Klikhijau.com – Bagi penyuka puisi atau syair. Tentu tidak akan asing dengan nama Jalaluddin Rumi. Ia merupakan seorang penyair sufi Persia, teolog Maturidi, sekaligus ulama yang lahir di Balkh, Persia Raya.
Rumi lahir di Balkh, Afghanistan tepatnya pada tanggal 30 September 1207 dan wafat pada tanggal 17 Desember 1273 di Konya, Turki.
Ia banyak memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam, ketuhanan, cinta, serta pengalaman kehidupan melalui puisi-puisinya.
Puisi Rumi sangat indah, romantis, sarat makna dan renungan. Pada puisi-puisinya juga, kita dengan mudah menemukan diksi berbau alam.
Berikut puisi-puisi Rumi yang bernapas alam yang bisa dinikmati dan renungi:
Suatu Fajar Bersama sang Rembulan
Rembulan muncul di langit fajar. Mengambang turun ia, seraya menatapku.
Lalu, bagai seekor elang menyambar mangsanya, ia mencengkeramku dan menyeretku ke angkasa.
Walau kucoba sekuat tenaga, tak mampu aku melihat diriku sendiri.
Berkat keajaiban cahaya rembulan, telah lebur diriku kedalam jiwa murni.
Dalam bentuk itu lah pengelanaanku berlangsung, bersatu dalam cahaya tak-terbatas.
Lalu, rahasia dari pertunjukan abadi tergelar jelas di hadapanku.
Kesembilan sfera langit, terliputi oleh cahaya.
Wahana-jiwaku, melayang di Samudera tanpa pantai.
Tiba-tiba samudera wujud beralih bentuk menjadi gelombang demi gelombang.
Pikiran timbul: imaji bentuk bagai gelombang memecah di pantai.
Lalu semuanya kembali seperti semula: bersatu dalam jiwa yang murni.
Keberuntungan berupa penglihatan ini berasal dari Syamsudin al-Haqq dari Tabriz.
Tanpa kemurahannya, tak ada yang dapat menunggang rembulan atau menjadi samudera tanpa batas.
Nyanyian Seruling Bambu
Dengarkan nyanyi sangsai seruling bambu mendesah selalu
Sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu
Alunan lagu pedih dan cinta membara
Rahasia nyanyianku, meski dekat, tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap dengan segenap jiwanya dengan jiwaku
Ini nyala cinta yang membakarku, ini anggur cinta yang mengilhamiku
Sudilah pahami betapa para pecinta terluka
Dengar, dengarkanlah rintihan seruling!
Saatnya untuk Pulang
Malam larut, malam memulai hujan
Inilah saatnya untuk kembali pulang
Kita sudah cukup jauh mengembara
Menjelajah rumah-rumah kosong
Aku tahu: teramat menggoda untuk ditinggalkan saja
Aku tahu: bahkan lebih pantas untuk menuntaskan malam di sini bersama mereka
Tapi aku hanya ingin kembali pulang
Sudah kita lihat cukup destinasi indah
Dengan isyarat dalam ucap mereka
Inilah rumah Tuhan
Melihat butir padi seperti perangai semut tanpa ingin memanennya
Biar tinggalkan saja sapi menggembala sendiri
Dan kita pergi ke sana; ke tempat semua orang sungguh menuju
Ke sana, ke tempat kita leluasa melangkah telanjang