Membangkitkan Jiwa dan Semangat Nasionalisme Lingkungan

oleh -665 kali dilihat
Membangkitkan Jiwa dan Semangat Nasionalisme Lingkungan
Buku Nasionalisme Lingkungan (Pesan Konservasi dari Lambusango) ditulis oleh Edi Purwanto

Judul Buku: Nasionalisme Lingkungan (Pesan Konservasi dari Lambusango)
Penulis: Edi Purwanto
Penerbit: Wallacea
Edisi: Cetakan Kedua 2012

Pembangunan dan pelestarian lingkungan seringkali jadi dua katub yang terpaksa dihadap-hadapkan. Lihatlah, bagaimana sebuah kota besar kehilangan daerah resapan air atau kawasan mangrove-nya lantaran sebuah proyek perumahan elit atau apartemen. Atas nama pembangunan atau infrastruktur, apakah kita harus mengorbankan sawah, ladang dan pantai kita?

Pertanyaan seperti itu terdengar kritis namun maksudnya menjadi sia-sia karena kita jadi sulit mencari tahu siapa aktor yang paling relevan menjawabnya secara objektif dan adil. Yah, bagi sebagian kita mungkin saja melihat fenomena itu sebagai satu hal wajar—suatu risiko atas modernisasi atas nama kesejahteraan bersama.

Tetapi, kondisi seperti ini boleh jadi akan mengancam ekosistem. Yah, sepanjang masa, perdebatan antara kepentingan ekologis dan kepentingan pembangunan selalu dilematis dan problematik.

Tetapi, satu hal pasti bahwa logika pembangunan sejatinya mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable). Atas dasar apa pun juga, agenda pembangunan tidak boleh menyingkirkan dimensi paling fundamental yakni sosial budaya dan ekologis.

KLIK INI:  Ekofenomenologi, Tentang Relasi Apik Antara Manusia dan Alam

Pada titik inilah sebuah bangsa perlu memiliki apa yang disebut dengan nasionalisme lingkungan. Sebuah narasi sederhana yang bermakna dalam. Nasionalisme lingkungan boleh jadi suatu jalan bagaimana berbangsa dengan orientasi kemajuan tetapi tidak mengorbankan dimensi lingkungan dan keberlanjutan.

Isu-isu seputar itulah sepertinya yang melatarbelakangi penulisan buku berjudul “Nasioalisme Lingkungan”, karya Edi Purwanto. Walau sudah cukup lawas karena terbit pada 2007 lalu dan cetakan kedua pada 2012, buku ini rasanya relevan untuk konteks kekinian.

Dengan mengangkat pengalaman pribadi penulisnya selama menjalankan program konservasi di Hutan Lambusango, buku ini membuka mata dan hati kita tentang perlunya menghidupkan suatu jiwa dan semangat nasionalisme lingkungan.

Menurut Edi Purwanto, kelestarian alam sebuah negeri merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Faktanya, kepunahan sebuah negeri semisal Mesopotania, Maya dan Astek oleh bencana lingkungan buatan manusia. Pendeknya. bencana ekologis terjadi akibat pengelolaan sumber daya yang salah dan akibat syahwat manusia yang rakus.

Padahal, kata Edi, rakyat Indonesia tidak akan menjadi kaya dengan menebang hutan atau mengeksplorasi bahan tambang—justru dengan itulah kita semakin miskin. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, kerusakan dan kehancuran melanda negeri ini. Kebakaran hutan dan alih fungsi lahan terus menghantui. Negeri yang sumber daya alamnya kaya raya ini, akhirnya kehilangan banyak hal.

KLIK INI:  Teologi Ekologis dan Persaudaraan Berbasis Semesta
Nasionalisme berbasis tanah air

Kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam ketahanan nasional tetapi juga merusak citra dan identitas bangsa. Oleh sebab itu, kesadaran kolektif untuk merawat nasionalisme lingkungan harus terus digelorakan.

Menurut Edi, nasionalisme tidak cukup dengan semangat membela negeri dari gangguan ancaman dan serangan dari luar. Nasionalisme yang sejatinya dalam konteks yang sekarang adalah rasa cinta terhadap kekayaan alam tanah air dan kesediaan berkorban untuk melindungi negeri nafsu perusakan oleh siapa pun atas alasan apa pun.

Nasionalisme lingkungan adalah semangat yang semestinya bertumbuh pada jiwa-jiwa anak bangsa. Pada dimensi politik dan kekuasaan, dimana kita memerlukan Kepala Negara, Bupati, Walikota atau Gubernur yang punya komitmen merumuskan kebijakan pro lingkungan. Atau dalam istilah Edi, nasionalisme lingkungan adalah disiplin, kerja keras, menghargai prestasi, budaya bersih, hemat energi, tidak korupsi dan sebagainya.

Tema-tema seperti yang dibahas buku ini rasanya perlu diperluas lagi. Lebih bersifat praktis dan filosofis lagi agar menyentuh paradigma anak-anak muda yang kelak akan menjadi aktor kunci dalam pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Apalagi di tengah dilema para pengambil kebijakan antara pembangunan atau pelestarian lingkungan. Atau apakah mungkin keduanya dapat berjalan tanpa ada yang dikorbankan?

KLIK INI:  Titik Nalar dan Imajinasi Seorang Rimbawan