Paradoks Pandemi, Ekologi dan Ekonomi

oleh -246 kali dilihat
Paradoks Pandemi, Ekologi dan Ekonomi
Ilustrasi Pixabay
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Di saat para saintis dunia sibuk meneliti kemungkinan hidup di planet lain. Tetiba pikiran mereka ditarik kembali ke bumi lantaran pandemi. Sebuah pesan, jangankan di planet lain, di bumi sekalipun kita belum bisa untuk memastikan kelangsungan hidup manusia aman-aman saja.

Sampai detik ini, para saintis belum menemukan obat yang betul-betul mampu untuk menyembuhkan pandemi Covid-19. Meskipun beberapa vaksin sudah mulai diuji coba pada manusia.

Para pemangku kebijakan juga dibuat kelimpungan. Apakah mendahulukan keselamatan manusia atau menyelamatkan ekonomi negara.

Ada yang memilih lockdown yaitu dengan membatasi seluruh aktivitas masyarakat di luar rumah. Seperti Cina, Amerika, Italia, Belanda, Prancis, dan lainnya. Tentu dengan pertimbangan untuk menghentikan penyebaran virus secepat mungkin meskipun dengan biaya tidak sedikit. Cina misalnya, menghabiskan dana Rp 227 Triliun dan Amerika Rp 8000 triliun.

Ada yang memilih opsi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB jika menggunakan istilah di Indonesia. Opsi ini masih memungkinkan bagi masyarakat untuk beraktivitas di luar rumah dengan protokol tertentu. Masing-masing negara memiliki aturannya masing-masing.

KLIK INI:  Harusnya Para Caleg Tahu, Ini Dampak Buruk Memaku Pohon

Indonesia misalnya masih mengizinkan kendaraan umum untuk beroperasi, begitupun dengan sektor industri strategis dan perbankan. Opsi ini merupakan jalan tengah untuk menjaga kesehatan masyarakat di sisi lain aktivitas perekonomian tetap berjalan.

Ada pula negara yang memilih untuk mengabaikan pendemi dan mengutamakan kepentingan ekonomi di atas segalanya. Brasil misalnya, yang tetap menganjurkan masyarakat untuk bekerja dan menganggap pendemi covid-19 seperti “flu biasa”. Meskipun pertanggal 11 Mei 2020 sudah terkonfirmasi 163.000 kasus dengan angka kematian 11.123 orang.

Namun setelah lima bulan berperang melawan pendemi, tren kebijakan para pemimpin dunia mulai berubah. Meskipun belum seutuhnya menang melawan pendemi, beberapa negara telah memilih untuk melonggarkan status lockdown. Sebut saja Italia, Jerman, Amerika, Belanda, dan Malaysia. Alasan utamanya adalah menajaga stabilitas ekonomi negara yang saat ini mulai terseok-seok.

Dimensi ekologi

Di lain sisi, para aktivitas lingkungan menganggap bahwa datangnya pandemi membawa berkah tersendiri bagi pemulihan lingkungan. Dengan tutupnya pabrik industri, berkurangnya operasi jutaan kendaraan, dan berkurangnya limbah perusahaan, secara otomatis mengurangi produksi polusi.

KLIK INI:  Deteksi Covid-19, Ini Bedanya Rapid Test dan Tes Swab!

Science Alert menunjukkan penurunan emisi nitrogen dioksida (umumnya berasal dari kendaraan bermotor dan asap industri) di langit Eropa melalui citra satelit. Begitu pula dari hasil penelitian lembaga CREA di Finlandia menunjukkan penurunan emisi karbon sebesar 6% dari emisi global selama periode tahun lalu.

Akhirnya, dunia tak perlu lagi menunggu hasil perjanjian iklim Paris (COP21) untuk diterapkan dalam melawan perubahan iklim. Mengingat perjanjian tersebut sampai saat ini belum berlaku karena belum mewakili 55 negara anggota UNFCCC yang mewakili 55% emisi gas rumah kaca.

Amerika di bawah kepemimpinan Trump, justru menarik diri dari perjanjian tersebut karena menganggap membahayakan ekonomi Amerika. Padahal Amerika adalah negara terbesar yang menyumbang emisi gas rumah kaca satu tingkat di bawah Cina.

Penarikan diri yang masuk akal bagi Amerika, mengingat dampak dari pejanjian tersebut adalah mengurangi aktivitas pabrik dan industri yang selama ini menyumbang emisi, (EDGAR Uni Eropa).

KLIK INI:  Hari Anak Nasional, Penting Mengajak Anak Cinta Lingkungan Sejak Dini

Isu lingkungan memang tidak kalah pentingnya dengan isu ekonomi. Mengingat data dari WHO ada 7 Juta orang di seluruh dunia meninggal per tahun akibat polusi udara.

Jadi setelah pandemi Covid-19 berlalu, apakah tren kebijakan dunia akan berubah? Beralih untuk menyelamatkan lingkungan dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi?

Tunggu dulu. Kita belum bertanya bagaimana dampak perlambatan ekonomi terhadap masyarakat miskin? Bukankah hidup orang miskin mampu membaik jika ekonomi tumbuh?

Bagaimana dengan nasib buruh jika pabrik penyumbang polusi di tutup? Berapa orang yang akan kehilangan pekerjaan? Sementara dilain sisi beberapa pekerjaan manusia telah diganti dengan mesin pintar.

Mana yang lebih penting? Kepunahan 10 spesies hewan di hutan karena pembukaan lahan atau 10 juta manusia kelaparan tak punya pekerjaan? Begitulah paradoks antara pandemi, ekologi dan ekonomi. Saya kira setelah pandemi berlalu, fokus perhatian manusia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

KLIK INI:  Studi Terbaru, Mikroplastik Bisa Persulit Penyembuhan Pasien Covid-19