Klikhijau.com – Kolaborasi antara masyarakat lokal dan alam menjadi kunci keberhasilan pelestarian mangrove di Raja Ampat. Hal ini ditekankan oleh Stevanus Wawiyai, seorang pegiat lingkungan, dalam webinar Series II yang digelar Klikhijau bertajuk “Berbagi Praktik Baik dari Raja Ampat: Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Pangan dari Ekosistem Mangrove Berbasis Warga” pada Jumat 2 Mei 2025.
Menurut Stevanus, pendekatan berbasis komunitas—terutama melibatkan perempuan—dan adaptasi terhadap kondisi lokal menjadi faktor penentu dalam restorasi ekosistem pesisir ini.
Perempuan bahkan menjadi garda terdepan dalam agenda pelestarian mangrove. Stevanus mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan tidak terjadi secara instan. Awalnya, banyak warga yang skeptis, termasuk para ibu yang menggantungkan hidupnya pada hasil mangrove.
“Kami mulai dari kelompok kecil, percaya bahwa upaya pelestarian akan didukung oleh alam. Perlahan, ketika hasilnya terlihat, perempuan-perempuan lain mulai bergabung,” ujar Stevanus.
Strateginya adalah dengan mengidentifikasi peran perempuan terlebih dahulu. Ada yang mencari kerang atau kepiting, ada pula yang memanfaatkan buah mangrove. Dengan memahami aktivitas mereka, pendampingan bisa lebih tepat sasaran.
Ruang diskusi informal, seperti kelompok kerajinan tangan, menjadi wadah penting bagi perempuan untuk berbagi pengetahuan dan kekhawatiran. “Mereka lebih nyaman bicara di ruang kecil, bukan di forum umum,” jelas Stevanus.
Kondisi pesisir Raja Ampat yang berpasir dan berangin membutuhkan pendekatan khusus. Stevanus menekankan pentingnya memilih jenis mangrove yang sesuai, seperti Avicennia marina dan Sonneratia alba, yang tahan di substrat berpasir.
Pengalaman Kak Steve sapaan akrabnya dalam mendampingi warga pesisir di Raja Ampat memang menarik. Selain berhasil menumbuhkan intensi dan partisipasi warga, ia juga menekankan pentingnya edukasi dalam penanan mangrove.
Pada Webinar bersama Klikhijau, ia membagikan pengalamannya menanam. Menurutnya, Teknik penanaman mangrove memang harus adaptif. Antara lain dengan melakukan dua hal berikut:
- Memasang pelindung seperti kayu atau ban bekas untuk melindungi bibit dari angin dan ombak.
- Menyesuaikan metode tanam, baik secara intensif maupun berjarak, tergantung kondisi lapangan.
“Teori di buku sering berbeda dengan kenyataan di lapangan. Kita harus turun langsung, lihat habitatnya,” tegas Stevanus.
Selain pelestarian, mangrove juga dimanfaatkan untuk ketahanan pangan. Jenis Bruguiera gymnorhiza (disebut “iPhone” oleh warga) diolah secara tradisional menjadi makanan tahan lama. Buahnya dikeringkan dan bisa disimpan hingga 10 tahun sebelum diolah kembali.
Sementara itu, jenis lain seperti Sonneratia caseolaris lebih sering digunakan untuk produk turunan, seperti kosmetik atau scrub.
“Ini memberi nilai tambah bagi masyarakat, sekaligus mendorong mereka menjaga mangrove,” ujar Stevanus.
Stevanus menekankan bahwa pendampingan harus berbasis data. Profil kampung—seperti jumlah penduduk, mata pencaharian, dan kebutuhan ekonomi—menjadi dasar merancang program yang relevan.
“Ketika bicara lingkungan, masyarakat sering bertanya: Apa manfaatnya untuk kami hari ini? Jadi, program harus menjawab kebutuhan itu,” jelasnya.
Selain itu, membangun kepercayaan dengan pendekatan partisipatif sangat penting. Contohnya, gerakan penanaman mangrove di Raja Ampat awalnya hanya melibatkan enam orang, tetapi berkembang menjadi puluhan partisipan setelah masyarakat melihat manfaatnya.
Adapun kunci sukses pelestarian dan konservasi mangrove di raja ampat menurut Kak Steve setidaknya karena tiga hal. Pertama, perempuan adalah aktor kunci dalam pelestarian, tetapi perlu pendekatan yang sesuai dengan budaya lokal. Kedua, adaptasi teknik penanaman berdasarkan kondisi alam menentukan keberhasilan restorasi. Ketiga, pendekatan ekonomi harus sejalan dengan konservasi agar masyarakat termotivasi.
“Perubahan tidak instan, tapi dengan kolaborasi, kita bisa menciptakan dampak besar,” pungkas Stevanus.