Meresapi Puisi-Puisi Goenawan Mohamad dengan Metafora Alam yang Memikat

oleh -6,300 kali dilihat
Meresapi Puisi-Puisi Goenawan Mohamad dengan Metafora Alam yang Memikat
Goenawan Mohamad -foto/Ist

Klikhijau.com –  Ia lahir pada tanggal 29 Juli 1941. Orang tuanya memberi nama Goenawan Soesatyo Mohamad.

Nama Soesatyo kemudian “dipensiunkan”. Ia hanya memakai dua kata saja, Goenawan Mohamad. Dua kata itu pun “diperas” lagi menjadi dua kata saja, GM.

GM merupakan inisial dari Goenawan Mohamad. Nama Goenawan Mohamad maupun dengan GM sama-sama populer di kalangan masyarakat, terutama akademis, penulis, maupun budayawan.

Goenawan Mohamad merupakan seorang sastrawan Indonesia yang  terkemuka. Ia juga seorang wartawan yang mendirikan Majalah Tempo.

KLIK INI:  Dadamu Deru Ombak

Goenawan Mohamad memang terkenal sebagai  seorang intelektual. Ia memiliki pandangan yang luas dan terbuka.

Menulis, merupakan aktivitas yang terus dilakoninya hingga kini.  Banyak tulisan dan bukunya telah lahir. Di antara tulisan-tulisannya itu, banyak yang berupa puisi dengan metafora alam yang memikat, berikut beberapa di antaranya:

 

Di Muka Jendela

 

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!

Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang terngadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?

1961

Tigris

 

Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
“Ababil! Ababil!” mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)

1986

KLIK INI:  Yang Tak Pernah Khianat

Nuh

 

Pada hari Ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan
tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar.
Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan
tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit
terakhir, yakni teriak seorang anak.

“Ia jatuh,” kata laporan yang disampaikan kepada Nakhoda
“dari sebuah atap yang bongkah. Air bah menyeretnya
Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun
tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya, ibu-bapaknya,
saudara-saudaranya sekandung. Ia tenggelam, seraya memekik,
begitu juga seluruh kota.”

Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu
kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera.
Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun dan berjalan ke
buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah
selesai membunuh.

Memang: banjir itu tak lagi ganas, seakan-akan naga yang
kenyang bangkai.
Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung,
hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan sesuatu.
Ia lihat gagak dan burung-burung marabou, bertengger di atas
perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan
air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja seakan terbalik,
seperti pagi. Nuh pun berbisik,”Kaum yang musyrik, yang tak
dikehendaki…”

Ia menghela napas, lalu kembali ke anjungan. Bau bacin
menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang doa, dan ia
merasa kota itu akan segara jadi payau. Maka tatkala langit
teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke sebuah
dataran tinggi yang masih utuh, di utara. Ia berkata, ”Keadilan,
perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.” Dan ia mendarat.

Lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya
syukur. Lalu segera disuruhnya persiapkan korban hewan di
kaki bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan
membuat surga berbahagia. “Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang
bisa keluar,” begitulah sembah yang diucapkannya, ketika hari jadi
terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang,
yang kukuh, patuh. Kota-kota Nuh.

1998

KLIK INI:  Saat Komunitas Literasi Berkebun: Tanam Pohon Tin, Panen Rambutan

Asmaradana

 

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971

 

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi

 

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada

1966

KLIK INI:  Bocah yang Berjalan Menuju Laut

Yang Tak Menarik dari Mati

 

adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.

Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.

(2012)

Tentang Usinara

 

Usinara, yang menyerahkan jagat dan darahnya untuk
menyelamatkan seekor punai yang terancam kematian,
tahu dewa-dewa tak pernah siap. Mereka makin tua.
Langit menggantungkan dacin pada tiang lapuk Neraka
sejak cinta dibunuh. Timbangan terlambat. Telah tujuh
zaman asap & api penyiksaan mengaburkan mata siapa
saja.

Di manakah batas belas, Baginda? “Mungkin tak ada,”
jawab Usirna. Ia hanya menahan perih di rusuknya
ketika tujuh burung nasar sibuk di kamar itu, (tujuh,
bukan satu), merenggut dagingnya, selapis demi
selapis.

Sering aku bayangkan raja yang baik hati itu tergeletak
di lantai, memandang ke luar pintu, melihat debu sore
dan daun-daun yang pelan-pelan berubah ungu. Ia ingin
punai itu segera lepas. “Ayo, terbang. Aku telah
menebus nyawamu,” ia ingin berkata. Tapi suaranya
tak terdengar.

Sementara itu, di sudut, si punai menangis: “Tak ada
dewa yang datang dan mengubah adegan ini jadi
dongeng!” Usirna hanya menutup matanya. Ia tahu
kahyangan adalah cerita yang belum jadi.

(2012)

Nah, itulah beberapa puisi Goenawan Mohamad yang bermetafora alam, semoga memberi inspirasi.

KLIK INI:  Membaca 7 Puisi Beraroma Laut dari Tri Astoto Kodarie