menjadi sesuatu yang bermakna berupa tulisan. Tulisan dapat menjadi sesuatu yang bergizi untuk dibaca.

Sebaliknya, membaca akan memberikan nutrizi sehat bagi jiwa. Ketika seseorang membaca banyak buku-buku sebagai sumber cakrawala pengetahuan pada suatu titik tertentu, keinginan untuk menulis sesuatu akan muncul.

Iitulah yang disebut Quantum writing. Sebuah momentum dorongan yang kuat untuk mengambil pena dan menulis, membuka laptop, atau membuka gadget smartphone untuk menulis sesuatu.

KLIK INI:  Berbagi Kisah Sebagai Dokter di Pulau Terpencil di “Bacarita Yakobi”

Sekalipun  menulis adalah sebuah proses tersendiri dalam diri setiap orang. Aktivitas membaca buku adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dengan membaca banyak buku-buku seseorang selain menyerap makna yang terkandung dalam buku tersebut, juga secara tidak langsung dapat belajar dari gaya penulisan dari buku tersebut.

Oleh karena itu proses membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Buku adalah pintu ilmu pengetahuan yang membuka cakrawala berfikir. Sementara tulisan adalah sebuah proses mengikat makna, suatu aktivitas mengabadikan sesuatu yang dipikirkan, diniatkan dan ditulis  dengan tujuan tertentu.

Mengikat Makna adalah suatu proses yang penting. Caranya adalah menulisnya. Dengan cara itu segala sesuatu yang kita ketahui tidak hilang dalam sejarah. Entah itu berupa hal yang bersifat science, teknologi, sejarah, sastra,politik,ekonomi, wisata,kuliner,pengalaman hidup, kegagalan hidup dan lain sebagaianya.

KLIK INI:  11 Aplikasi yang Mengubah Cara Membuang Sampah Lebih Kekinian

Semua hal yang ditulis tersebut adalah upaya mengikat makna.Sebuah upaya untuk mengabadikan setiap kata, kejadian dan sejarah yang akan diaambut oleh para pembaca yang laian atau generasi selanjutnya. Bukankah orang-orang terdahulu telah mewariskan hal yang sama untuk generasi sekarang?

Perjumpaan dengan buku buku

Suatu waktu saya menemukan sebuah buku yang tidak mau berhenti ketika saya membacanya. Sejak dari halaman pertama dan terakhir. Judulnya “Aku,Buku dan Sepotong Sajak Cinta” oleh Muhaidin M.Dahkan.

Buku ini mengisahkan diri penulisnya yang pencinta buku, bahkan untuk membeli sebuah buku dia rela untuk tidak makan sehari.

Dia adalah sosok pecandu buku. Buku baginya adalah hal yang lebih penting dibanding yang lain. Dengan membaca buku dia akan mendapatkan nutrisi jiwa sebagai modal mereproduksi gagasan dan tindakan.

Pada titik yang paling jauh buku adalah sebuah jalan spritual baginya. Sebuah jalan baginya untuk menyempurna sebagai manusia, jalan yang dia pilih berjuang dan melakukan sesuatu.

KLIK INI:  5 Game Ini Bisa Tumbuhkan Kepedulian Terhadap Lingkungan

Anak muda ini punya ambisi agar tulisan opininya dapat terbit di Kompas. Koran prestisius, koran yang untuk menaikkan satu opini harus mendapat persetujuan empat orang redaktur opini sekaligus. Tiga orang setuju dan satu orang tidak berkenan maka tulisan tersebut tidak akan terbit.

Cita-citanya agar tulisan terbit di Kompas membuahkan hasil setelah berjuang mati-matian. Berkecimpung dengan membaca banyak sekali buku, perasaan kecewa yang kerap diterima ketika tulisanya dianggap sebelah mata.

Pada sisi yang lain, Gus Muh sebagai manusia biasa adalah jiwa yang mecintai. Dia juga membutuhkan jalan lain untuk mengagumi seorang perempuan. Tempat dia menggantungkan harapan dan keindahan .

KLIK INI:  Bagaimana Menjadikan Musim Hujan sebagai Inspirasi dalam Menulis?

Sepotong sajak cinta adalah narasi yang menegaskan, tentang hati yang merindukan seorang gadis. Tempat segala kegelisahan dan pemberontakkanya berhenti, mencari titik keseimbangan.

Buku ini memberikan energi besar buat saya ketika itu -setidaknya tidak terlalu terlambat untuk memulai menulis sesuatu.

Sejak kecil ketika masih SD saya hanya dibekali dengan membaca buku-buku cerita di perpustakaan sekolah. Tentang hikayat lima sekawan dan buku yang lain serupa dengan itu.

Seringkali bertumpuk-tumpuk buku itu saya pinjam dan membawanya pulang ke rumah.

Satu-satunya pengalaman menulis, adalah lomba mengarang yang kerap diadakan pada tingkat SD, pernah juara dan sudah lupa berapa kali saya mengikuti perlombaan tersebut.

KLIK INI:  Gelar Writing Camp, Klikhijau Ajak Peserta Menulis di Alam Raya
Pengalaman menulis di media

Ketika tahun 1999, pengalaman magang seminggu di Identitas, penerbitan Koran kampus Unhas membuat saya sedikit punya bekal tentang ilmu Jurnalistik.

Namun celaka, lepas dari magang tersebut saya membuat tulisan dengan nama samaran. Isi tulisan tersebut adalah mengkritik teman-teman saya dan diri saya sendiri tentang fenomena praktikum Laboratorium Dental. Dan hasilnya hanya menimbulkan situasi yang heboh bagi teman-teman saya sendiri.

Pada Tahun 2001, saya dan tiga orang teman menulis kritik tentang infrastruktur pendidikan di Fakultas . Dan hasilnya kami harus berhadapan dengan birokrasi kampus. Tulisan dan kejadian itu hingga kini tetap abadi dalam benak saya, sejarah itu saya pahami sebagai militansi yang tak mudah dilakukan.

Setelah itu beberapa tulisan yang  saya kirim ke Identitas memberikan energi baru, seperti artikel dalam kolom cermin “Cinta”, sebuah ulasan tentang The Art Of Loving. Cerpen “Aku Ingin Sekolah” dan beberapa tulisan yang judulnya sudah terlupakan.

KLIK INI:  Masker Langka dan Mahal, Apakah Harus Selalu Pakai Masker?

Tulisan pertama yang saya ajukan ke media cetak Tribun Timur saat itu adalah ” Dekonstruksi Visi dan Misi PDGI”. Saya menulisnya bertepatan dengan Kongres PDGI di Makassar. Tujuan saya adalah sebuah kritik sosial untuk PDGI.

Tulisan yang tak pernah digubris, tak ada jawaban ketika dikonfirmasi. Hingga pada suatu ketika saya bertemu dengan seorang wartawan fotografer tribun timur.

“Bos …kalau memasukkan tulisan di koran itu, ibarat membuang tulisan di tempat sampah. Perihal dimuat atau tidak itu soal lain”

Tulisan itu akhirnya menguap. Beberapa bulan setelah itu naskahnya hanya bertengger di folder sebuah komputer di ruang BEM FKG Unhas.

Hingga pada suatu ketika PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) mengadakan Lomba Karya Tulis Ilmiah, naskah itu saya kirim. Dan saat  menerima informasi bahwa tulisan itu menang sebagai juara 2 kategori umum saya semakin meyakini bahwa setiap tulisan memiliki takdirnya masing-masing. Tulisan adalah sebuah gagasan yang suatu saat akan dinilai,dipuji dan dikritik bahkan dicaci oleh pembacanya.

Hikmah juara dua berkat tulisan itu. Dengan Hadiah satu juta rupiah membuat saya sebagai mahasiswa coass kembali bernafas dengan pemakaian hadiah tersebut sebagai biaya coass di bagian Pedodonsia ( Departemen Kedokteran Gigi Anak) yang cukup banyak itu.

KLIK INI:  Tips Produktif Menulis di Tengah Kesibukan dan Saat Lebih Banyak di Rumah
Menulis, sebuah jalan sunyi

Menulis adalah  suatu proses yang tersembunyi dalam diri setiap orang. Menulis merupakan suatu jalan yang kerap sunyi dan terasing.

Pada situasi tertentu seorang penulis akan menjadi sendirian menghadapi sesuatu yang harus dilawan. Kata-kata dalam sebuah tulisan dapat “memotong leher” banyak orang, lebih tajam dari sebilah pedang.

Sebuah tulisan akan menjalani takdirnya masing-masing. sebuah tulisan boleh jadi akan dipuji di luar sana, dianggap sebagai wakil kata-kata banyak orang. Pada situasi yang lain tulisan itu boleh jadi dianggap sebagai sampah, dicaci dan diasingkan.

Tapi bagi seorang penulis. Kata-kata dalam tulisan tidak akan pernah mati.Setiap tulisan memiliki nyawa. Dia juga bisa membuat pembacanya tersanjung, gembira dan merasa hidup. Tapi sekaligus bisa membunuh diwaktu yang sama.

Baca juga tips menulis DI SINI!

KLIK INI:  Plogging, Olahraga Eco-Friendly untuk Sehatkan Tubuh dan Bumi