- Keladi Hias dan Ibu - 05/04/2025
- Katilaopro, Pakan Andalan Anoa yang Meresahkan Petani - 02/04/2025
- Gelisah Burung-Burung - 30/03/2025
Klikhijau.com – Perubahan iklim dari waktu ke waktu semakin menunjukkan ancaman yang serius. Semisal suhu di wilayah garis lintang utara terus memanas.
Perubahan temperatur itu mengubah bentuk fisiologis dan perilaku salah satu predator invertebrata Arktik yang paling berlimpah, yakni laba-laba srigala.
Mengenai laba-laba srigala ini, Journal of Animal Ecology mempublikasikan sebuah penelitian. Penelitian itu mengungkapkan banyaknya jumlah populasi laba-laba serigala, maka siklus hidup mereka akan terganggu.
Gangguan itu akan memberikan dampak luas pada tundra. Saat Arktika memanas predator bernama latin Pardosa lapponica akan berkembang semakin besar.
Tidak hanya itu, predator ini pun akan bereproduksi lebih sering. Ia juga memiliki selera baru pada spesiesnya sendiri dengan cara menyantapnya. Ia berubah beringas jadi kanibal.
Melansir dari iflscience.com, Jumat, 8 Mei 2020, para peneliti dari Universitas Washington di St. Louis mengumpulkan laba-laba serigala di dua lokasi di Arktik Alaska, di mana ukuran tubuh secara individu bervariasi secara alami.
Spesimen yang dikumpulkan dibandingkan dengan yang telah ditempatkan dalam percobaan yang disebut mesocosm. Di mana lingkungan luar tertutup dimaksudkan untuk meniru habitat mereka tanpa semua variabel yang terkait.
Para peneliti mampu memanipulasi dan mengendalikan kondisi lingkungan untuk menentukan bagaimana kepadatan populasi yang lebih tinggi mengubah perilaku diet laba-laba.
Laba-laba serigala yang lebih besar dikaitkan dengan laba-laba remaja yang lebih sedikit, sebuah penemuan mengejutkan mengingat bahwa betina dengan ukuran tubuh yang lebih besar menghasilkan lebih banyak keturunan rata-rata.
Ketika peneliti melacak aliran nutrisi melalui jaring makanan melalui analisis isotop stabil , ditentukan bahwa situs dengan betina yang lebih besar lebih cenderung jadi kanibal dengan memakan spesies mereka sendiri.
Hewan berdarah dingin
Amanda Koltz, peneliti utama studi ini mengungkapkan meskipun kanibalisme mungkin bukan pilihan makanan terbaik untuk laba-laba ini. Namun, data lapangan dan eksperimental peneliti menunjukkan bahwa ketika ada banyak laba-laba di sekitarnya, mereka beralih ke kanibalisme lebih sering.
“Ini kemungkinan merupakan cerminan dari meningkatnya persaingan di antara laba-laba untuk sumber daya,” ujarnya.
Jenis laba-laba ini adalah ectothermic, juga dikenal sebagai hewan berdarah dingin. Artinya mereka bisa mengatur suhu tubuhnya secara eksternal sebagai respons terhadap lingkungan di sekitarnya.
Ini membuat mereka lebih cenderung menjalani perubahan fisiologis dalam menanggapi suhu panas. Menyebabkan ukuran tubuh mereka akan lebih besar dalam suhu yang lebih hangat.
“Laba-laba serigala yang secara eksperimental terpapar pada kepadatan yang lebih tinggi mengalami perubahan pola makan yang sama dengan populasi lapangan di mana betina lebih besar – dan di mana kita mengharapkan kompetisi dan kanibalisme di antara laba-laba serigala menjadi yang tertinggi,” kata Koltz.
Laba-laba serigala di lintang selatan telah terbukti menunjukkan perilaku yang sama, tetapi masih belum diketahui bagaimana perilaku itu mempengaruhi populasi alami. Satu teori adalah bahwa hal itu dapat membantu mengatur populasi liar dan, meskipun mengurangi kompetisi dalam jangka pendek, laba-laba serigala yang makan hanya pada spesies mereka sendiri cenderung memiliki rentang hidup yang lebih pendek.
Klotz juga memperingatkan apa yang terjadi di Kutub Utara tidak tetap di Kutub Utara, perubahan ukuran tubuh invertebrata yang didorong oleh perubahan iklim dapat memiliki konsekuensi ekologis yang luas, termasuk perubahan dalam kompetisi intraspesifik, pola makan dan struktur populasi
Miliaran populasi hidup dalam suhu panas
Sementara itu melansir dari BBC, 8 Mei 2020 sebuah penelitian baru menunjukkan akibat perubahan iklim lebih dari tiga miliar populasi akan hidup di tempat bersuhu udara panas ekstrim di tahun 2070 mendatang.
Meski cukup mengerikan, bukan berarti tidak ada jalan lain. Penelitian yang dilakukan Tim Lenton bersama para ilmuwan dari China, AS, dan Eropa membocorkan syaratnya, yaki emisi gas rumah kaca turun, banyak orang akan mengalami iklim dengan suhu rata-rata lebih panas dari 29 Celsius.
“Tanah memanas lebih cepat dari pada lautan sehingga tanah itu memanas lebih dari tiga derajat. Pertumbuhan populasi diproyeksikan berada di tempat-tempat yang sudah panas, sebagian besar sub-Sahara Afrika.” ungkap Lenton.
Lenton merupakan spesialis iklim dan direktur Global Systems Institute di University of Exeter itu juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim akan menggeser seluruh distribusi orang ke tempat-tempat yang lebih panas yang dengan sendirinya.
Australia utara, India, Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian Timur Tengah merupakan Wilayah-wilayah yang diproyeksikan akan terdampak suhu panas.
“Tempat itu semakin panas dan itulah mengapa kami menemukan rata-rata orang di planet ini hidup dalam kondisi 7 Celsius lebih hangat, di dunia yang 3 Celsius lebih hangat,” lanjutnya.
Dengan adanya studi tersebut tentu akan menimbulkan kekhawatiran orang-orang menengah ke bawah yang tidak dapat berlindung dari panas ekstrem.
“Bagi saya, penelitian ini bukan tentang orang kaya yang bisa masuk ke dalam gedung ber-AC. Di mana mereka bisa melindungi diri dari apa pun. Kita harus peduli dengan mereka yang tidak memiliki sarana untuk mengisolasi diri dari cuaca dan iklim di sekitar mereka,” tegas Lenton.
Lenton mengatakan pesan utama dari temuan timnya adalah bahwa membatasi perubahan iklim dapat memiliki manfaat besar. Khususnya dalam mengurangi jumlah orang yang diproyeksikan untuk jatuh di luar relung iklim yang lebih mengerikan.