Perihal Kawasan Hutan Lindung Bisa Jadi Food Estate, Begini Jawaban KLHK!

oleh -275 kali dilihat
Perihal Kawasan Hutan Lindung Bisa Jadi Food Estate, Begini Jawaban KLHK!
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Sigit Hardwinarto di Jakarta, 16 November 2020 - Foto/Ist

Klikhijau.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) yang memungkinkan sebuah kawasan hutan lindung dapat dijadikan food estate.

Permen nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate resmi ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya pada 26 Oktober 2020.

Di laman resminya, KLHK memberikan penjelasan perihal ini melalui Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto di Jakarta, 16 November 2020.

Dalam keterangan persnya disebutkan bahwa kebijakan Pemerintah memberikan pedoman regulasi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate merupakan bagian dari program strategis nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional.

KLIK INI:  Perihal Permen LHK tentang Food Estate, WALHI: Membuka Kran Deforestasi Akut!
Mekanisme pemanfaatan lahan

Lalu bagaimana mekanisme pemanfaatan lahan? Sigit Hardwinarto menegaskan, mekanisme penyediaan kawasan hutan untuk food estate mengacu pada peraturan perundangan seperti Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) (Pasal 2).

Di dalamnya ditegaskan bahwa permohonan penggunaan lahan hanya bisa diajukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota atau Kepala Badan Otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah. Jadi, regulasi ini tidak memungkinkan diajukan oleh swasta.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Sigit Hardwinarto menjelaskan bahwa pembangunan Food Estate di kawasan hutan hanya bisa dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), sebagaimana (Pasal 6 Ayat 1).

Adapun syarat khusus yang harus dipenuhi antara lain harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan.

KLIK INI:  Pentingnya Mitigasi Dampak Ekologi Kegiatan Wisata Alam

Selain syarat atau Komitmen UKL-UPL sebelum pemanfaatan lahan, kawasan HPK yang dijadikan Food Estate juga tidak boleh tersangkut dengan masalah konflik lahan sebagaimana semangat reforma agraria. Termasuk perlunya melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai ketentuan perundang-udangan pada areal yang siap tanam.

Sementara itu KHKP merupakan kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan. Penetapan KHKP dapat dilakukan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi.

Adapun kawasan Hutan Lindung (HL) yang akan dijadikan Food Estate adalah kawasan yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka, terdegradasi atau sudah tidak ada tegakan hutan. Hal ini tertera jelas pula dalam Pasal 19 ayat (2). Jadi Food Estate di kawasan hutan lindung yang sudah terdegradasi tersebut juga dinilai sebagai bagian dari upaya rehabilitasi lahan dengan kombinasi tanaman hutan.

Antara lain, kombinasi (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan yang dikenal sebagai tanam wana tani (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan perikanan atau wana mina (sylvofishery), dan kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture).

KLIK INI:  Kenapa Bisa Pelaku Pembalakan Liar Bebas Beraksi di Indonesia?

Dengan pola kombinasi tanaman hutan seperti di atas justru dianggap akan memperbaiki fungsi hutan lindung.

Sigit juga menjelaskan bahwa dalam perspektif pembangunan daerah, penyediaan Food Estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan).

Dalam sistem perencanaan land use secara teknis dikenal istilah compound land utilization type atau pengelolaan secara multiguna dalam suatu wilayah, sehingga bukan hanya monokultur, namun juga polikultur.

Dilakukan terintegrasi dan berkelanjutan

Dalam implementasi di lapangan nantinya, pembangunan Food Estate akan dilakukan secara terintegrasi yakni dengan memadukan antara tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perternakan dan perikanan termasuk kawasan lindung dalam bentuk mozaik.

KLIK INI:  Ini 4 Faktor Penyebab Besarnya Banjir Rob di Semarang

Penerapan dan pengembangan Food Estate dilakukan dengan sistem pertanian berkelanjutan dan modern dan dengan aplikasi teknologi tinggi, mulai dari penyiapan benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran dan lainnya.

Selain itu, tambahnya, juga mencakup pola kerja hutan sosial. Dengan demikian, pemanfaatan kawasan hutan lindung sebagai areal Food Estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan.

“Namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan hutan lindung yang memenuhi syarat sebagai hutan lindung yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi hutan lindungnya sudah tidak ada lagi,” ungkap Sigit.

Sigit menekankan bahwa sebelum implementasi kegiatan Food Estate diperlukan penyusunan masterplan pengelolaan KHKP. Isinya memuat rencana pengelolaan KHKP dan menyusun Detail Enginering Design (DED) dalam hal berkaitan KHKP yang berasal dari kawasan hutan lindung.

Termasuk penyusunan UKL-UPL dan Izin Lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk tetap menjaga keberlanjutan lahan pangan dengan tetap merawat kelestarian lingkungan.

Semoga saja, regulasi ini dapat sepenuhnya mendukung ketahanan pangan, bukan sebaliknya justru memperparah tingkat eksploitasi hutan.

KLIK INI:  Protes Keras Koalisi Masyarakat Sipil untuk Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng