Mukim, Sebuah Upaya Adat Berdaulat Melawan Kapitalisme di Aceh

oleh -204 kali dilihat
Mukim, Sebuah Upaya Adat Berdaulat Melawan Kapitalisme di Aceh

Judul: Adat berdaulat; Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh
Penulis: Affan Ramli, Arianto Sangaji, Sulaiman Tripa, & Fahri Salam
Pengantar & Penyunting: Roem Topatimasang
Penerbit: INSISTPress & PRODEELAT
Edisi: I, Juli 2015
Kolasi: 14,5 x 21 cm; xxx + 203 halaman
ISBN: 978-602-0857-01-5

Daerah ujung timur Indonesia, Aceh, memang menjadi pesona baik dunia Timur maupun Barat untuk mendatanginya sejak adanya kerajaan Aceh Darussalam sekitar abad ke-16.

Aceh dilirik banyak orang tentu bukan tak berdasar. Ditilik dari letak geografis, Aceh diapit oleh Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Sudah barang tentu Aceh bisa jadi lokasi yang strategis bertemunya para pedagang baik dari Timur maupun Barat.

Selain itu, Aceh memiliki komoditi yang melimpah ruah seperti tembakau, minyak, kapas, sutera, emas, dan masih banyak lagi. Tak ayal jika Aceh dilirik Portugis yang berkeinginan untuk menguasainya sampai Ia menerapkan politik Devide et Empera.

Buku yang berjudul Aceh Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh ini secara eksplisit menggambarkan tentang bagaimana kekayaan Aceh sejak zaman penjajahan hingga sekarang ‘dirampas’ oleh korporasi dan elite yang mempunyai kuasa atasnya.

Buku yang terdiri dari empat bab ini diawali dengan tulisan Arianto Sangaji, yang menegaskan bahwa kapitalisme global berkembang, bahkan mengakar bukan semata-mata akibat perkembangan zaman yang semakin pesat, misal teknologi saja.

Namun kapitalisme ada karena ada sifat-sifat sebati yang memang sudah tertanam dalam sistem tersebut, atau dalam istilah lain karena ‘watak’ kapitalisme itu sendiri.

KLIK INI:  Kisah "Mata", Refleksi Kritis Pendidikan Anak di Indonesia

Setidaknya ada tiga hal penting yang disoroti Sangaji, di antaranya perusakan lingkungan, pemerasan buruh, perusakan lingkungan, dan beberapa masalah lain yang sangat khas di Serambi Mekah –seperti kekerasan bersenjata dan bencana alam disebabkan oleh kapitalisme itu sendiri. Persetan dengan istilah nasional maupun internasional, semuanya sama-sama mempunyai watak rakus dan destruktif.

Sebagai contoh, pelipatgandaan primitif tidak lepas dari perkembangan kapitalisme di Aceh dari pendudukan wilayah dan jajahan yang didahului oleh praktik penghancuran masyarakat lama (baca: corak produksi prakapitalis) di wilayah. Setelah itu, barulah disusul oleh corak penjajahan modern.

Pasca itu, pemodal-pemodal yang bercokol semakin menggurita. Tanah-tanah yang dimiliki masyarakat Aceh lokal secara kolektif dijarah oleh perusahaan-perusahaan bercorak kapitalistik.

Pelipatgandaan primitif di Aceh bertolak dari tahun 1977 yang mana Pemerintah Indonesia menggusur banyak gampong di Aceh Utara untuk membela kepentingan PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) dan Mobile Oil.

Ada pula soal pemerasan buruh akibat adanya tenaga kerja cadangan. Semakin banyak tenaga kerja cadangan, semakin besar pula pemerasan buruh yang terjadi karena kelas pemodal dapat menekan nilai tawar para pekerja aktif.

Perusakan lingkungan sudah barang tentu menjadi dampak yang tak bisa ditawar-tawar lagi dan pasti terjadi. Program perdagangan karbon global untuk mencegah percepatan krisis lingkungan dunia (biasa disebut REDD+) yang ditimbulkan di negeri-negeri kapitalis maju namun dengan cara menekan negara dunia ketiga untuk mengurangi laju kerusakan alam, terlebih hutan hujan tropis.

KLIK INI:  Ekofenomenologi, Tentang Relasi Apik Antara Manusia dan Alam

Pada bagian dua yang berjudul “Perlawanan Adat Berdaulat: Ideologi dan Epistemologi” anggitan Affan Ramli ini adat dan mukim dihadirkan dan ditempatkan sebagai alat untuk melawan dan membendung arus dan gerak kapitalisme dalam konteks Aceh. Untuk tujuan itu, adat dibersihkan dari berbagai penyederhanaan dan selubung takhayul (mitos) yang melemahkannya sebagai alat perjuangan.

Ramli seolah menyusun strategi dan taktik gerakan, menyusun rancangan dan bangunan ideologi adat salah satunya berangkat dari teori James C. Scott tentang politik jelata (infrapolitics) yang membidik ideologi.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum nasional buatan partai politik tidak dapat diandalkan, yang tersisa hanya dua pilihan hukum lain, yaitu hukum syari’at dan hukum adat. Hukum syari’at di Aceh terlalu diarahkan untuk menangani kejahatan pidana karena hukum syari’at di Aceh belum memiliki gagasan menangani kejahatan kapitalisme. Dengan demikian, tersisalah satu-satunya pilihan, yaitu hukum adat.

Ramli membagi ragam gerakan adat di Aceh ke dalam empat bentuk, yakni adat ningrat (feodal). Gerakan ini untuk membangkitkan kembali kekuasaan kaum bangsawan lama atau setidak-tidaknya berusaha merebut ruang berperan lebih besar bagi mereka. Kedua, adat upacara (ritual). Bagi kelompok ini, paradigmanya adalah pelestarian adat dalam pengertian yang paling konservatif, karena itu berwatak mundur ke belakang (regresif).

Ketiga, adat kuasa (politik). Kelompok menggunakan adat untuk membangun dan menjaga kekuasaan mereka yang mapan selama ini di Aceh. Keempat, adat rakyat (berdaulat). Ini adalah warga mukim-gampong yang menggunakan adat untuk mengelola diri dan sumberdaya (self-governing community).

Adat yang berdaulat merupakan ideologi perlawanan sosial yang menyediakan pedoman praktis kepada orang-orang yang meyakininya tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan dalam rangka membangun moral sosial yang menjamin pencapaian keadilan (hal. 63).

KLIK INI:  Titik Nalar dan Imajinasi Seorang Rimbawan

Di bagian tiga berjudul “Sejarah Perlawanan Mukim Berdaulat”, yang ditulis oleh Sulaiman Tripa. Tulisan Sulaiman Tripa ini memperkaya khazanah kita tentang dinamika ruang politik bernama mukim, dalam upayanya memakai kekuatan adat untuk mencapai kedaulatan dalam bingkai sejarah Aceh.

Mukim bagi Aceh merupakan konsep pemerintahan lokal asli yang diperkuat oleh sultan Iskandar Muda melalui Qanun al-Asyi atau Meukuta Alam, ini merupakan penguatan keberadaan mukim sebagai suatu lembaga resmi dalam tatanan pemerintahan adat di Aceh.

Namun keberadaannya dberangus sejak adanya Undang-Undang nomor 5/1979 tentang desa. Hukum tentang penyeragaman desa itulah yang akhirnya menyulut kesadaran akan pentingnya menyelamatkan konsep pemerintahan lokal asli yang dalam konteks Aceh.

Pada bagian terakhir atau bagian bab yang berjudul “Praktik Perlawanan Mukim Berdaulat”, yang ditulis oleh Fahri Salam, tulisan beliau memotret bagaimana sejumlah mukim di Aceh dewasa ini menggeliat dan bersiasat memperjuangkan kedaulatan kedaulatan ditengah cengkreaman elite dan praktik-praktik kapitalisme yang sudah sangat mengakar dan menghegemoni.

Perlawanan masyarakat mukim digambarkan secara rinci dari tiga mukim yang ada di Provinsi Aceh ini yaitu mukim Lampanah, Lamteuba, dan Lutueng.

Kita harus percaya bahwa mukim merupakan benteng untuk melawan kapitalisme yang telah mencengkeram kuat daerah Serambi Mekah ini untuk mengambil kekayaan sumber daya alam.

Perlawanan ini tak akan pernah mati bahkan berlipat ganda, kesadaran dan semangat warga kesatuan masyarakat hukum adat lokal akan terus membara.

KLIK INI:  Cara Bijak Hidup Ramah Lingkungan