Mangrove, Energi Kehidupan di Pesisir yang Terlupakan

oleh -520 kali dilihat
Hutan mangrove
Hutan Mangrove lantebung, Makassar/foto-Irhyl
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Sebagian besar masyarakat kita mengenal Hutan Mangrove yakni sekumpulan pohon atau semak-semak yang hidup dan tumbuh di Kawasan pinggiran pantai, di daerah pasang surut. Hutan Mangrove juga populer dengan sebutan Hutan Bakau, dikarenakan mayoritas populasi tanaman yang hidup pada Hutan Mangrove adalah tanaman bakau.

Hadirnya Hutan Mangrove sudah barang tentu berperan penting dalam menjaga  garis pantai agar tetap stabil. Mengingat kehadiran populasi pohon dan semak yang ada pada hutan mangrove tersebut dapat melindungi tepian pantai dari terjangan ombak langsung yang berpotensi menghantam dan merusak bibir pantai.

Selain itu, peran penting Hutan Mangrove lainnya, yakni melindungi pantai dan tebing sungai dari kerusakan, seperti erosi dan abrasi.

Di Indonesia sendiri, Hutan Mangrove mulai digalakkan keberadaannya di beberapa kawasan seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Salah satunya seperti Hutan Mangrove yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Tanjung Balai dan Sei Babalan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang juga merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 30.506. Hutan Mangrove di kawasan tersebut tak hanya dijadikan lahan untuk melindungi pantai dan tebing sungai dari kerusakan, melainkan juga menjadi tempat pemijahan benih ikan dan biota laut.

KLIK INI:  Melalui Sekolah Mangrove, Murid SD di Indramayu Disiapkan Jadi Pejuang Lingkungan
KLIK INI:  Berkah Bakau yang Memukau di Utara Makassar

Dari sektor ekonomi, Hutan Mangrove juga memberikan pendapatan alternatif bagi nelayan. Dalam satu bulan kawasan magrove bisa menghasilkan 50-60 liter madu. Masyarakat setempat menjadikan kawasan Mangrove sebagai lahan untuk mencari rezeki.

Namun, sejak 2006, kenyataan pahit harus dirasakan masyarakat Kabupaten Langkat, Sumatera Utara misalnya. Lahan yang dihiasi sekelompok tanaman hijau nan asri itu dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 hektar oleh beberapa oknum perusahaan perkebunan sawit yang tidak mendapatkan izin dari Departemen Kehutanan dan Bupati Langkat.

Akibat perambahan yang dilakukan oleh ketiga perusahaan tersebut telah merugikan negara  sebesar  160 Milliar, dan menguntungkan segelintir orang dan golongan, serta merta memiskinkan masyarakat yang berada di enam desa (Klantan, Desa Perlis, Lubuk Kasih, Kelurahan Barandan Barat, Kelulahan Sei Bilah, Lubuk Kertang, dan Alur Dua).

Dampak negatif dari aktivitas Ilegal perkebunan tersebut adalah hilangnya dan menurunnya mata pencaharian nelayan akibat ditutupnya 30 lebih paluh atau anak sungai dengan diameter 3-4 meter, paluh merupakan sumber penghidupan, di mana nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, jaring menggantungkan hidupnya.

KLIK INI:  Raih Rekor Muri, Kurikulum Mangrove KLHK Dijadikan Instrumen Cinta Lingkungan Sejak Dini

Hal ini berdampak bukan hanya pada sektor ekonomi keluarga nelayan, tapi juga sosial dan budaya masyarakat di Langkat, Sumatera Utara.Kondisi tersebut membuat sebagian besar masyarakat nelayan di Kabupaten Langkat bergerilya untuk mengupayakan penyelamatan Hutan Mangrove.

Para nelayan yang didominasi perempuan ini begitu antusias melakukan penanaman tanaman bakau dan kembali menghidupi hutan mangrove di kawasan tersebut dan memanfaatkan apa yang ditanamnya untuk diolah menjadi berbagai karya dan teknologi tepat guna.

Alhasil, melihat peran penting dan potensi besar yang dimiliki dari Hutan Mangrove baik dalam sektor ekonomi maupun pelestarian lingkungan hidup, sudah selayaknya masyarakat dan berbagai elemen pihak mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan pelestarian lingkungan hidup demi kemaslahatan bersama.

KLIK INI:  Aziil Anwar Membangkitkan Pesona Mangrove di Karang Cadas