Pansus Konflik Agraria: Ujian Nyata Komitmen Negara atas Keadilan Tanah

oleh -13 kali dilihat
Pansus Konflik Agraria: Ujian Nyata Komitmen Negara atas Keadilan Tanah
Iustrasi reforma agraria/foto-Akurat.co

Klikhijau.com – Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, pada awal Oktober 2025 itu terasa lebih ramai dari biasanya. Di halaman depan, sejumlah spanduk terbentang menampilkan tulisan besar menyoal tuntutan rakyat dan petani atas reforma agraria sejati.

Di antara kerumunan itu, puluhan petani dari berbagai daerah mengenakan caping dan membawa poster bergambar sawah, hutan, dan wajah-wajah yang mereka sebut “pejuang agraria”. Mereka datang dari berbagai daerah, mewakili suara yang selama puluhan tahun jarang benar-benar didengar negara. Hari itu, mereka menagih janji lama: keadilan atas tanah.

Di ruang rapat paripurna, para wakil rakyat akhirnya mengetuk palu, mengesahkan pembentukan Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria.

Keputusan ini disebut sebagai langkah politik penting setelah desakan panjang berbagai organisasi tani dan masyarakat sipil yang menuntut DPR tidak lagi menutup mata terhadap ketimpangan struktural dalam penguasaan tanah. Pembentukan pansus ini menjadi momen yang, bagi sebagian kalangan, diharapkan dapat membuka jalan menuju penyelesaian konflik agraria yang kian meluas di seluruh pelosok negeri.

Namun, di balik suasana penuh harapan itu, terselip pula nada skeptis. Bagi mereka yang telah lama menyaksikan bagaimana reforma agraria berkali-kali kandas di tengah jalan, pembentukan pansus hanyalah satu bab dari cerita panjang kegagalan negara menata kembali struktur kepemilikan tanah yang timpang. Selama lebih dari enam dekade, berbagai kebijakan telah dikeluarkan dengan jargon pembaruan, tetapi hasilnya sering kali justru menambah daftar luka rakyat di pedesaan.

KLIK INI:  Intip Kegiatan Pemuda Pancasila Ruteng NTT Menuju Cancar Kota Ganteng

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa hingga 2025, konflik agraria terus meningkat baik dari segi jumlah kasus maupun luasan lahan yang disengketakan. Ketimpangan penguasaan tanah masih berada di titik yang mencolok, dengan sekitar satu persen elit menguasai porsi lahan yang sangat luas, sementara jutaan keluarga petani menggantungkan hidup pada tanah sempit yang tidak sebanding dengan jumlah tenaga yang mereka curahkan.

Di banyak daerah, perusahaan perkebunan dan pertambangan mendapatkan konsesi puluhan ribu hektar, sedangkan masyarakat adat dan petani yang tinggal turun-temurun justru kehilangan akses terhadap ruang hidupnya.

Pansus yang baru terbentuk itu beranggotakan tiga puluh orang wakil rakyat dari delapan fraksi, dengan mandat utama mengidentifikasi sumber-sumber konflik agraria dan merumuskan rekomendasi penyelesaian yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Beberapa partai menegaskan komitmen mereka untuk menjadikan pansus ini sebagai bentuk nyata keberpihakan terhadap rakyat kecil.

Namun di luar gedung parlemen, nada optimisme itu dibingkai dengan kehati-hatian. Sejumlah pihak menyambut baik langkah DPR tetapi menekankan bahwa pansus harus bekerja dengan prinsip keberpihakan sejati, bukan sekadar formalitas politik. Mereka mengingatkan bahwa keberhasilan pansus tidak hanya diukur dari laporan yang tebal dan rekomendasi di atas kertas, melainkan dari perubahan nyata di lapangan, terutama terhadap petani yang tanahnya telah lama dirampas atau masyarakat adat yang terus berhadapan dengan aparat karena mempertahankan wilayahnya.

KPA dan berbagai organisasi agraria menegaskan pentingnya transparansi dalam proses kerja pansus. Mereka menuntut agar rapat-rapat tidak berlangsung tertutup, agar publik bisa memantau sejauh mana pansus ini sungguh-sungguh menyentuh akar persoalan. Bagi mereka, akar dari konflik agraria tidak bisa dilepaskan dari tumpang tindih kebijakan, lemahnya perlindungan hukum, serta dominasi kepentingan investasi yang selama ini dijadikan alasan untuk mengorbankan hak hidup masyarakat. Tanpa keberanian politik untuk menantang struktur ekonomi yang timpang, pansus hanya akan menjadi lembaran baru dari serial panjang kebijakan yang gagal.

KLIK INI:  Karang Taruna Karang Anyar Jakpus Gelar Gerakan Pungut Sampah di HPSN 2021

Di sisi lain, pengamat hukum agraria mengingatkan bahwa tantangan utama pansus bukan sekadar mengumpulkan data atau mendengar keluhan masyarakat, melainkan memastikan rekomendasi mereka memiliki daya ikat politik dan hukum. Selama ini, berbagai hasil panitia kerja serupa sering berakhir tanpa tindak lanjut, karena tidak diintegrasikan dalam rancangan undang-undang atau kebijakan eksekutif. DPR dan pemerintah harus membangun mekanisme yang menjamin setiap rekomendasi pansus dapat diterjemahkan ke dalam langkah konkret, seperti revisi undang-undang sektoral, penguatan lembaga pelaksana reforma agraria, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak atas tanah.

Kritik juga datang dari sejumlah kalangan yang menyoroti kecenderungan DPR menanggapi isu agraria secara reaktif. Mereka menilai pembentukan pansus kerap dijadikan ajang politik simbolik, apalagi menjelang tahun politik, tanpa kerangka kerja yang berkelanjutan. Padahal, penyelesaian konflik agraria memerlukan strategi jangka panjang yang melibatkan koordinasi lintas sektor, mulai dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga pemerintah daerah. Tanpa sinergi tersebut, setiap langkah pansus akan berakhir buntu di tengah birokrasi yang berlapis dan kepentingan ekonomi yang kuat.

Meski begitu, di tengah gelombang kritik dan keraguan, pembentukan pansus tetap menjadi momentum politik yang penting. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, DPR terlihat cukup serius mengangkat kembali isu agraria yang selama ini tenggelam oleh wacana pembangunan infrastruktur dan investasi. Seruan-seruan dari organisasi tani dan masyarakat sipil akhirnya menembus ruang parlemen, memaksa lembaga politik tertinggi itu menatap kenyataan di lapangan, bahwa ketimpangan tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Kita bisa melihat bagaimana resonansi pembentukan pansus ini menggaung hingga ke desa-desa yang jauh dari pusat kekuasaan. Bagi banyak petani, kabar itu disambut dengan doa dan sedikit harapan bahwa tanah mereka yang disita untuk proyek perkebunan atau pertambangan bisa kembali suatu hari nanti. Namun mereka juga paham, bahwa harapan tidak cukup tanpa pengawasan. Karena itu, aksi-aksi kawal pansus mulai bermunculan di berbagai daerah. Mereka mendirikan posko pengaduan, menyiapkan data kasus, dan membentuk jaringan komunikasi dengan anggota pansus untuk memastikan suara mereka tak hilang di tengah hiruk pikuk politik di Senayan.

Dalam situasi seperti ini, bola panas kini berada di tangan para legislator. Mereka dihadapkan pada tanggung jawab moral dan politik untuk membuktikan bahwa lembaga yang mereka wakili bukan sekadar ruang negosiasi kekuasaan, tetapi juga wadah untuk menegakkan keadilan bagi rakyat yang selama ini terpinggirkan. Tugas pansus tidak mudah, tetapi justru karena itu kehadirannya menjadi ujian sejati bagi integritas parlemen dan arah kebijakan agraria di negeri ini.

Jika pansus gagal, maka publik akan kembali menyaksikan babak lama yang berulang: tanah tetap dikuasai segelintir elit, petani terusir dari ladang mereka, dan konflik agraria menjadi luka sosial yang tak kunjung sembuh. Tetapi jika pansus berhasil melahirkan rekomendasi yang kuat dan dilaksanakan dengan keberanian politik, sejarah bisa mencatatnya sebagai titik balik menuju reforma agraria sejati. Jalan menuju keadilan agraria mungkin panjang dan berliku, tetapi setiap langkah yang berpihak pada rakyat adalah cahaya kecil yang menerangi kegelapan di ladang yang selama ini menjadi sumber kehidupan bangsa.

KLIK INI:  Asap Kebakaran TPA Antang Beracun?