- Atasi Triple Planetary Krisis, KLHK Gelar Penanam Mangrove Serentak di 24 Titik - 24/04/2024
- Babak Baru Kasus Makelar Kayu Ilegal Asal Lutim, Berkas Dilimpahkan ke Kejari Tana Toraja - 24/04/2024
- Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat di Tapanuli Utara dan Lutra - 23/04/2024
Klikhijau.com – Ada tiga kondisi yang membuat seseorang mudah marah, rasa lapar, lelah, dan ngantuk. Ketiganya bisa memicuh perang dunia ketiga, hehehe.
Namun, di antara ketiga serangan “rasa” itu. Rasa lapar menjadi hal yang paling mudah melahirkan amarah.
Rasa lapar juga membuat seseorang tidak bisa berpikir jernih. Perut keroncongan cenderung membuat seseorang melakukan hal-hal di luar nalar.
Dalam keadaan lapar suasana hati kerap uring-uringan. Karenanya, muncullah istilah ‘hangry’. Istilah tersebut merupakan gabungan dari kata ‘hungry yang berarti lapar dan ‘angry yang artinya marah.
Dida A. Gurnida, (2011) mengatakan, manusia membutuhkan makanan karena tubuhnya selalu melakukan regulasi untuk mencapai keadaan homeostasis, termasuk homeostasis energi.
Untuk mencapai keadaan ini dibutuhkan keseimbangan antara pemasukan energi dan pengeluarannya.
Asupan makanan merupakan jalan untuk pemasukan energi. Sedangkan pemakaian untuk metabolisme basal, termogenesis dan aktivitas fisik merupakan pengeluarannya.
Lapar lahirkan emosi negatif
Lalu mengapa rasa lapar kerap melahirkan emosi negatif? Itu karena menurut Husnawati, yang merupakan salah satu pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB), pada Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) bahwa kombinasi rasa lapar dan amarah adalah respons emosional yang rumit.
Kerumitan itu muncul karena rasa lapar dan amarah melibatkan interaksi biologi, kepribadian, dan isyarat lingkungan.
Jika dilihat dari interaksi biologi, lapar dan amarah, maka pada otak, sistem limbik bertanggung jawab akan berbagai macam emosi, baik itu marah, takut, juga dorongan seksual.
Emosi di sini diterjemahkan secara biokimia dan diberi label ‘menyenangkan’ dan ‘tidak menyenangkan’. Efeknya, timbul pelepasan hormon senang dan hormon stres.
Saat tubuh merasa ada ancaman atau bahaya, akan ada respons emosional yang kuat, hal itulah yang lahirnya marah. Jadi, marah merupakan respons emosional kuat saat.
Pada saat itu sumbu Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) otak akan aktif dan memicu respons ‘fight or flight’, lawan atau lari. Rasa lapar bagi sebagian orang dianggap sebagai ancaman. Hal inilah yang memicu timbul kondisi ‘hangry’.
Rasa lapar dalam waktu lama membuat tubuh stres. Saat hormon stres dilepaskan, terjadi penurunan hormon serotonin yang berperan dalam mengatur suasana hati.
“Kadar serotonin yang rendah sangat berkaitan dengan munculnya rasa marah dan kecenderungan ke arah perilaku kekerasan,” kata Husnawati seperti dikutip dari CNN.
Hangry, jika dilihat dari sisi kepribadian dan pengaruh lingkungan. Dipicu oleh perilaku emosi manusia karena makanan terbentuk sejak masa kanak-kanak.
Bagi orang yang tinggal di lingkungan dengan cara memperebutkan makanan sebagai usaha untuk bertahan hidup, mereka sangat mudah mengalami ‘hangry’.
Husni juga menambahkan, ‘hangry’ selain dipengaruhi oleh yang disebutkan di atas, juga dipengaruhi tingkat kesadaran emosional seseorang.
Untuk orang yang memiliki kesadaran emosional lebih berkembang, mereka akan sadar bahwa rasa lapar bisa menjurus pada emosi negatif. Mereka akan berusaha mengontrol emosi negatifnya, sehingga cenderung tidak gampang mengalami yang namanya ‘hangry’.
Puasa bisa jadi solusi
Lalu bagaimana dengan orang yang berpuasa, bukankah mereka mengalami yang namanya rasa lapar dan haus?
Dalam hal ini, Husnawati menjelaskan bahwa aktivitas berpuasa bisa mengajarkan orang untuk mengelola emosi dari rasa lapar.
Karena puasa akan mengatur dan mengaktifkan metabolisme tubuh yang jarang dipakai misal, pengaturan pergantian kerja hormon insulin dan glukagon. Puasa di bulan Ramadan bagi umat Islam juga melatih bahwa rasa lapar selama kurang dari 20 jam bukan merupakan ancaman.
“Sehingga orang-orang yang terbiasa berpuasa akan merespons rasa lapar dengan emosi yang netral atau malah positif,” terangnya.
Sepertinya solusi agar tidak mengalami ‘hangry’ bisa dengan puasa, ya? Bagaimana sahabat hijau?