Mengunjungi Senggaang, Kampung Tua di Ujung Barat Bulukumba

oleh -258 kali dilihat
Mengunjungi Senggaang, Kampung Tua di Ujung Barat Bulukumba
Senggaang tampak dari jauh/foto-Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Senggaang, sejak kecil nama kampung itu telah tumbuh di ingatan saya. Ayah dan saudaranya sering menceritakannya.

Ayah dan semua saudaranya, kecuali yang bungsu memang lahir di kampung tua itu. Letaknya berada  paling ujung barat Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sejak kecil pula, rasa penasaran saya tumbuh subur dan liar perihal Senggaang. Aksesnya menuju ke sana sejak dulu cukup sulit. Harus berjalan kaki. Karenanya pula, ayah dan keempat saudaranya jarang berkunjung.

“Kurang lebih empat puluh tahun baru saya kembali ke Senggaang,” kata Ayah kemarin, 10 November 2020.

KLIK INI:  Disambut Hangat, Tiga Mahasiswa Sosiologi UNM Siap Magang di Klikhijau

“Tak ada ingatan masa kecil saya di Senggaang, saya hanya dilahirkan di sana,” lanjutnya.

Ayah baru mengunjungi Senggaang setelah menikah. Itu pun kunjungan bukan bernostalgia, sebab tak ada kenangannya di sana.

Ia ke Senggaang untuk mengurus kebun peninggalan orang tuanya. Ia ingin menjualnya untuk dipindahkan ke lokasi yang lebih muda terjangkau.

Karena perampok

Berbeda dengan saudaranya, Haji Samarin. Ia lahir di Senggaang dengan ingatan masa kecil yang sudah kuat.

Ia bahkan masih ingat betul letak rumah orang tuanya dan letak rumah-rumah warga yang lain. Ia juga sudah ingat, bagaimana orang tuanya dirampok di mana semua perabot rumah, mulai dari panci hingga piring digasak oleh perampok.

“Senggaang sama artinya dengan batas,” jelas H. Samarin.

Katanya senggaang berasal dari kata sangga, artinya batas. Sebab tak adalagi kampung setelahnya, yang ada hanya gunung.

Dipilihnya Senggaang sebagai pemukiman tak lepas dari tanahnya yang subur. Dan tentu saja jauh dari jangkuan Belanda pada zaman dulu.

Namun, Senggaang perlahan senggaan menjadi kampung mati. Semua bermula saat pendudukan Jepang di kisaran tahun 1943 atau tahun 1944. Saat itu semua masyarakat Senggaang dipaksa untuk pindang kampung.

Mereka mengungsi atau bukan pindah karena takut kepada Jepang, bukan. Tapi karena saat itu perampok sedang merajalela.

KLIK INI:  Di Pantai Kuranji Bangsal, 200 Ekor Tukir Menerima Kado Kebebasan

“Saya tak ingat tahun berapa, tapi saat itu mungkin Jepanglah yang sedang memerintah,” ungkap H. Samarin sambil menerawang ke masa kecilnya.

Saat warga mengungsi, mereka tersebar. Ada yang ke Kajibirangan, Na’na Kampong Beru kemudian ke Sapayya, Bulukumba. Tidak sedikit pula yang pergi lebih jauh, semisal nenek saya yang harus ke Bantaeng.

Sejak dulu mayoritas penduduk Senggaang adalah petani hingga sekarang. “Kami menaman jagung,  ubi, dan talas,” beber Bunga, saudara tertua Ayah.

Menurut Bunga, Senggaang adalah kampung yang cukup ramai pada zamannya, meski hanya terdapat rumah kurang lebih dari sepuluh rumah saja.

“Senggaang mulai ditinggalkan karena banyak perampok, ketika para perampok datang, tak ada yang tersisa. Ayah saya dan pernah diikat oleh perampok. Untungnya tidak dibunuh.” jelas Bunga.

Banyak potensi

Senggaang memiliki banyak potensi yang belum terkuak. Bisa menjadi destinasi wisata alam yang eksotik karena dikelilingi gunung dengan udara yang sejuk. Belum lagi hasil buminya, khususnya kopi dan tembakau yang cukup melimpah.

Hanya saja menuju Senggaang bukanlah hal mudah.  Saya bersama ayah dan kakaknya, H. Samarin harus menempu perjalanan sekitar 3 Jam dengan berjalan kaki.

Namun, meski perjalanan kami menguras tenaga dibawah terik matahari. Tapi, tak ada rasa lelah di mata kedua bersaudara itu. Mereka menemukan kebahagian bisa kembali ke kampung halamannya.

“Saya lebih tiga puluh tahun baru kembali. Rasanya tak ada yang berubah hanya saja semakin banyak warga membudidayakan kopi,” terang H. Samarin

Iya, Senggaang kini menjadi kampung kopi yang subur. Dikaruniai aliran sungai  yang jernih  pemandangan hijau menyegarkan.

Saat ini, suasana Senggaang cukup sepi, setidaknya saya hanya menemukan lima rumah saja yang terdapat kampung tua itu. Sebagian besar tanpa penghuni.

Untuk memasuki Senggaang, pengunjung harus melewati jembatan bambu betung yang lumayan panjang sebagai gerbang kampung.

Listrik ramah lingkungan

Meski tidak terdapat banyak rumah.  Ada yang menarik dari kampung tua di ujung barat Bulukumba tersebut. Masyarakatnya telah menikmati listrik yang menyala sepanjang waktu.

KLIK INI:  Kebun Bersama, Ide Keren Komunitas Pemuda di Gantarang Usung Wisata Edukasi

Listrik itu bukan dari suplai PLN seperti yang dipakai kebanyakan masyarakat Indonesia dan Bulukumba pada khususnya. Tapi, listrik mereka berasal dari Pembabgkit Listrik Tenanga Air (PLTA). Listrik yang cukup rama lingkungan dan murah.

Untuk menuju Senggaang, setidaknya ada bebarapa kampung yang harus dilewati, di antaranya Kampong Beru, Na’na, Kajubirangan, Borong Talung, dan Katimbang.

Katimbang inilah yang berbatasan langsung dengan Senggaang, setelahnya tak ada lagi kampung.

Itu karena Senggaang sesuai akar katanya, sangga yang artinya batas. Kampung tua ini masih termasuk wilayah Kelurahan Borongrappoa.

Oya, jika punya sempat, kamu harus mengunjugi Senggaang,  kampung yang eksotis berpagar  pegunungan yang hijau.

Kemarin, rasa penasaran saya terhadapat Senggaang terasa hilang tiada. Sebab saya telah mengunjunginya. Bukan hanya berkunjung sekadar  menikmati pemandangannya. Tapi, juga mengunjungi kampung leluhur saya.

KLIK INI:  Festival Butta Lompoa, Cara Keren Pemuda Kindang Merawat Bumi