- Atasi Triple Planetary Krisis, KLHK Gelar Penanam Mangrove Serentak di 24 Titik - 24/04/2024
- Babak Baru Kasus Makelar Kayu Ilegal Asal Lutim, Berkas Dilimpahkan ke Kejari Tana Toraja - 24/04/2024
- Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat di Tapanuli Utara dan Lutra - 23/04/2024
Klikhijau.com – Hasil pembakaran bahan fosil telah lama diduga memperburuk kesehatan manusia, khususnya yang berada di sekitar lokasi pembakaran.
Karena pembakaran bahan fosil menyebabkan polusi udara. Sementara polusi udara sangat buruk bagi kesehatan—bisa menyerang pernapasan.
Bukan hanya itu, sebuah studi terbaru yang diterbitkan oleh Nature Review Endocrinology telah menghubungkan penurunan tingkat kesuburan pada manusia dengan pembakaran bahan bakar fosil.
Studi tersebut menetapkan bahwa persalinan terus menurun selama 50 tahun terakhir. Meskipun studi difokuskan pada negara Denmark. Namun, kemungkinan besar banyak negara lain tampaknya mengikuti tren tersebut, termasuk Indonesia.
Studi itu mengamati bahwa satu dari setiap 10 anak di Denmark lahir dengan reproduksi berbantuan. Lebih lanjut, lebih dari 20 persen pria Denmark tidak pernah memiliki anak alias mandul. Rupanya, penurunan itu dimulai pada awal Revolusi Industri.
Niels Erik Skakkebæk, seorang profesor di Universitas Kopenhagen, Denmark , dan juga salah satu penulis studi tersebut, mengatakan bahwa tren tersebut mengancam umat manusia secara keseluruhan.
“Kita harus menyadari bahwa kita tahu terlalu sedikit tentang infertilitas pada populasi. Sehingga langkah selanjutnya adalah mencari tahu mengapa begitu banyak pasangan muda tidak memiliki anak,” kata Skakkebæk.
Namun meski begitu, penelitian tersebut masih perlu penelitian lanjutan. Hanya saja tampaknya memang polusi bahan bakar fosil dan racun lingkungan dapat berkontribusi pada berbagai masalah kesuburan.
Misalnya, terdapat 74.000 kasus tahunan kanker testis yang disaksikan setiap tahun. Dan itu berkontribusi pada tingkat kesuburan yang rendah.
Kehidupan modern dari fosil
Skakkebæk berpendapat bahwa tren seperti ini tidak dapat dijelaskan secara genetik. Karena evolusi semacam itu berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Para peneliti mendesak rekan-rekan ilmuwan mereka untuk menggali lebih dalam dan menyelidiki hubungan antara tingkat kelahiran dan polusi.
“Apa yang mengejutkan saya dalam penelitian ini adalah temuan bahwa begitu banyak kehidupan modern berasal dari bahan bakar fosil,” kata Skakkebæk.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya tidak berpikir seperti itu. “Ketika kami membeli sepasang sepatu yang terbuat dari bahan kimia yang aslinya diproduksi dari bahan bakar fosil, itu sungguh mengejutkan,” katanya.
Sementara itu, penelitian terkait bahan bakar fosil terkait hubungan antara bahan bakar fosil dan komplikasi kesehatan manusia , beberapa penelitian sedang dilakukan pada hewan untuk membuktikan kebenaran tersebut.
Fakta yang ditemukan oleh para peneliti menunjukkan bahwa tikus dan mencit mengalami perubahan genetik yang mempengaruhi kesehatan reproduksi mereka ketika terkena bahan kimia beracun.
Jika hasil penelitian itu benar adanya, dan tidak segera ditindaklanjuti penghentian penggunaan bahan bakar fosil, maka sangat mungkin nasib umat manusia akan berakhir karena tidak ada lagi kelahiran manusia baru atau bayi.
Sumber: inhabitat