7 Masalah Krusial bagi Perlindungan Lingkungan Hidup pada UU Cipta Kerja Versi WALHI

oleh -947 kali dilihat
7 Masalah Krusial Bagi Perlindungan Lingkungan Hidup pada UU Cipta Kerja Versi WALHI
Ilustrasi, foto: pixabay.com

Klikhijau.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menemukan adanya sejumlah masalah krusial dalam UU Cipta kerja yang terkait dengan lingkungan hidup. Hal itu disampaikan WALHI pada siaran persnya, Kamis 9 Oktober 2020.

Bagi WALHI, ada hal yang tidak disampaikan secara utuh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai konsekuensi dari disahkannya RUU Cipta kerja/Omnibus Law CILAKA bagi perlindungan dan  pengelolaan Lingkungan hidup.

Tidak saja dari aspek kebijakan, hukum lingkungan, tetapi juga pada kecenderungan dari fakta-fakta tata kelola lingkungan hidup yang jamak dihadapi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berikut 7 catatan kritis WALHI mengenai UU Cipta Kerja pada beberapa isu penting.

KLIK INI:  Viral dan Jadi Sorotan, Air Terjun Menawan Ini Lenyap dan Tinggal Kenangan
Terkait AMDAL dan peran masyarakat

UU Cipta Kerja mengubah lingkup masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam penyusunan Amdal dari: a) masyarakat yang terkena dampak; b) pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, menjadi hanya masyarakat yang terdampak langsung.

(Pasal 24) Hilangnya Komisi Penilai Amdal, digantikan oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat Terdapat 3 implikasi yang perlu digarisbawahi:

Pertama, proyek yang berdampak pada lingkungan hidup terjadi di daerah, maka beban kerja pemerintah pusat akan jauh melampaui kemampuan dan laju kerusakan lingkungan hidup.

Kedua, berpotensi menjauhkan akses informasi baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah (terutama di daerah yang sulit terjangkau dan/atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi) dalam menyusun Amdal.

KLIK INI:  Iyakah, Kupu-kupu Asing Bertengger di Gerbang Bantimurung?

Ketiga, tidak adanya unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan yang sebelumnya ada dalam Komisi Penilai Amdal menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki berpeluang membuka partisipasi semu yang manipulatif.

Mengubah pasal 39 pada UU 32 Tahun 2009 mengenai pengumuman informasi lingkungan hidup dengan cara yang mudah diketahui masyarakat dengan mereduksi dan mempersempitnya menjadi pengumuman elektronik.

Dampak akan hal ini tentu berpotensi menghilangkan hak informasi masyarakat di kampung, pesisir-pulau kecil dan lainnya yang berada di Kawasan sulit dijangkau teknologi informasi.

Terkait gugatan lingkungan

Penghapusan ketentuan pasal 38 pada UU 32 Tahun 2009 mengenai izin lingkungan hidup yang dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan dapat menghilangkan akses masyarakat terhadap keadilan.

Termasuk akses terhadap proses peradilan yang dijamin oleh prinsip ke-10 deklarasi Rio 1992 tentang lingkungan hidup dan manusia.

KLIK INI:  WALHI Desak Usut Tuntas Kasus Penembakan Warga Segar Wangi Kabupaten Ketapang

Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 77 ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia mengancam independensi penyidik.

Terkait risk based approach yang hanya di pemerintah pusat

Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota diatur kembali. Namun kewenangan dalam penerbitan persetujuan lingkungan tidak didelegasikan.

Perlu dicatat Pasal 63 ayat (1) huruf y tidak menggunakan frasa “persetujuan lingkungan” melainkan “persetujuan pemerintah”. (Terkait kewenangan pemerintah pusat dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup dijelaskan dalam pasal 63 RUU Cipta Kerja).

Terkait pengaturan Sanksi

Strick Liability atau tanggung jawab mutlak korporasi yang cukup dibuktikan dengan kausalitas kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan tergugat tanpa harus pembuktian unsur kesalahan dihapus sehingga dapat mempersulit gugatan lingkungan dan menguntungkan korporasi, ini akibat dari diredusirnya pasal 88 dalam UUPPLH.

Penghilangan ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ merancukan pemaknaan penormaan konsep ‘strict liability’ pada pasal ini. Sehingga penjelasan pasal perlu memasukan karakteristik dari konsep strict liability seperti unsur-unsur yang perlu dibuktikan dalam gugatan penggugat atau pengecualian konsep.

KLIK INI:  Pemda dapat Berkontribusi Besar dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Penambahan pasal baru 82 A dan B tentang setiap orang atau pihak yang melakukan kegiatan tanpa perizinan berusaha hanya dikenai sanksi administratif. Begitu juga bagi orang atau pihak yang memiliki perizinan berusaha namun melanggar dan tidak sesuai dengan kewajiban termasuk pelanggaran pencemaran dalam perizinan berusaha juga hanya dikenai sanksi administratif.

Terkait kawasan hutan

Ketentuan mempertahankan minimal 30% kawasan hutan berdasarkan daerah aliran sungai dan/atau pulau dihapus. Pemerintah berwenang menentukan luas kawasan hutan yang dipertahankan tanpa ada batasan minimal melalui PP, termasuk untuk wilayah yang terdapat proyek strategis nasional.

Pada saat pembahasan 23 September 2020 terdapat fraksifraksi yang menolak rumusan dan meminta minimal 30% kawasan hutan tetap dipertahankan.

Menurut pemerintah angka 30% ini tidak lagi relevan karena kondisi setiap daerah yang berbeda dan dukungan sains untuk pengelolaan hutan serta sumber daya air.

Sedangkan DPR melalui berbagai fraksi menyatakan 30% harus tetap dipertahankan sebagai keberpihakan dalam menjaga kawasan hutan. Namun, rumusan akhir tetap tidak berubah.

KLIK INI:  Perokok Jadi Salah Satu Penyumbang Sampah Terbanyak di Bumi
Potensi kriminalisasi masyarakat

Menghapus ayat (2) dalam Pasal 69 pada UU 32 Tahun 2009 tentang kearifan lokal dalam menerapkan pelarangan pembukaan lahan dengan cara bakar.

Penghapusan pengecualian larangan membakar ini berpotensi mengkriminalisasikan masyarakat peladang tradisional, karena Pasal 108 UU 32/2009 masih berlaku.

Selain itu berpotensi memindahkan beban pertanggungjawaban hukum dari korporasi pembakar hutan dan menuduhkannya kepada peladang tradisional.

Catatan perkebunan

Catatan utama dalam sektor perkebunan adalah pengaturan lebih lanjut kewajiban memiliki Amdal, analisis risiko, dan sarana prasarana penanggulangan karhutla dalam PP.

KLIK INI:  Patut Dipelihara, Kucing Ini Mengancam Pemiliknya Jadi Kaya

Di satu sisi kekuatan PP tentu lebih lemah dari UU karena tidak dapat memberikan sanksi pidana apabila kewajiban yang diatur tidak dipenuhi. Di sisi lain, penilaian atas perubahan tersebut juga tidak dapat dilakukan sekarang karena masih harus menunggu PP tersebut terbit.

Catatan lainnya adalah mengenai pengembalian beberapa pasal yang dalam RUU CK Draft Februari dihapus, namun akhirnya dikembalikan lagi dalam UU Cipta Kerja, seperti larangan pemindahan hak atas tanah, kewajiban mengusahakan lahan dalam jangka waktu tertentu setelah mendapatkan izin, dan pengaturan mengenai fasilitasi kebun masyarakat (plasma) 20%.

Meskipun ketentuan Pasal 15 ini telah dikembalikan dalam UU Cipta Kerja, patut diperhatikan adanya klausula “perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan atau inti plasma”.

Lantas bagaimana dengan perusahaan yang tidak melakukan kemitraan? Apakah tetap dapat memindahkan hak atas tanahnya? Apabila mengacu pada asas hukum administrasi negara, tentunya hal tersebut tidak diperkenankan.

Namun, belum adanya peraturan turunan yang mengatur lebih rinci serta adanya penambahan klausula ini patut menjadi catatan tersendiri.

KLIK INI:  Kini Satwa Mulai Gantikan Manusia Kuasai Kota