Makassar Zona Merah Bencana Ekologis

oleh -234 kali dilihat
Makassar Zona Merah Bencana Ekologis
Ilustrasi - Foto/Radhif
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Baru-baru kemarin (2/4/2021), beberapa ruas jalan dan pemukiman penduduk di Kota Makassar terendam banjir. Hujan yang datang tiada hentinya sejak kamis malam menciptakan genangan besar di rumah-rumah warga dan jalan-jalan raya.

Bencana banjir dianggap terjadi akibat tingginya curah hujan selama beberapa hari terakhir, yang disebabkan oleh pergerakan awan hujan dari pesisir laut Makassar menuju daratan.

Daratan Makassar yang dikelilingi dua sungai yang bercabang ke kanal-kanal tak mampu membendung luapan air hujan. Hingga drainase pun menyerah untuk mengalirkan air ke sungai dan berujung ke laut.

Akan tetapi, betulkah banjir hanya terjadi akibat curah hujan yang tinggi? Tentu saja hujan menjadi faktor penyebab banjir secara ekologis. Namun, faktor sosial-politik juga berdampak besar terhadap penyebab dan penanganan bencana.

Persoalan tata ruang kota dan ketersediaan ruang terbuka hijau menjadi salah dua faktor penanganan banjir di Kota Makassar. Banjir, jika ditinjau dalam sudut pandang sosial-ekologis selain karena intensitas hujan, juga terjadi akibat dari kebijakan pembangunan kota yang belum ramah terhadap lingkungan. Benarkah demikian?

KLIK INI:  SMK Kehutanan Makassar Sebar Siswanya PKL di Sepuluh Provinsi
Ekologi pembangunan kota

UU No. 26 tahun 2017 mengartikan Ruang terbuka hijau sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan kawasan hijau yang berfungsi menyerap air hujan di sekitar wilayah kota. Pepohonan dan tetumbuhan di wilayah RTH dinilai mampu mencegah potensi banjir. Selain itu, RTH juga dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan publik, tempat olahraga dan rekreasi bagi warga kota.

Ironisnya, data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel mencatat, luas RTH di Kota Makassar hanya sekitar 9,1 % dari 17.577 Ha luas wilayah kota Makassar. Jumlah ini masih jauh di bawah amanah UU Penataan Kota, yang mengharuskan setiap daerah untuk memiliki luasan RTH minimal 30%.

Slamet Riadi selaku Koordinator Kajian dan Advokasi Walhi Sulsel menjelaskan, RTH Di Makassar hanya 9,1 %. Ini tidak sesuai dengan UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. UU itu memandatkan minimal RTH itu 30% dari luas kota. Artinya target pemerintah masih sangat jauh,” jelasnya.

Selain itu, Slamet juga menyoroti laju pembangunan kota yang sangat massif tanpa dibarengi sinergitas antar instansi yang kuat.

KLIK INI:  Malam Ini, Yuk Padamkan Lampu Sejenak demi Bumi Kita!

Sebagai contoh, dalam pembangunan dinas tata ruang kota idealnya bekerjasama dengan dinas lingkungan hidup untuk persoalan ruang terbuka hijau. Hal ini untuk mencegah kerusakan ekologis di kemudian hari akibat dari pembangunan

Banjir akibat perubahan ekologis

Pembangunan Kota Makassar kerap kali menuai kritik dari kelompok pejuang kelestarian lingkungan. Walhi Sulsel selaku organisasi pejuang lingkungan hidup menyinggung paradigma pembangunan kota yang tak ramah lingkungan.

Ini dapat dilihat dari corak pembangunan yang lebih menitikberatkan pada persoalan ekonomi ketimbang ekologis. Akibatnya, bencana ekologis kerap terabaikan dan menjadi rutinitas dihadapi oleh masyarakat kota.

Walhi Sulsel memberi contoh, pembangunan tol layang Pettarani yang masih menjadi bulan-bulanan bencana banjir. Padahal, jalan ini merupakan jalan utama di kota Makassar yang menghubungkan seluruh penjuru kota.

Lebih lanjut, Slamet menjelaskan, “Model pembangunan rata-rata di Makassar itu membangun dulu baru memperbaiki. Seharusnya diperbaiki dulu kondisi yang ada baru dibangun. Contohnya itu jalan tol pettarani. Seharusnya, sebellum dibangun, saluran drainase dibawahnya itu diperbaiki dulu baru dibangun jalan tolnya. Kan terbalik, dbangun dulu baru diperbaiki nanti saat ada banjir,” tegasnya.

KLIK INI:  Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng dan Ilusi Suram Masa Lalu

Salah satu fasilitas yang perlu diperhatikan dalam penanganan bencana banjir adalah ketersediaan drainase di sepanjang ruas jalan dan perkampungan, yang langsung terhubung dengan sungai dan kanal di Kota Makassar.

Walhi menganggap pengelolaan drainase di Kota Makassar belum optimal. Sehingga bencana banjir tak dapat ditangani dengan baik. Salah satu bentuk penanganannya adalah jalur saluran air yang saling terhubung satu dengan lainnya sehingga aliran air tak mengendap di jalanan.

“Drainase juga menjadi potret buruk pengelolaan lingkungan hidup di kota Makassar. Ini sudah jalan dari tahun-tahun sebelumnya. Karena memang potret pengelolahan dan kebijakan tidak terintegrasi. Seharusnya drainase itu terintegrasi satu dengan yang lain. Jadi ada drainase induknya. Intinya dia terhubung dengan yang lain,” lanjut Slamet.

Perbaikan tata ruang kota nampaknya akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi pejabat daerah Kota Makassar kedepannya. Sebagai upaya untuk menangani permasalahan ekologis yang kerap melanda kota Makassar dari tahun ke tahun.

KLIK INI:  Hari Tanpa Tembakau Sedunia, New Normal dan Polusi Udara