Klikhijau.com – Sejumlah aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dan Pena Masyarakat Banten melakukan aksi di Kota Cilegon, Rabu 28 April 2021. Mereka menuntut perbaikan kualitas lingkungan khususnya masalah polusi udara.
Peserta aksi membentangkan spanduk bertuliskan “Berhenti Paksa Kami Hirup Polusi”. Seruan ini didasarkan pada temuan buruknya kualitas udara di Cilegon Banten.
Direktur Pena Masyarakat Banten, Mad Haer (Aeng) mengungkapkan aksi kami hari ini didasari oleh dua hal. Pertama, di beberapa titik di wilayah di Provinsi Banten dan Jakarta menunjukkan angka kualitas udara yang tidak baik, artinya selama di Bulan Ramadhan warga di kedua provinsi ini terpapar polusi udara.
Kedua, di bulan April ini, tepatnya pada 27 April merupakan hari jadi Kota Cilegon yang ke 21. Kota yang memiliki jargon “Akur Sedulur Adil Makmur” ini nyatanya gagal memastikan warganya akan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kota Cilegon disebut juga sebagai Kota Baja, dimana sejarahnya terdapat Industri pengolahan Baja pertama di Indonesia yaitu Krakatau Steel. Menurut Aeng, secara faktual masyarakat Banten terus terpapar polusi udara, namun pemerintah masih terus abai.
Pena Masyarakat Banten mencatat bahwa hampir puluhan, hingga ratusan Industri ekstraktif sudah terbangun di wilayah Kota Cilegon. Dimana salah satunya adalah Kota Cilegon akan menambah 2 Unit PLTU berkapasitas 2 x 1000 Megawatt (MW) di daerah Suralaya, yang saat ini sedang tahap pembangunan. Dengan kebutuhan batu bara hampir 7-10 Ton pertahunnya.
“Saat ini kami melihat Pemerintah Cilegon tidak melakukan inventarisasi emisi secara baik, ini terlihat dari alat pemantauan kualitas udara di Cilegon tidak optimal, bahkan beberapa alat seringkali terlihat tidak beroperasi,” kata Aeng dalam keterangan persnya.
“Patut diduga Pemkot menutup-nutupi kondisi nyata kualitas udara di Cilegon. Padahal keluhan masyarakat terhadap kondisi lingkungan hidup di kota ini cukup tinggi, dan kami menduga kuat pencemaran udara di Cilegon tertinggi berasal dari Pembakit Listrik Tenaga Uap (PLTU),” tambah Aeng.
Menyoal keberadaan PLTU Suralaya
Mereka mencontohkan, beberapa waktu lalu sempat terjadi semburan debu dari cerobong asap PLTU Suralaya, adanya kegagalan teknologi yang terjadi saat itu sehingga menyebabkan keluarnya flying Ash, hujan debu hasil pembakaran batu bara dari cerobong asap Unit I PLTU Suralaya, dan menyebabkan hembusan udara kencang melebihi batas ESP.
Kajian “Racun Debu di Tanah Jawara” yang dilakukan oleh Trend Asia, Pena Masyarakat, dan WALHI Jakarta (2019) menunjukan paparan pencemaran udara di Kota Cilegon sangat tinggi.
Pada tahun 2017 saja kunjungan pasien Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Bojonegara (wilayah yang berdampingan langsung dengan PLTU Suralaya) mencapai 1.274 orang. Bahkan dilaporkan pada bulan Juli 2017 sebanyak 15.039 balita kota cilegon mengalami batuk-batuk atau kesukaran bernafas, yang merupakan indikasi awal ISPA. Ancaman ini akan diperparah jika proses pembangunan PLTU baru (PLTU Jawa 9 & 10).
Sementara itu, Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta mengungkapkan bahwa keberadan PLTU di Banten menyebabkan pencemaran udara terjadi secara “laten”.
“Kita semua tidak bisa memilih untuk menghirup udara yang baik, melainkan dipaksa untuk menghirup udara buruk, dan ini adalah sebuah kejahatan ekologis,” jelas Tubagus.
Melihat karakteristik Banten yang rentan terhadap bencana, tidak seharusnya provinsi ini terdapat infrastruktur energi berbasiskan industri, terlebih lagi menggunakan energi kotor batubara (PLTU).
“Membangun PLTU bukanlah investasi, melainkan menghadirkan bencana ke tengah masyarakat, dan bahkan lebih cepat. Untuk itu proses pembangunan PLTU baru harus segera dibatalkan, jika tidak Banten akan berada pada keadaan multi krisis ekologis dan multi krisis rawan bencana,” pungkasnya.