Klikhijau.com – Kuntowijoyo meniti jalan kepenulisannya dengan cara yang unik. Biasanya banyak penulis memulainya dengan menulis sajak atau puisi.
Namun, lelaki kelahiran Yogyakarta, 18 September 1943 itu memulainya dengan cerita pendek (cerpen), kemudian drama, esai, roman.
Menulis cerpen telah ia lakoni sejak duduk di bangku SMA. Sedangkan menulis puisi baru dijajakinya ketika bermukim di Amerika Serikat (AS) untuk mencapai gelar MA dan Ph.D.
Ia bukanlah penulis sembarangan, ia bergelar Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. ia juga seorang sastrawan, budayawan, dan sejarawan Indonesia.
Tulisan-tulisannya, khususnya sastra telah banyak menginspirasi penulis-penulis Indonesia untuk menempuh jalan kepenulisan.
Dalam karir kepenulisannya, alumni Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969 itu, tak hanya melahirkan novel, cerpen dan naskah drama, tetapi juga puisi.
Puisi-puisinya terasa khas, banyak menggunakan diksi beraroma alam. Alam sepertinya menjadi inspirasi besar baginya.
Dengan diksi dan penggambaran tentang alam atau lingkungan. menjadikan puisi Kuntowijoyo penuh dengan kejutan dan pesan yang harus direnungkan. Simaklah beberapa puisi Kuntowijoyo berikut ini:
Alam Sedang Berdandan
Tangan yang tak nampak
Menjentikkan kasih ke pohonan
Semi di cabang-cabang
Adapun di rumputan
Seribu warna jambon
Memberikan madunya
Pada lebah dan kupu-kupu
Wahai yang menghias diri di air sungai
Simpanlah senja di bawah batu-batu
Angsa putih ingin mencelupkan bulu
Menuai ikan-ikanmu
Perawan mencuci mukanya
Masih tertinggal wangi kulitnya di permukaan
Ketika burung mandi dan menyanyi
Terdengar bagai engkau bangkit kembali
Tangan yang tak nampak
Mendandani.
Perjalanan ke Langit
Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti
Sudah disiapkan
Awan putih di bukit
Berikan tanda
Angin membawamu pergi
Dari pusat samudera
Tidak cepat atau lambat
Karena menit dan jam
Menggeletak di meja
Tangan gaib mengubah jarum-jarumnya
Berputar kembali ke-0
Waktu bagi salju
Membeku di rumputan
Selagi kaulakukan perjalanan.
Isyarat
Angin gemuruh di hutan
Memukul ranting
Yang lama juga.
Tak terhitung jumlahnya
Mobil di jalan
Dari ujung ke ujung
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu
Abadi.
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi.
Malam
Bayang-bayang bumi
Memalingkan tubuh
Memejam lelah
Meletakkan beban ke tanah
Maka malam pun turun
Memaksa kucing putih
Mengeong di pojok rumah
Memanggil pungguk
Yang sanggup mengundang bulan
Karena hari sedang istirahat
Di ladang angin mengendap
Tidur bersama ibu bumi
Dari kasih mereka
Ilalang berisik
Ditingkah suara jangkrik
Di sungai, air
Pelan-pelan
Melanda pasir
Justru pada tengah malam
Rahasia diungkapkan.
Pemandangan Senja
Dua ekor ikan
Menutup mata
Mereka lihat tanda
Air berhenti mengalir
Maka gugurlah kepercayaan
Perempuan menangis di jendela
Menghentikan pejalan
Lelaki tidak juga datang
Merpati di pucuk atap
Kesal menunggu senja
Menahan dingin
Mengharapkan bintang turun menyapa
Jauh di langit
Kelompok pipit mencari pohonan
Adakah masih tersedia daunan?
Mereka hanya berputar-putar.
Terasa juga malam ini
Lelaki tidak akan pulang
Barangkali sore harus dibatalkan
Tidak ada lagi:
Merpati harus tidur di awan
Pohonan sudah ditebang
Tidakkah kaudengar tidak ada lagi peradaban?
Musim Panen
Setelah semusim
tangan-tangan sibuk
memotong pohonan
di kampung halaman
pak tani
mengundang anak-anaknya
memanen kolam
sudah waktu ikan dinaikkan
Segunduk matahari
menyingkirkan sepi
dari danau
mendorong sampan
berlayar dua-dua
Di bukit
batu sudah dipecah
sekejap saja, bagai hanya main-main
rumah-rumah berdiri
melindungi perempuan
melahirkan bayi
Hari itu derita dihapuskan
Keluarlah lelaki-perempuan
memainkan udara dengan selendang
menyulap siang dalam impian
warna-warni dan wewangi
Anak lelaki-perempuan
menabuh genderang
menyebar kenanga
memaksa matahari
berhenti di balik daunan
Malaikat dan bidadari
menonton tarian
senyum mereka
menyentuh pohonan
Semesta berpesta
di tengah hari
pada musim panen abadi.
Kota
Kotaku yang jauh
padam lampu-lampunya
angin menerpa
lorong-lorong jelaga
Kotaku yang jauh
menyerah pada malam
seperti di siang hari
ia menyerah
pada kekosongan
Tuhan
nyalakanlah neon-neon itu
Laut
Siapa menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan harimau dan ular berbisa.
Malam membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di pagi hari kau temukan bahwa engkau
di sini. Segar bugar. Kita punya tangan
dari batu sungai. Karang laut menyulapmu jadi
pemenang. Dan engkau berjalan ke sana.
Menerjang ombak yang memukul dadamu.
Engkau bunuh naga raksasa. Jangan takut.
Sang kerdil yang berdiri di atas buih itu
adalah Dewa Ruci. Engkau nmenatapnya: menatap dirimu.
Matanya adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu.
Sukmanya adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita
yang baru! Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:
Bagai kristal kaca, nyaring bunyinya.
Sebentar kemudian, sebuah debur
gelombang yang jauh menghiburmu.
saksikanlah
Tidak ada batasnya bukan?
Desa
Yang berjalan di lorong
hanya suara-suara
barangkali kaki orang
atau malaikat atau bidadari atau hantu
mereka sama-sama menghuni desa di malam hari
Kadang-kadang kentong berjalan
dipukul tangan hitam
dari pojok ke pojok
menyalakan kunang-kunang
di sela bayang-bayang
Kalau ingin melihat hidup
pandanglah bintang-bintang
yang turun rendah
menyentuh ujung kelapa
atau berhenti di bawah rumpun bambu
mendengarkan tanah menyanyi
Tunggulah, engkau tak akan percaya
Siapakah mengerang dari balik dinding bambu
Barangkali ibu yang kehabisan air susu
Ya Tuhan!
Pepohonan
Sebagai layaknya pepohonan
menampung kenangan
dunia yang tergantung di awan
sudah sampai di simpang
Ada kubu terbungkus daunan
mengeluh pelan
memanjakan impian
Ayolah kubur dukamu di rumputan
senja sudah mendekat
malam berjalan merayap
engkau tentu mengharap bulan
Dalam pepohonan
yang berbuah rindu
aku mendengar
sesuatu yang tak kutahu
Namun aku suka padamu.
Nah, itulah beberapa puisi beraroma alam dari Kuntowijoyo, semoga bermanfaat!