Klikhijau.com – Di sebuah mal megah, seorang wanita muda berhenti di depan toko pakaian ternama. Matanya tertarik pada poster besar bergambar model berbaju putih bersih berdiri di tengah hutan hijau, dengan tulisan tebal: “Fashion Berkelanjutan untuk Bumi yang Lebih Baik.” Dengan perasaan bangga, ia membeli kaus katun organik itu, yakin telah membuat pilihan bijak.
Namun di belakang layar, ceritanya sama sekali berbeda. Pabrik pemasok merek tersebut membuang limbah pewarna tekstil beracun ke sungai, sementara kapas “organik”-nya ditanam di lahan yang dibuka dengan cara membakar hutan. Wanita itu tidak tahu—ia baru saja menjadi korban greenwashing, praktik di mana perusahaan berpura-pura ramah lingkungan padahal sebenarnya tidak.
Apa itu Greenwashing?
Greenwashing bukan sekadar kebohongan—ia adalah strategi pemasaran yang sistematis untuk menipu konsumen. Istilah ini merujuk pada praktik perusahaan yang sengaja menciptakan kesan ramah lingkungan melalui klaim, kemasan, atau iklan yang menyesatkan, sementara operasi bisnis mereka tetap merusak lingkungan.
Greenwashing sering kali menggunakan istilah ambigu seperti “ramah lingkungan”, “hijau”, atau “berkelanjutan” tanpa disertai bukti nyata, bahkan sengaja menutupi praktik bisnis yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
Secara istilah, greenwashing dapat dimaknai sebagai suatu klaim menyesatkan perihallingkungan yang menipu konsumen atas produk-produk tertentu. Tujuannya tentu demi menarik simpati konsumen bahwa perusahaan terkait ikut terlibat menjaga lingkungan atau membangun produk secara ramah lingkungan.
Rangkaian Fenomena
Pada 2015, dunia dikejutkan oleh skandal Volkswagen yang memasang perangkat lunak curang di mobil diesel mereka untuk menipu uji emisi. Selama bertahun-tahun, mereka mengklaim kendaraan mereka “ramah lingkungan,” padahal sebenarnya mengeluarkan polusi 40 kali di atas batas legal.
Atau lihatlah BP, raksasa minyak yang dengan cerdik mengganti logonya menjadi bunga matahari dengan slogan “Beyond Petroleum”, seolah-olah beralih ke energi bersih. Nyatanya, hingga hari ini, lebih dari 96% operasi mereka masih bergantung pada minyak dan gas.
Industri fashion pun tak kalah jahat. Sejak 2018, merek-merek cepat seperti H&M dan Zara gencar meluncurkan koleksi “sustainable”. Tapi investigasi Quartz (2019) menemukan kenyataan pahit: hanya 1% bahan H&M benar-benar daur ulang, sementara produksi mereka tetap menghasilkan 92 juta ton limbah tekstil per tahun.
Di sektor minuman, Coca-Cola dengan bangga mengklaim sebagai “pemimpin dalam kemasan berkelanjutan”. Ironisnya, laporan Break Free From Plastic (2022) menobatkan mereka sebagai poluter plastik terbesar di dunia selama lima tahun berturut-turut—menghasilkan 3,2 juta ton plastik per tahun.
Lalu ada trik “carbon offset” yang banyak dipakai maskapai penerbangan. Mereka menawarkan “tiket netral karbon” dengan janji menanam pohon. Tapi penelitian The Guardian (2023) membuktikan bahwa 80% proyek offset karbon gagal mengurangi emisi secara nyata.
Mengapa perusahaan-perusahaan besar ini begitu getol melakukan greenwashing? Jawabannya sederhana: uang dan pencitraan. Survei Nielsen (2023) menunjukkan 73% konsumen lebih memilih merek yang ramah lingkungan. Daripada benar-benar mengubah sistem produksi yang mahal, lebih mudah bagi mereka sekadar mengganti kemasan dan iklan.
Celakanya, banyak negara tidak memiliki regulasi ketat untuk klaim-klaim “hijau” ini. European Commission (2023) menemukan bahwa 53% klaim lingkungan di Eropa tidak memiliki bukti yang cukup. Tanpa hukum yang tegas, perusahaan bebas memakai istilah seperti “natural”, “eco-friendly”, atau “carbon-neutral” semaunya.
Dampaknya pun merugikan semua pihak. Bagi produsen, greenwashing menciptakan ketidakadilan pasar. Perusahaan yang benar-benar berinvestasi dalam praktik berkelanjutan harus bersaing dengan pesaing yang hanya mengandalkan pencitraan murah. Sementara bagi konsumen, praktik ini menimbulkan illusion of choice—mereka membayar lebih untuk produk yang dianggap “hijau”, padahal tidak lebih baik dari produk biasa.
Dampak terbesar? Bumi semakin tercekik. Greenwashing bukan sekadar kebohongan pemasaran—ia memperlambat aksi nyata melawan krisis iklim. Konsumen terkecoh, merasa telah berkontribusi padahal tidak. Perusahaan sungguhan yang berinvestasi besar-besaran untuk keberlanjutan justru kalah bersaing. Sementara itu, kerusakan lingkungan terus terjadi di balik topeng “solusi hijau”.
Di sebuah pantai terpencil, seorang anak kecil memungut botol plastik bermerek “100% Dapat Didaur Ulang”. Botol itu terbawa arus dari ribuan kilometer jauhnya—mungkin dari pabrik yang sama yang dengan bangga mengklaim diri “ramah lingkungan”.
Greenwashing adalah cerita lama dengan konsekuensi yang kian mengerikan. Setiap kali perusahaan memilih pencitraan daripada perubahan nyata, bumi semakin sekarat. Pertanyaannya sekarang: Sudah berapa lama kita semua tertipu?