‘Low Technologi’, Upaya Tekan Sampah Organik Berbasis Warga

oleh -186 kali dilihat
Low Technologi, Upaya Tekan Sampah Organik Berbasis Warga
Co-Direction Of WastePlant Australia, Dr. Andrew Hayim de Vries daat mengunjungi TPA Antang beberapa waktu lalu - Foto: Ist

Klikhijau.com – Belum masifnya inovasi pengelolaan sampah baru dan gerakan atas rendahnya kepedulian masyarakat untuk pilah sampah dari rumah, menjadi luapan diskusi Jurnal Warung Kopi Seri ke-5, di kedai kopi desKopidi, Antang, Minggu (12/6/2022).

Dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI) turut hadir langsung, Ade Indriani Zuchri, selaku Ketua Umum Pengurus Pusat SHI bersama Co-Direction Of WastePlant Australia, Dr. Andrew Hayim de Vries.

Sebelumnya, diskusi kecil sudah dimulai saat melakukan kunjungan di TPA Bintang 5 Tamangapa, Antang. Dari lokasi dengan latar sampah yang menggunung, Dr. Andrew tidak dapat menyembunyikan perasaan gusar dan prihatin atas persoalan sampah yang membelit Kota Makassar.

Perbicaraan berlanjut dalam sesi diskusi hingga siang hari. Oleh Andrew Hayim coba menawarkan sebuah solusi pengelolaan sampah yang ia sebut sebagai ‘low technologi’ dalam sebuah diskusi terbuka yang mengangkat tema “Bagaimana Harusnya Sampah Diperlakukan?”

Dalam diskusi tersebut, juga turut hadir Direktur Bank Sampah Sektor Manggala, Drs Mohammad Saleh, yang juga menyoroti sampah organik.

KLIK INI:  Porang Jadi Komoditi Andalan Kelompok Tani Hutan Maros

“Pengelolaan sampah di Kota Makassar sudah memiliki sistem yang cukup baik hanya saja masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan pemilahan sampah organik dan sampah non organik” tuturnya.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap pengelolaan sampah. “Yang harusnya bisa jadi 2 bulan bisa memakan waktu hingga empat bulan karena tidak ada pemilahan yang baik antara sampah organik dan sampah non organik. Perlambatan seperti ini juga terjadi dikarenakan cuaca” tandas Founder Manggala Tanpa Sekat (MTS), Mashud Azikin.

Menurut Mashud, dengan pendekatan basis warga di tingkat RT/RW, sampah akan terorganisir dengan baik.

“Kita perlu mengaturnya berbasis RT/RW sebagai upaya penyadaran dari tingkat yang paling kecil,” tambahnya.

Narasumber lain, Ade Indriani yang merangkap sebagai penerjemah Dr. Andrew, menyampaikan pokok pikirannya. “Bahwa setelah kunjungan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kita harus berpikir jangan hanya tahu membuang tanpa pengelolaan sebab akan berpangkal pada kekurangan lahan”.

KLIK INI:  Lindungi Petani Merica, Masyarakat Loeha Desak PT Vale Stop Eksplorasi di Tanamalia

Hal ini juga dipertegas oleh Mashud Azikin “6 bulan yang lalu saat launching MTS belum ada gunungan (sampah) yang satu itu, kami juga kaget”. Hal ini menjadi tanda bahwa belum ada penanganan sampah secara signifikan.

Menurut Ade, sampah organik masih menjadi penyumpang terbesar dibandingkan dengan sampah non organik yang secara penanganan sudah terbantu dengan adanya pemulung. Lalu dengan sedikit guyon, “Akankah suatu saat sapi dan kambing akan menjadi solusi sampah organik.”

Diskusi kali ini telah sampai pada sebuah simpulan bahwa 70% sampah organik  tersebut akan dijadikan bahan dasar dalam pembuatan pupuk kompos.

Dengan menggunakan ‘low tech’ yang hanya memakan waktu kisaran 6 minggu. Proses pupuk kompos yang dihasilkan dari peran cacing, nantinya akan disupply kepada para petani. Tentunya dengan harga yang berbeda jika mendapatkan bahan organik dari luar,” pungkas Ade.

KLIK INI:  5 Fakta Menyebalkan tentang Penanganan Sampah yang Terus Bertahan